Dimuat di Harian Bhirawa, Jumat 5 Januari 2018
Judul :
Sungging
Penulis :
Alan TH
Penerbit :
KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan :
Pertama, Oktober 2017
Tebal :
ix + 626 halaman
ISBN :
978-602-424-414-9
Peresensi :
Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara
“Tahta memang membuka
jalan kebesaran bangsa, tapi dia juga bisa mengundang pengkhianatan paling
keji.” (hal 185).
Mengambil latar sejarah
tentang peralihan dari keruntuhan
kerajaan Singhasari dan berdirinya kerajaan Majapahit, novel Sungging
menghadirkan sebuah kisah yang tidak biasa. Dalam buku ini penulis mencoba menceritakan
tentang peran seorang prabhangkara (seniman—perupa) sekaligus pendekar yang
bernama Sungging.
Sejak kecil Sungging
tinggal bersama kakek—yang tidak dia ketahui namanya, yang merupakan seorang pelarian yang diburu
kerajaan Mapahit. Suatu hari, ketika
dirasa Sungging sudah mampu, sang kakek
memerintahkannya untuk melakukan pengembaraan sendiri selama dua ribu hari. Kakeknya berharap dalam kurun waktu itu bisa
mendidik Sungging untuk mengenal kehidupan masyarakat umum khususnya yang tidak dia dapat ketika tinggal di hutan.
Perjalanan itu akhirnya
membuat Sungging tanpa sengaja bertemu dengan Rsi Sanghika—abdi setia kerajaan
Singhasri dalam masa kepemimpinan Sri Kartanegara. Namun yang mengejutkan bagi
Sungging adalah, kenyataan bahwa Rsi Sanghika ternyata juga diburu oleh perkumpulan
dari Majapahit—Kasajaten Kalamura perkumpulan rahasia yang dipimpin Gajah Mada—yang
selama ini juga memburu kakeknya (hal 29).
Rsi Sanghika dicurigai
memiliki Kitab Begawan Kstaria yang pernah ditulis Sri Kartanegara. Di mana kitab itu harus dimusnahkan beserta
orang-orang yang pernah membaca dan mempelajari isinya. Agar tidak ada lagi
lawan tangguh yang bisa mengalahkannya dalam jagat persilatan, juga membungkam
jejak sejarah tentang riwayat dirinya sendiri yang merupakan putra Gajah
Pangon—salah satu satria setia Raden Nararya, serta agar dia tetap bisa
mengontrol Majapahit.
“Bukankah keserakahan
adalah biang dari segala perang? Dulu, sekarang, juga nanti! Di sini, negeri
leluhurmu atau di mana saja!” (hal 378).
Bersama Rsi Sanghika, Sungging
kemudian melakukan perjalanan menuju Majapahit untuk menemui Gajah Mada. Selama perjalanan itu Rsi
Sanghika memaparkan sejarah kejayaan kerajaan Singhasari di masa Sri
Kartanegara hingga masa runtuh dan berdiri kerajaan Majapahit—hingga saat itu
dipimpin oleh Ratu Tribuwana. Di mana
dari sejarah panjang itu, akhirnya Sungging tahu bahwa dia masih memiliki darah
keturunan Negeri Atap Langit—sekarang
Cina—dari salah satu jendrela besar yang sangat kuat—Jenderal Kau Hsing.
Kenyataan itu sekaligus
membuka tabir tentang kekejaman perang. Dimulai dari pemberontakan Jayakatwang—bupati
Gelang-gelang, persekutuan antara Raden Nararya—yang nantinya berubah menjadi
Raden Wijaya dengan pasukan Khubila Khan dari Mongol dan penghianatan Raden
Nararya terhadap Mongol.
Selain itu Sungging juga akhirnya tahu bahwa selama
ini, kakeknya telah mengajarkan laku ilmu dari Kitab Begawan Ksatria. Hal
inilah yang membuat Rsi Sanghika mewanti-wanti Sungging agar tidak
memperlihatkan jurus silatnya secara sembarangan. Karena jika sampai diketahui,
maka dia pun bisa dalam bahaya dan menjadi buruan dari Majapahit. Namun
sayangnya, Sungging melupakan pesan gurunya. Dia pernah memperlihatkan jurus
silatnya tanpa sengaja.
Pada titik ini, akhirnya Rsi Sanghika dan Sungging
tidak bisa menghindari pertempuran. Ketika Rsi Sanghika mulai melawan Gajah
Mada, Sungging sendiri harus berhadapan dengan orang-orang yang telah membunuh
kakeknya. “Kuasa tak lebih dari sumber kesengsaraan dan petaka.” (hal
418).
Pertempuran itu juga menjadi titik awal perpisahan
Sungging dan Rsi Sanghika. Serta awal
perjalanan Sungging secara mandiri dalam
usahanya menjatuhkan Gajah Mada, agar tidak lagi bertindak semana-mena atas
nama agama dan tahta Majapahit (hal 552).
Namun berhasilkan Sungging
mengalahkan Gajah Mada? Dan bagaimana nasib Rsi Sanghika?
Sebagai novel pertama dari dwilog yang direncakan
penulis tentang kisah Sungging ini, novel ini patut diperhitungkan untuk
dibaca. Cara pemaparan penulis dalam menjabarkan antara sejarah dan sastra
sangat menarik. Penuh intrik pengkhianatan, korup dan penindasan. Di sini kita
bisa diajak menyelami makna kesetiaan juga arti penting memiliki kekuasaan.
Bahwa seseorang yang memiliki kekuasaan tidak semestinya menjadi penindas, peperangan selalu menimbulkan kesengsaraan.
Dan kita juga diingatkan pentingnya memiliki wawasan
agar tidak mudah terjebak pada kebohongan. “Wawasan berguna agar kita bisa
menempatkan segala perkara dengan benar. Ingatan agar kita tidak mengulangi
kesalahan yang sama dan bisa meneruskan kebaikan yang sudah ada.” (hal
393).
Srobyong, 16 Desember 2017
Deskripsi adegan perkelahiannya apakah menarik? Rasanya seru jika novel sejarah dipenuhi adegan perkelahian hehe
ReplyDeleteCukup seru Mas.
Deletekayaknya bisa aku belajar sejarah dari novel ini...
ReplyDeleteIya bisa banget. Meski ada beberapa bagian yang imajinasi, tapi sejarahnya cukup kuat dan kental
DeleteMbaknya sangat senang sekali baca buku, blognya penuh dengan buku. Yang ini bikin tahu sejarah, bagus kali jika diangkat ke layar kaca tapi dalam bentuk bioskop bukan sinetron.
ReplyDeleteIya baca itu sangat menyenangkan soalnya, nambah wawasan juga :) Bisa jadi kalau diseniterokan nanti bulet-bulet hehh :)
Delete