Tuesday 23 January 2018

[Resensi] Dampak Psikologis Anak Korban Perceraian

Dimuat di Harian Bhirawa, Jumat 12 Januari 2018


Judul               : Seruni
Penulis             : Almas Sufeeya
Penerbit           : Republika
Cetakan           : Pertama, Februari 2017
Tebal               : vi +239 hal
ISBN               : 978-602- 0822-39-6
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

“Kadang, kamu harus mengikhlaskan apa yang tidak bisa kamu cegah. Meskipun kamu sangat mencintai, kamu tidak bisa melindunginya dari kehendaknya.” (hal 86).

Novel ini mengambil tema keluarga.  Tentang kisah anak korban dari perceraian orangtua. Di mana mereka harus menyaksikan perpisahan dua orang yang sangat mereka cintai. Tidak hanya itu dalam novel ini, kita  juga  dihadapkan tentang usaha anak beradaptasi dengan lingkungan baru, ketika sang ayah memilih menikahi wanita baru.

Seruni merasa kecewa dengan perceraian ayah dan ibunya. Apalagi akibat perceraian itu sang ibu sampai meninggal dunia. Sejak itu, Seruni pun harus menerima tinggal bersama ayahnya yang menikah dengan wanita lain—Devi.  Wanita yang konon merusak rumah tangga ayah dan ibunya. (hal 117).

Dan kesedihan Seruni semakin menjadi, ketika harus  tinggal dengan ibu tirinya.  Di sana   dia dan kakaknya—Aster tak pernah sekali pun diperlakukan dengan baik.  Devi hanya berpura-pura baik jika dihadapan ayah mereka. Jika ayahnya tidak ada, Devi kerap berlaku sesuka hati. Menyuruh Aster dan Devi melakukan pekerjaan rumah, sedang dia bersantai-santai.  Selain itu dia juga tidak pernah bisa akrab dengan saudari-saudari tirinya. Keadaan itu pada akhirnya membuat Seruni melakukan sesuatu yang mengejutkan. Membuat semua orang tercengang, khususnya sang kakak, Aster (hal 39).
Lalu setelah tujuh tahun berlalu ...Seruni memutuskan kembali ke Indonesia dengan membawa rindu dan penyesalan. Dia sangat rindu dengan kakaknya. Bisakah Seruni merengkuh semua yang telah ditinggalkannya? Dan Aster, sosok yang sangat dia rindukan, sama sekali tidak mengenalinya. Aster telah berubah, dan semakin membuat Seruni merasa bersalah dan dirundung duka.

“Kebohongan hanya menciptakan ketenangan sementara. Ketenangan semu! Aku tidak mau merasa gelisah karena harus menyimpannya seumur hidup.” (hal 93).

Selain Seruni yang merasakan hidupnya kacau balau karena perceriaan orangtuanya, ada pula Taro yang memiliki tragedi yang sama. Taro juga menyimpan amarah, karena gara-gara ibu tirinya—Devi  sang ayah meninggal. Hal itu-lah yang mendorong Taro untuk membuat kesepatakan bersama Seruni. Mereka ingin membalas dendam pada wanita itu.  Hingga membuat kesepakatan yang mengejutkan.

Lalu ada juga Aster—kakak Seruni. Gadis itu merasa terpukul dengan kepergian adiknya. Dia merasa bersalah, karena tidak menyadari kesedihan adiknya akibat perceraian kedua orangtuanya. Aster marah pada Devi, pada dirinya sendiri dan pada ayahnya. Hingga akhirnya Aster memilih bungkam. Bahkan kalau bisa dia ingin mengikuti jejak adiknya.  Sayangnya usahanya selalu dicegah oleh Ana—adik tirinya.  “Kehilangan yang sebenarnya adalah kehilangan semangat hidup.” (hal 86).  Terakhir ada Ana, dia juga korban perceraian. Namun, gadis berjilbab itu memilih menerima kenyataan itu. Mencoba beradaptasi dan ikhlas menerima keadaan.

Masing-masing tokoh memiliki cara tersendiri dalam menghadapi kenyataan tentang perceraian orangtua. Hingga sebuah kejadian membuat masing-masing menyadari, bahwa amarah, rasa sakit, benci dan dendam hanya berakhir mengotori hati—menjadikan hidup gelap gulita. Dan dendam hanya membuatnya jauh dari Tuhan (hal 163). 

Novel ini diramu dengan apik oleh penulis. Kisah terasa hidup.  Mengambil alur maju mundur, semakin membuat pembaca penasaran dengan akhir cerita. Dan selain mengangat tema keluarga, novel ini juga dibumbui kisah cinta yang lucu dan manis. Secara keseluruhan menarik, meski ada beberapa bagian yang terasa loncat-loncat.

Tapi lepas dari kekurangannya, novel ini menarik. Di sini kita diingatkan, bahwa  perpisahan orangtua memiliki banyak dampak kepada anak. Oleh karena itu, jika memang harus berpisah, orangtua harus tetap memberi pengertian dan mendampingi anak.   Selain itu dalam novel ini kita bisa belajar tentang pentingnya bersyukur dan tidak memelihara dendam, juga merajut kebohongan.

Srobyong, 15 Juli 2017 

1 comment:

  1. Hindi ko lubos na pasasalamatan si Dr EKPEN TEMPLE sa pagtulong sa akin na ibalik ang Kaligayahan at kapayapaan ng pag-iisip sa aking pag-aasawa matapos ang maraming mga isyu na halos humantong sa diborsyo, salamat sa Diyos na ang ibig kong sabihin ay si Dr EKPEN TEMPLE sa tamang oras. Ngayon masasabi ko sa iyo na ang Dr EKPEN TEMPLE ay ang solusyon sa problemang iyon sa iyong kasal at relasyon. Makipag-ugnay sa kanya sa (ekpentemple@gmail.com)

    ReplyDelete