Dimuat di Radar Sampit, Minggu 21 Januari 2018
Judul : Tanah Para Pendekar
Penulis : Vanni Puccioni
Terjemah :
Nurcahyani Evi, dkk
Penerbit : Gramedia
Cetakan : Pertama, Desember 2016
Tebal : 376 halaman
ISBN : 978-602-03-3164-5
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas
Islam Nahdlatu Ulama, Jepara.
Membicarakan tentang Nias, hal
pertama yang akan kita ingat adalah tentang fahombo, hombo batu atau “lompat batu” yang dulu pernah dijadikan
gambar pada uang seribu rupiah. Dulu
hombo batu merupakan sebua ritual yang dilakukan oleh penduduk laki-laki di
Nias, Sumatra Utara sebagai bentuk kedewasaan diri. Dan sekarang kegiatan itu
dikenal sebagai olahraga khas suku Nias.
Sebagaimana pulau-pulau lain yang
berada di Indonesia, pulau Nias juga memiliki adat dan kebiasaan
sendiri—khususnya penduduk pedalaman Nias. Hanya saja selama ini kita belum
mengetahui secara jelas bagaimana kebiasaan dan adat pulau tersebut yang
ternyata menyimpan banyak sekali cerita. Termasuk sejarah etnografi manusia
pada masa itu. kenyataan tentang betapa beringas dan menakutkannya para
penduduk Nias, tapi juga kenyataan bahwa mereka sejatinya adalah orang-orang
yang baik hati dan terhormat.
Melalui buku ini, Vanni Puciano mencoba
memaparkan kembali tentang perjalanan pria berkebangsaan Italia—Elio
Modigliani. Dia menetap di Nias dari
April – September 1886, mengekplorasi Nias Selatan yang merupakan daerah
kekuasaan suku para pemburu kepala manusia. Dan para pemburu itu tidak pernah
berhasil ditundukkan pasukan Belanda.
Kepergiannya dikawal empat pemburu
asal Jawa dengan membawa berbagai barang—salah satunya tembakau—untuk menarik
perhatian penduduk Nias. Modigliani berkata kepada ahli hutan bahwa ia berniat
mencari dan mengoleksi berbagai jenis burung, tanaman dan kupu-kupu. Tapi
sesungguhnya Modigliani memiliki alasan lain yang sungguh menakutkan. Sebuah
alasan yang konon membuat dia harus siap mengantarkan nyawa jika tidak cerdas
dalam ekspedisinya.
Mengingat penduduk Nias Selatan
sangat suka berperang, dan memiliki tradisi unik yaitu memburu kepala manusia. Sebuah
tradisi yang memiliki nilai dan arti yang tinggi dalam masyarakat Nias tersebut
(hal 25).
Tapi bukan Modigliani jika merasa
gentar. Dia sama sekali tidak takut dan terus menelusir setiap jengkal tempat
di Nias Selatan. Dia mengeksplorasi satu desa ke desa lain. Dimulai dari Desa
Bawolowalani yang mempertemukannya dengan tokoh unik, Faosi Aro—raja
Bawolowalani. Lelaki licik yang mencoba
memanfaatkan Modigliani dan mengambil keuntungan dari sikap Modigliani yang
dermawan.
Kemudian Modigliani juga mengunjungi
Desa Hilizihono, Hilisimaetono, Hilizihono, Hilisimaetono dan Hilisondrekha—tempat yang akhirnya membuat
Modigliani dapat menyaksikan lompat batu untuk pertama kalinya (hal 195) dan
banyak tempat lagi yang masih dia eksplore. Perjalanan menyeberangi sungai dan keluar
masuk hutan dengan taruhan nyawa menjadi perjalanan sehari-hari bagi
Modigliaano dengan anggotanya.
Namun pada akhirnya, Modigliani
berhasil menuntaskan eksplorasinya di Nias Selatan. Sebuah kenyataan yang tidak
terduga, karena pada akhir-akhir perjalanan, konon Modigliano sempat
bersitegang dengan rasa dari salah satu suku, dia juga sempat sakit Malaria.
Namun nyata Modigliano bisa kembali ke Florence dengan membawa berbagai temuan
yang nantikan akan dipajang di Museum Nasional Antropologi dan Etnografi di
Florence.
Buku ini sangat mendebarkan dan
menarik. Membacanya membuat saya teringat dengan film-film petualangan yang
penuh lika-liku dan pembantaian. Dari
buku ini kita bisa mengatahui tentang adat dan kebiasaan suku Nias di zaman
dulu. Di mana pada masa itu budaya Nias masih didominasi kekuatan gaib—yang
mana jika penduduk sakit, penduduk akan menyerahkan proses pengobatan
kepada dukun (ere), karena dukun adalah
satu-satunya perantara dengan dunia gaib (hal 69). Dan
penduduk Nias memiliki kebiasaan memburu kepala manusia untuk beberapa
alasan (hal 177).
Selain memiliki kebiasaan yang bisa
dibilang menakutkan, sejatinya masyarakat Nias sebenarnya bangsa yang
demokratis dan bebas dari tingkat sosial. Sebuah buku yang menarik dan menambah
wawasan, hanya saja dalam buku ini ada
ketidakkonsisten penulis dalam memanggil Modigliani, yang kadang ditulis Elio,
terkadang Modigliani. Namun lepas dari
kekurangannya, buku ini patut dibaca untuk semua kalangan.
Srobyong, 29 Juli 2017
No comments:
Post a Comment