Judul :
Critical Eleven
Penulis :
Ika Natassa
Penerbit : Gramedia
Cetakan : Ketiga, September 2015
Tebal :
344 hlm
ISBN
: 978-602-03-1892-9
“Hidup itu jangan biasa menikmati yang
instan-instan. Jangan mau gampangnya saja. Hal-hal terbaik terbaik dalam hidup justru seringnya
harus melalui usaha yang lama dan menguji kesabaran dulu.” (halaman 21).
Tema pernikahan
sudah sering kali dibingkai dalam kisah-kisah novel saat ini. Namun tetap saja pernikahan dan sekelumit
masalah yang sering terjadi, selalu asyik untuk dikulik dan dijadikan cerita. Lagi
pula setiap penulis memiliki keunikan tersendiri dalam menuangkan kisah. Serta memiliki
gaya bahasa yang berbeda sehingga keberadaan novel-novel itu tetap bisa menambah
bacaan yang menghibur dan menginspirasi bagi pembaca. Sebagaimana Critical
Eleven—novel yang juga mengusung tema pernikahan namun dengan latar belakang
berbeda, serta dikemas dengan gaya bahasa yang asyik. Sehingga novel ini tetap
diterima dan bisa membuat pembaca menikmati kisah yang dipaparkan.
Kisah dibuka dengan pertemuan antara
Ale—yang seorang petroleum engineer
di teluk Meksiko dan Anya—management consultant,
ketika mereka sama-sama melakukan perjalanan ke Sydney. Ale tengah
asyik membaca buku ketika Anya tiba di sisi tempat duduknya (halaman 7). Pada
awalnya Anya berpikir akan kembali
terjebak duduk bersama om-om atau anak kecil yang menangis. Tapi perjalanan kali ini ternyata berbeda. Di sanalah, mereka
menghabiskan sedikit waktu dengan obrolan yang cukup menyenangkan, hingga
akhirnya mereka saling berbagi nomor kontak.
Pertemuan yang konon disebut critical
eleven—sebelas menit paling kritis di dalam
pesawat—tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum
landing—karena secara statistik delapan puluh persen kecelakaan pesawat umumnya
terjadi dalam rentang waktu sebelas menit itu. It's when the aircraft is
most vulnerable to any danger (halaman 16).
Sebuah pertemuan
yang aneh tapi cukup manis. Dan siapa sangka dari pertemuan tidak terduga itu,
Ale dan Anya kemudian memutuskan menikah. Padahal
setelah pertemuan itu mereka tidak saling kontak. Baru sekembalinya Ale dari
Teluk Meksiko, tujuh hari mereka bertemu secara intens dan akhirnya memutuskan
pacaran (halaman 23).
Pada awalnya
pernikahan mereka berjalan lancar. Mereka menjadi sepasang suami istri yang
saling memahami dan melengkapi. Namun lima tahun setelah perkenalan itu ... Ale
dan Anya dihadapkan pada sebuah tragedi
yang tidak terduga. Tragedi yang membuat mereka harus memikirkan ulang
pernikahan mereka.
“Mungkin begini sewajarnya nasib
sebuah pernikahan yang dimulai dengan jatuh cinta dalam tujuh hari. Sewajar hujan
yang membasahi tanah. Sewajar api yang berasa panas. Dan mungkin, sewajar
membenci seseorang yang dulu pernah jadi alasan kita percaya cinta.” (halaman 27).
~*~
Cerita dipaparkan
dengan gaya bahasa yang asyik dan memikat. Bahasanya mudah dicerna dan tidak
kaku. Pembaca diajak mengenal Ale dan Anya dari sudut pandang masing-masing tokoh—dengan memakai
sudut pandang aku. Jadi kita bebas untuk menyukai, simpati pada tokoh tersebut
atau malah membencinya.
Dan kelebihan lain
dari novel ini adalah, pemilihan alurnya. Dengan memakai alur maju mundur penulis berhasil menyimpan puzzle-puzzle
yang bisa membuat pembaca penasaran. Penulis
dengan lihai menuntut pembaca untuk terus melanjutkan kisah hingga selesai. Banyak
kejutan yang cukup membuat saya terkaget-kaget ketika membaca novel ini secara
perlahan-lahan. Hanya bisa berguma “Ohw ... ternyata ....” Memikat.
Dan cara mengolah tokoh pun terasa sangat hidup. Baik itu dalam masalah
emosi tokoh—ketika membaca novel ini saya bisa ikut merasakan emosi para tokoh
dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi. Serta percakapan yang terjadi
antara Ale dan Anya. Seperti sedang menonton drama yang membuat gregetan dengan
dua tokoh tersebut.
