Saturday 17 December 2016

[Tanya Penulis] Wawancara With Silvarani Penulis “Love in Kyoto”



Setelah beberapa lalu aku berksesempatan mewawancarai Mbak Arumi E dan Mbak Indah Hanaco, kali ini kita akan berkenalan dengan Mbak Silva—yang juga penulis produktif dan penulis dari seri “Around The World With Love bacth3”

Nah di kesempatan kali ini, tentu saja  saya mencoba mengulik di balik pembuatan novel terbarunya Love in Tokyo.   Sebelum ke hasil wawancara ada baiknya kita berkenalan dulu dengan penulis kece satu ini.



Silvarani lahir di Jakarta pada 6 September. Setelah menyelesaikan kuliah Sastra Prancis UI dan Magister Komunikasi UI, salah satu hal yang dilakukannya adalah melanjutkan hobi menulis novel, naskah drama dan sekalian skenarion film.

Bagi Silvarani, menulis adalah salah satu cara berkomunikasi, berbagi mimpi dan isnpirasi dengan orang-orang di luar sana, yang sudah ia kenal maupun belum.

Jika ingin berkenalan dengan penulis bisa menghubungi akun berikut ini :

Twitter            :  Silvarani
Instagram        : Nadiasilvarani/ Silvaranibooks
E-mail              : silvaranibooks@gmail.com
Facebook         : Nadia Silvarani Lubis

Kalau mau mengenal karya-karya lain dari Mbak Silva bisa cek di goodreads.

Sudah tidak sabar dengan hasil wawancara yang aku lakukan dengan Mbak Silva?  Dan jreng ... inilah hasil wawancara dengan Mbak Silva. Semoga bisa menginspirasi dan menjadi motivasi bagi siapa saja yang suka menulis.

Ratna : Pertanyaan umum nih, Mbak Silva. Bagaimana proses kreatif penulis novel Love in Kyoto? Sejak ditulis, riset sampai terbit memakan waktu beralam lama. Dan adakah kesulitan tertentu ketika menggarap novel ini?

Silva : Proses kreatif menulis Love in Kyoto sebenarnya alhamdulillah lancar, tapiiii kalau saya sudah terserang penyakit "baper" mau jalan-jalan ke Jepang dan malah liat video-video jalan-jalan di Internet atau di handycam saya waktu ngebolang ke sana tahun lalu, berhentilah sudah saya menulis. Jadi lama deh 🙈 😆 😄.

Kalau riset, kira-kira sebulan. Kesulitannya mungkin ya itu tadi.... kalau malah bukannya nulis, tapi lihat-lihat video jalan-jalan orang.

Ratna : Melihat video memang bisa membuat lupa diri Mbak. Trus adakah alasan khusus kenapa memilih Kyoto sebagai setting cerita? 

Silva : Hmm... sebenarnya awalnya saya ingin memilih setting kota di benua lain dari 2 novel saya sebelumnya di Around The World With Love ini. Akhirnya terpilihlah Jepang. Lalu karena saya ingin mengangkat budaya, saya pilih Kyoto sebagai kota yang tradisional dan masih mempertahankan suasana Jepang kuno.
Ratna : Kyoto memang keren. Lalu kalau boleh tahu apa alasan Mbak Silva menulis? Bagaimana cara membagi waktu antara menulis dan kesibukan di dunia nyata? (selain menulis)

Silva : Saya menulis karena saya ingin menuangkan apa yang ada di benak saya kepada dunia. Saya suka berkhayal menjadi orang lain, berada di tempat lain, menghadapi situasi yang tidak saya alami di dunia nyata, dan lain-lain sebagainya. Semua itu tentu saja membuka mata atas sesuatu yang terjadi di dunia ini.
Misalnya saja dalam novel Love in Kyoto. Kalau ada seorang Veli di depan mata kita, mungkin kita akan membayangkan betapa enaknya jadi dia. Veli tak hanya cantik, tapi berasal dari keluarga konglomerat, sukses mengejar karir yang sesuai dengan passion-nya, dekat pula dengan cowok yang banyak diidolakan cewek-cewek. Namun, yang harus kita maknai dan saya coba gambarkan di novel, bagaimana Veli harus survive pasca kepergian orang tuanya untuk selamanya ketika dia kecil, didikan disiplin kakeknya, mandirinya dia, kerja kerasnya mengejar passion, sikap bijaknya terhadap hubungannya dengan Mario, dan lain-lain. Semoga ada sesuatu yang dapat dipetik setelah menutup buku.
Cara saya membagi waktu sebenarnya santai saja. Setiap hari saya memang selalu meluangkan waktu untuk menulis. Misalnya sehari 5-10 halaman. Itu pun dijeda dengan kegiatan lainnya dan menulis tak sampai seharian. Kalau weekend kadang-kadang tidak menulis.
Ratna : Aamiin, semoga Mbak. Saya habis baca ini juga mendapat banyak pengetahuan dan inspirasi yang bisa dipetik. J Tips. Membagi waktunya bisa dicontoh nih. Lanjut ke pertanyaan berikutnya, Mbak. Sekalian buat promosi, Kenapa kita harus membaca Love in Kyoto? Apa keunikannya?

