Thursday, 18 January 2018

[Resensi] Perseteruan Prabhangkara dengan Mahapatih Gajah Mada

Dimuat di Harian Bhirawa, Jumat 5 Januari 2018 


Judul               : Sungging
Penulis             : Alan TH
Penerbit           : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan           : Pertama, Oktober 2017
Tebal               : ix + 626 halaman
ISBN               : 978-602-424-414-9
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

“Tahta memang membuka jalan kebesaran bangsa, tapi dia juga bisa mengundang pengkhianatan paling keji.” (hal 185).

Mengambil latar sejarah tentang peralihan dari keruntuhan  kerajaan Singhasari dan berdirinya kerajaan Majapahit, novel Sungging menghadirkan sebuah kisah yang tidak biasa. Dalam buku ini penulis mencoba menceritakan tentang peran seorang prabhangkara (seniman—perupa) sekaligus pendekar yang bernama Sungging.

Sejak kecil Sungging tinggal bersama kakek—yang tidak dia ketahui namanya,  yang merupakan seorang pelarian yang diburu kerajaan Mapahit.  Suatu hari, ketika dirasa Sungging sudah mampu,  sang kakek memerintahkannya untuk melakukan pengembaraan sendiri selama dua ribu hari.  Kakeknya berharap dalam kurun waktu itu bisa mendidik Sungging untuk mengenal kehidupan masyarakat umum khususnya  yang tidak dia dapat ketika tinggal di hutan.  

Perjalanan itu akhirnya membuat Sungging tanpa sengaja bertemu dengan Rsi Sanghika—abdi setia kerajaan Singhasri dalam masa kepemimpinan Sri Kartanegara. Namun yang mengejutkan bagi Sungging adalah, kenyataan bahwa Rsi Sanghika ternyata juga diburu oleh perkumpulan dari Majapahit—Kasajaten Kalamura perkumpulan rahasia yang dipimpin Gajah Mada—yang selama ini juga memburu kakeknya (hal 29).  

Rsi Sanghika dicurigai memiliki Kitab Begawan Kstaria yang pernah ditulis Sri Kartanegara.   Di mana kitab itu harus dimusnahkan beserta orang-orang yang pernah membaca dan mempelajari isinya. Agar tidak ada lagi lawan tangguh yang bisa mengalahkannya dalam jagat persilatan, juga membungkam jejak sejarah tentang riwayat dirinya sendiri yang merupakan putra Gajah Pangon—salah satu satria setia Raden Nararya, serta agar dia tetap bisa mengontrol Majapahit.

“Bukankah keserakahan adalah biang dari segala perang? Dulu, sekarang, juga nanti! Di sini, negeri leluhurmu atau di mana saja!” (hal 378).

Bersama Rsi Sanghika, Sungging kemudian melakukan perjalanan menuju Majapahit untuk menemui   Gajah Mada. Selama perjalanan itu Rsi Sanghika memaparkan sejarah kejayaan kerajaan Singhasari di masa Sri Kartanegara hingga masa runtuh dan berdiri kerajaan Majapahit—hingga saat itu dipimpin oleh Ratu Tribuwana.  Di mana dari sejarah panjang itu, akhirnya Sungging tahu bahwa dia masih memiliki darah keturunan  Negeri Atap Langit—sekarang Cina—dari salah satu jendrela besar yang sangat kuat—Jenderal Kau Hsing.

Kenyataan itu sekaligus membuka tabir tentang kekejaman perang. Dimulai dari pemberontakan Jayakatwang—bupati Gelang-gelang, persekutuan antara Raden Nararya—yang nantinya berubah menjadi Raden Wijaya dengan pasukan Khubila Khan dari Mongol dan penghianatan Raden Nararya terhadap Mongol.

Selain itu Sungging juga akhirnya tahu bahwa selama ini, kakeknya telah mengajarkan laku ilmu dari Kitab Begawan Ksatria. Hal inilah yang membuat Rsi Sanghika mewanti-wanti Sungging agar tidak memperlihatkan jurus silatnya secara sembarangan. Karena jika sampai diketahui, maka dia pun bisa dalam bahaya dan menjadi buruan dari Majapahit. Namun sayangnya, Sungging melupakan pesan gurunya. Dia pernah memperlihatkan jurus silatnya tanpa sengaja.

Pada titik ini, akhirnya Rsi Sanghika dan Sungging tidak bisa menghindari pertempuran. Ketika Rsi Sanghika mulai melawan Gajah Mada, Sungging sendiri harus berhadapan dengan orang-orang yang telah membunuh kakeknya. “Kuasa tak lebih dari sumber kesengsaraan dan petaka.” (hal 418).

Pertempuran itu juga menjadi titik awal perpisahan Sungging dan Rsi Sanghika. Serta  awal perjalanan  Sungging secara mandiri dalam usahanya menjatuhkan Gajah Mada, agar tidak lagi bertindak semana-mena atas nama agama dan tahta Majapahit (hal 552).  Namun berhasilkan Sungging  mengalahkan Gajah Mada? Dan bagaimana nasib Rsi Sanghika?

Sebagai novel pertama dari dwilog yang direncakan penulis tentang kisah Sungging ini, novel ini patut diperhitungkan untuk dibaca. Cara pemaparan penulis dalam menjabarkan antara sejarah dan sastra sangat menarik. Penuh intrik pengkhianatan, korup dan penindasan. Di sini kita bisa diajak menyelami makna kesetiaan juga arti penting memiliki kekuasaan. Bahwa seseorang yang memiliki kekuasaan tidak semestinya menjadi penindas,  peperangan selalu menimbulkan kesengsaraan.

Dan kita juga diingatkan pentingnya memiliki wawasan agar tidak mudah terjebak pada kebohongan. “Wawasan berguna agar kita bisa menempatkan segala perkara dengan benar. Ingatan agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama dan bisa meneruskan kebaikan yang sudah ada.” (hal 393).

Srobyong, 16 Desember 2017 

6 comments:

  1. Deskripsi adegan perkelahiannya apakah menarik? Rasanya seru jika novel sejarah dipenuhi adegan perkelahian hehe

    ReplyDelete
  2. kayaknya bisa aku belajar sejarah dari novel ini...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya bisa banget. Meski ada beberapa bagian yang imajinasi, tapi sejarahnya cukup kuat dan kental

      Delete
  3. Mbaknya sangat senang sekali baca buku, blognya penuh dengan buku. Yang ini bikin tahu sejarah, bagus kali jika diangkat ke layar kaca tapi dalam bentuk bioskop bukan sinetron.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya baca itu sangat menyenangkan soalnya, nambah wawasan juga :) Bisa jadi kalau diseniterokan nanti bulet-bulet hehh :)

      Delete