Begitu pula perihal
pengolahan setting-nya. Mengingat hal ini juga merupakan salah satu
unsur yang penting dalam sebuah cerita. Jika setting dipaparkan dengan
baik bisa membuat pembaca nyaman bahkan merasa ikut berada pada suanasa tersebut
bahkan melihat gambarannya karena sangat hidup. Berbeda jika setting-nya
hanya berusaha tempelan, bahkan seperti membaca artikel. Sedikit banyak hal itu
akan mengurangi kenyamanan dalam membaca. Dan pada novel ini saya pikir,
penulis bisa mengatasi masalah itu dengan baik. Saya suka cara penulis
menggambarkan setiap tempat yang benar-benar terasa nyata.
Tidak kalah menarik
adalah perihal konflik yang dihadirkan penulis. Bisa dibilang konfliknya cukup sederhana.
Tapi karena dikemas dengan cara berbeda, membuat cerita terasa unik. Saya pikir
nanti akan ada kejutan sebagaimana kisah
orang-orang yang bertengkar dalam pernikahannya. Adanya orang ketiga mungkin. Atau perihal sebuah masa lalu yang menyapa. Namun saya salah. Sejak membaca
novel ini pembaca diajak menerka-nerka konflik apa yang sampai membuat Ale dan
Anya bertengkar hebat dan ingin berpisah? Apa yang membuat Anya sebegitu
marahnya pada Ale? Dan kenapa Ale tidak melakukan sesutu dan hanya menuruti kemauan Anya?
Rasanya banyak sekali pertanyaan saya ketika membaca novel ini. Dan saya harus
sabar agar bisa mengurai benang kusut tersebut.
Meski ini kali
pertama membaca karya Ika Natassa, saya cukup terhibur dengan kisah yang
dipaparkan.
Namun tidak ada
gading yang tidak retak. Kisah ini memang menarik. Hanya pada pada beberapa
bagian dalam novel ini masih terasa hal-hal yang kurang dalam logika saya. Sebagai pembaca saya merasa agak menganggu.
Awalnya saya pikir tokoh novel ini
bukan beragama Islam. Karena di sini ada satu bagian menunjukkan Anya menikmati
meminum wine (halaman 27). Tapi saya salah, karena pada bagian lain saya
menemukan para tokoh melakukan shalat. Namun
pada bagian lain akhirnya saya menemukan Anya melakukan hal itu karena merasa
marah pada Tuhan. Tapi tetap saja saya kurang nyaman pada bagian ini.
Lalu permasalahan Ale yang
memelihara anjing. Padahal Anjing adalah binatang yang cukup dihindari, karena
air liurnya adalah najis—bahkan harus dicuci sebanyak tujuh kali dengan air dan
salah satunya memakai tanah.
Memang sih, ada yang mengatakan
boleh memelihara Anjing jika dimaksudkan sebagai penjaga di rumah. Namun di
sini saya melihat baik Anya dan Ale terlihat sangat akrab. Sehingga pada
kedekatan itu pastinya akan membuat mereka
bisa terkenal air liur anjing. Mungkin kalau memelihara kucing lebih
baik. (just saran).
Atau mungkin karena ini mengangkat
kehidupan masyarakat urban hingga kadang kala beberapa aturan agama sering
disepelekan? Siapa yang tahu? Apalagi di era sekarang ini.
Hal lain yang terasa agak kurang
sreg adalah perihal judul Critical Eleven. Pada awalnya saya berpikir kisah
kehidupan mereka akan ada hubungannya dengan pesawat—mungkin tokoh perempuan
adalah seorang pramugari. Namun lagi-lagi saya salah. Jadi kejadian yang berhubungan perihal
pesawat hanya karena perjumpaan awal saja.
Jauh dari bayangan saya.
Serta perihal banyaknya membahas
berbagai masalah kekayaan atau hal-hal lain yang bagi saya itu agak
membosankan. Lalu kadang pada beberapa
bagian saya dibuat bingung peralihan masa lalu dan masa sekarang karena di
sana, tidak ada jeda yang memisahkan.
Namun lepas dari kekurangannya,
novel ini tetap asyik untuk dinikmati. Novel yang bisa saya bilang minim
kesalahan tulis ini memiliki keunikan tersendiri. Covernya sangat menarik dan
memikat. Saya tidak kecewa setelah membaca novel ini.
Dan perihal katanya novel ini akan
difilm-kan. Bagi saya penikmat buku juga film sudah tidak sabar menanti
filmnya. Saya selalu penasaran dengan novel-novel yang bisa difilmkan. Pasti ceritanya bagus. Rasanya tidak sabar membayangkan melihat kehidupan Anya dan Ale. Meski dalam
gambaran saya bukan sosok Reza Rahadian dan Adinia Wirasti yang akan mendapat peran
tersebut. Entah kenapa saya membayangkan sosok Ale itu
sebagai Christian Sugiono dan Anya diperankan Raline Shah (Imajinasi bebas).
Namun segala keputusan perihal
nama-nama yang akan hadir mengidupkan kisah Critcal Eleven, tetap saya serahkan pada pihak produksi dan penulis itu sendiri. Saya hanya berharap semoga film-nya akan sebagus novel dan pastinya bisa memuaskan para penggemar novel
ini. Sukses selalu untuk tim sukses film
Critical Eleven.