Silva : Love in Kyoto WAJIB dibaca untuk para pecinta novel Indonesia.

Kenapa?
Di novel ini, saya mencoba mengabungkan unsur romance dengan sejarah, budaya (Veli sebagai desainer kain nusantara, Uehara sebagai pemain gitar tradisional Jepang, Futaba sebagai koki udon), dunia tempo doeloe (kependudukan Jepang di Indonesia), hubungan kakek dengan cucunya, persahabatan yang penuh canda tawa tetapi sarat tolong-menolong, "twe way of life" beberapa tokoh yang tergambar dari kata-kata yang keluar dari mulut mereka, dan tentunya nikmat iman islam. Jadi, ada adegan romance, lucu, action, menegangkan, pokoknya "gado-gado", deh.

Mungkin bisa dilihat di blurb novel Love in Kyoto:

“Adinda Melati, satoe hari nanti, berkoendjoenglah ke Kjoto dengan kimono jang kaoe djahit dari kain sakoera ini. Akoe menoenggoemoe.” -Hidejoshi Sanada (13/11/45)

Veli, gadis yatim-piatu yang sejak kecil diasuh kakek-neneknya, adalah perancang busana yang tengah naik daun. Sepulang dari Jakarta Fashion Week, dia menemukan tumpukan surat lusuh di sela-sela koleksi kain nusantara almarhumah neneknya, Nenek Melati. Nama pengirim surat berbau Jepang itu mengusik rasa ingin tahunya, apalagi ada kaligrafi potongan ayat Al-Qur’an di dalamnya.

Bukan kebetulan, prestasi Veli sebagai desainer diganjar kesempatan tinggal beberapa bulan di Kyoto untuk mengikuti program industri budaya. Veli merasa, ini jalan yang diberikan Tuhan kepadanya untuk menambah ilmu sekaligus mencari tahu tentang Hideyoshi Sanada.

Dengan bantuan Mario, teman spesial yang sedang bertugas di Osaka, dan Rebi, kawan SMA yang sudah empat tahun menetap di Jepang, jalinan rahasia antara Hideyoshi dan Nenek pun satu per satu mulai terungkap. Penemuan ini juga membawa Veli dan Mario bertemu sosok dingin bernama Ryuhei Uehara, musisi muda shamisen, dan Futaba Akiyama, gadis pemalu penjaga kedai udon di tengah kota Kyoto. Ternyata, hubungan empat insan ini melahirkan kisah yang jauh lebih rumit dibanding cerita Hideyoshi dan Nenek Melati puluhan tahun silam...

Ratna :  Wah, novel ini memang kudu dibaca. Unsur yang disatu padukan benar-benar inspiring dan unik. Lalu Mbak, apa sih yang ingin disampaikan dari novel ini kepada pembaca?

Sebenarnya ini diserahkan lagi kepada pembaca. Saya yakin, setiap pembaca pasti punya gambaran atau hal yang didapat berbeda-beda. Intinya, semoga mereka terhibur dan mendapatkan hal positif dari novel Love in Kyoto ini.

Ratna : Insya Allah habis baca terhibur Mbk. J Terakhir, dari kacamata Mbak Silva, apa yang perlu dimiliki ketika ingin menjadi penulis? Dan bagaimana tips biar jadi penulis yang konsisten dan selalu produktif?

Silva : Sama seperti profesi-profesi lain, untuk menjadi penulis harus semangat, terus berlatih, kerja keras, tidak mudah menyerah, ikhlas melakukannya, dan jangan lupa rajin berdoa.
Lalu tips agar konsisten dan produktif adalah berpikirlah bahwa pasti ada alasan Tuhan membuat kita bisa menulis. Beberapa tujuannya mungkin agar bisa sharing dengan pembaca di luar sana. Jadi, menulislah selagi ada kesempatan.


Oke Mbak Silva, terima kasih atas waktu dan jawabannya. J Sukses selabuat Mbak Silva dan semoga bukunya laris manis disukai pembaca. J  Dan semoga sedikit wawancara ini bisa menginspirasi bagi siapa saja yang membaca. J

Dan yang penasaran bagaimana kisah Love in Kyoto, simak resensinya di sini.

3 comments: