Judul : Love in Kyoto
Penulis : Silvarani
Penerbit : Gramedia
Cetakan : Pertama,November 2016
Halaman : 236 hlm
ISBN :
978-602-03-3630-5
Hidup itu selalu penuh dengan
kejutan. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Apakah
selamanya merasa bahagia atau malah sedih berkepanjangan. Semua itu misteri Ilahi. Tinggal bagaimana kita menyikapinya. Menerima dengan
sabar atau tidak terima. Novel ini selain menganggat tema cinta, penulis juga
menyelipinya dengan kebudayaan dan sebuah misteri.
Karena sejak kecil sudah yatim
piatu, Veli dibesarkan oleh kakek dan neneknya.
Mereka adalah sosok yang sangat diidolakan Veli dalam kehidupan rumah
tangga nampak selalu harmonis dan romantis. Sampai suatu hari, tanpa sengaja
Veli menemukan surat-surat bertulikan huruf kanji yang ditujukan pada neneknya—Melati.
Selain itu dia juga menemukan sebuah foto hitam putih bergambar seorang pria
Jepang (hal 27). Dia pun bertanya-tanya
ada hubungan apa neneknya dengan pria Jepang yang bernama Hidejoshi Sanada itu.
Bersamaan dengan itu, sebagai
desainer yang berprestasi, Veli
berkesempatan tinggal beberapa bulan di Kyoto untuk mengikuti program
industri budaya. Entah kenapa momen itu
sangat pas. Dan itu adalah kesempatan bagus bagi dirinya. Selain bisa belajar dan mengembangkan ilmunya, sekarang,
dia juga memiliki misi baru untuk mencari tahu perihal Hidejoshi Sanada.
Beruntung di sana, dia memiliki dua
teman yang baik hati—Rebi dan Mario. Mereka dengn suka rela membantu. Mario sendiri adalah sosok yang memiliki porsi
lebih di hati Veli. Meski terpisah jarak dan waktu, mereka masih lancar
berkomunikasi. Kesempatan ini juga
dimanfaatkan dua pasang sejoli ini untuk menikmati keindahan Kyoto. Salah satunya
mereka mengunjungi Gion—di sana banyak balai-bailai seni dan bangunan-bangunan
tradisional.
Dan betapa kagetnya Veli, ketika
membaca surat-surat itu. Perasan Veli semakin tidak menentu membayangkan
neneknya menghianati sang kakek. Hingga akhirnya
dia mendengar kalau Hidejoshi Sanada memiliki perguruan yang mengajarkan seni bela
diri samurai. Dan kebetulan tempatnya di Kyoto (hal 109).
Veli dengan semangat mengunjungi
perguruannya itu dengan Mario. Di sana dia bertemu Ryuhei Uehara—pemain shamisen
juga Futabah Akiyama, penjaga kedei udon. Hanya saja pertemuan itu tidak
membawa hasil yang memuaskan bagi Veli. Dan itu sungguh membuatnya kecewa. Kekecewaanya semakin berlipat ketika Mario
membuat pengakuan. Kalau mereka mungkin tidak bisa melanjutkan kedekatan
mereka. “Mungkin kamu sakit hati, tapi tolonglah mengerti. Tak semua cinta
didukung oleh keadaan.” (hal 108).
Sejak dulu ibu Mario tidak terlalu
menyukai Veli yang katanya memiliki garis keturunan yang tidak jelas. Meski sedih, Veli berusaha menerima dengan
ikhlas. Hanya saja sejenak setelah mereka putus, Mario malah terlihat dekat dengan Futaba. Bahkan
gadis itu menembak Mario. Belum lagi
ternyata diam-diam Uehara juga bersimpati pada Veli. Veli dilema belum lagi
ketika memikirkan tentang Hidejoshi
Sanada . Adakah kesempatan untuk bertemu dengan pria Jepang itu?
Novel ini memilik prolog yang keren
dan berhasil mencuri rasa penasaran untuk melanjutkan bacaan sampai akhir. Diceritakan
dengan gaya bahasa yang renyah dan gurih. Novel ini sangat memikat. Saya suka alurnya yang cepat hingga terus
terdorong untuk membuka lembar berikutnya.
Kelebihan lainnya adalah masalah
pengolahan setting yang terasa hidup dan banyaknya pengetahuan yang bisa
diambil dari buku ini—khususnya tentang kesenian di Jepang dan wisata di Kyoto.
Shamisen adalah alat musik dawai
tradisional Jepang yang memiliki tiga senar. Cara memainkannya dipetik seperti
gitar dengan alat jenis pick gitar (hal 66).
Fushimi Inari Taisha adalah sebuah
kuil, tempat ibdah para pemeluk agam Shinto (hal 146).
Selain itu ada juga quote inspiratif
yang membuat kita termotivasi. Kita diajak
untuk mengingat budaya, tips menjadi orang yang sukses juga sikap yang tidak
mudah menyerah.
“Budaya adalah kekayaan yang
menunjukkan kepribadian kita. Kita tidak boleh melupakannya.” (hal 9).
“Menunda bukan kebiasaan orang
sukses.” (hal 23).
“Orang yang mendapat kritik justru
orang yang berbeda dengan kebanyakan orang. Bukan kritik yang harus kita
takutkan, tetapi hati lemah yang tak kuat menerima kritikan.”(hal 68).
“Orang yang fokus pada hasil, ketika
mereka tidak bisa mewujudkan mimpi, mereka akan jatuh sejatuh-jatuhnya. Tapi,
orang yang menghargai proses, ketika mereka tidak bisa mewujudkan mimpi, mereka
akan tetap semangat maju karena proses dianggap sebagai pencapaian.” (hal 150).
Dan tentunnya masih banyak lagi yang
bisa dipelajari dari novel ini. Hanya saja saya masih menemukan sedikit
kesalahan tulis. Entah ini masalah pov atau karena kurang dalam memberi tanda
petik. Karena di sana dari menjelaskan
soal Veli, pov berubah jadi aku. Lalu diakhiri dengan tanda petik. Padahal sebelumnya
tidak ada tanda petik di awal (hal 203).
Tapi lepas dari kekurangannya, novel
ini recomended buat dibaca. Menggabungkan tema cinta, sedikit misteri dan
budaya, menjadi poin tambah dari novel ini. Dan masing-masing diberi porsi yang pas,
sehingga cerita tidak timpang.
Dan
seperti biasanya setelah ini bakal ada
tanya penulis. Tunggu hasil wawancara dengan Mbak Silvarani. ^_^
Dan ini dia hasil nya Wawancara With Silvarani
Dan ini dia hasil nya Wawancara With Silvarani
Srobyong, 16 November 2016
wah, sepertinya harus baca novel ini. Jalan ceritanya menarik banget
ReplyDeleteIya, monggo diburu novelnya ^_^
Delete