Kembali pada soal resensi. Yang membuat
saya suka dengan novel ini adalah, di sini saya bisa belajar tentang banyak
hal. Yah, novel ini bisa dibilang sarat makna. Di antaranya adalah bahwa dalam sebuah
pernikahan komunikasi itu sangat penting dijaga bagi pasangan suami istri. Karena memang dalam hubungan rumah tangga
itu, kita menyatukan dua kutub yang berbeda. Jadi perlu proses dan kesabaran untuk saling memahami. Karena hidup memang tidak ada yang instan. Semua
butuh perjuangan. Sebagaimana dalam membangun rumah tangga yang harmonis—perlu usaha
yang gigih.
Selain itu kita juga diingatkan
untuk menjaga lisan. Karena kadang perkataan itu lebih menyakitkan
daripada tergores pisau. Luka karena
tergores bisa segera sembuh, namun luka di hati, bisa dibawa sampai mati. “Mungkin
kalau dulu kamu nggak sibuk, Aidan masih hidup.” (halaman 81).
Dan kita juga diajarkan untuk sabar
dan ikhlas ketika mendapat cobaan dari-Nya. Jangan jadikan cobaan sebagai
alasan untuk melakukan hal-hal yang dilarang agama. Berdamai-lah dengan diri sendiri. Selalu berpikir
positif.
Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan
tiada (pula) benci kepadamu. Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik
bagimu dari pada yang sekarang (permulaan) (halaman 121).
Recomended.
Srobyong, 29 Desember 2016
Kelihatannya banyak pelajaran yg bisa diambil, nih.
ReplyDeleteWah, mau difimkan, ya?
Iya, Mbak mau fi filmkan. Kalau menurut aku banyak pembelajaran yang bisa diambil dari novel ini. ^_^
DeleteMakasih ya, sudah mampir baca dan ninggalin jejak ^_^
aku jarang sih baca novel romance. Kalu kepepet aja. Mungkin dipertimbangkan lah yah untuk yg satu ini.
ReplyDeleteHhhe, masalah selera kali Mbak. :) Oke Mbak, kalau jadi baca semoga suka :) Terima kasih sudah mampir ^_^
DeleteSuka dengan resensinya, Mbak. Semoga menaaaang (lagi). Ika Natassa gaya penulisannya gimana, Mbak? Belum pernah baca novelnya, tapi pernah baca tulisannya. Banyak selipan bahasa inggris. Saya kan nganu, nilai basingnya jeblok dulu. ��
ReplyDeleteAamiin, terima kasih Mbak Leli. ^_^
DeleteGaya bahasanya renyah. Bahasanya mudah dipahami dan nggak bikin bingung. Iya, Mbak ada selipan bahasa ingrisnya. Mungkin bagi sebagian orang masalah ini agak kurang sreg. Karena tak semua pembaca suka gaya bahasa demikian.
Dan terima kasih sudah mampir Mbak ^_^
DeleteBaru tahu aku kalau buku ini mau difilmin ... >_< Belum pernah baca buku Mbak Ika Natasha, tapi kayaknya patut dikoleksi ya yang ini
ReplyDeleteIya Ko, sudah ada artis yang kepilih jadi pemainnya. Aku juga kali pertama membaca novel Ika Natassa.
DeleteMakasih sudah mampir dan ninggalin jejak ^_^
sudah lama tidak berkunjung via web >_<
ReplyDeleteblognya mbak ratna makin keren ternyata, purple - intuisi wkwk
novel ini emang ribet banget, mungkin krn aku masih terlalu mudaa hihi tapi sama mbak, aku juga suka alurnya yang ternyata tentang orang yang lagi flashback
HHhhe kau sangat sibuk mungkin. HEHh. Makasih sudah berkunjung lagi, ea :D
DeleteAlhamdulillah, Fitra. Padahal blog ini kadang tak terawat :(
Iya, awal aku baca, agak gimana. Tapi lanjut dan berlanjut seru juga. Mungkin karena belum terbiasa dengan gaya tulisan Ika Natassa jadi kaget. Makanya aku akhirnya baca pelan-pelan biar nggak bingung. Hhheh. Iya alurnya bagus di sini.
kalau beneran buku yang bagus ini dijadiin film, semoga saya terpilih jadi pigurannya atuh yeuh
ReplyDeleteRequest aja, siapa tahu boleh. Eh. Hhehh
DeleteTerima kasih sudah berkenan mampir membaca dan memberi jejak di sini. ^_^
Aku jugabaru pertama baca bukunya Ika Natassa, ada beberapa bagian yang nggak sreg seperti yang mbak Ratna bilang. Dari sisi pesannya sih, emang dapet banget.
ReplyDeleteResensi yang bagus. Sukses terus mbak Ratna (semoga menang lagi) :-)
Wah sama baru baca karya Ika Natassa ternyata. Iya banyak beberapa bagian yang terasa kurang logis di sini khusunya tentang bagian religius.
DeleteTerima kasih sudah mampir. Sukses buat kamu juga. :)