Saturday, 17 December 2016

[Review] Surat Misterius dan Romantika di Kyoto

Judul                : Love in Kyoto
Penulis              : Silvarani
Penerbit            : Gramedia
Cetakan           : Pertama,November 2016
Halaman           : 236 hlm
ISBN               : 978-602-03-3630-5

Hidup itu selalu penuh dengan kejutan. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Apakah selamanya merasa bahagia atau malah sedih berkepanjangan.  Semua itu misteri Ilahi.  Tinggal bagaimana kita menyikapinya. Menerima dengan sabar atau tidak terima. Novel ini selain menganggat tema cinta, penulis juga menyelipinya dengan kebudayaan dan sebuah misteri.  

Karena sejak kecil sudah yatim piatu, Veli dibesarkan oleh kakek dan neneknya.  Mereka adalah sosok yang sangat diidolakan Veli dalam kehidupan rumah tangga nampak selalu harmonis dan romantis. Sampai suatu hari, tanpa sengaja Veli menemukan surat-surat bertulikan huruf kanji yang ditujukan pada neneknya—Melati. Selain itu dia juga menemukan sebuah foto hitam putih bergambar seorang pria Jepang (hal 27).  Dia pun bertanya-tanya ada hubungan apa neneknya dengan pria Jepang yang bernama Hidejoshi Sanada itu.

Bersamaan dengan itu, sebagai desainer yang berprestasi, Veli  berkesempatan tinggal beberapa bulan di Kyoto untuk mengikuti program industri budaya.  Entah kenapa momen itu sangat pas. Dan itu adalah kesempatan bagus bagi dirinya.  Selain bisa  belajar dan mengembangkan ilmunya, sekarang, dia juga memiliki misi baru untuk mencari tahu perihal  Hidejoshi Sanada.

Beruntung di sana, dia memiliki dua teman yang baik hati—Rebi dan Mario. Mereka dengn suka rela membantu.  Mario sendiri adalah sosok yang memiliki porsi lebih di hati Veli. Meski terpisah jarak dan waktu, mereka masih lancar berkomunikasi.  Kesempatan ini juga dimanfaatkan dua pasang sejoli ini untuk menikmati keindahan Kyoto. Salah satunya mereka mengunjungi Gion—di sana banyak balai-bailai seni dan bangunan-bangunan tradisional.

Dan betapa kagetnya Veli, ketika membaca surat-surat itu. Perasan Veli semakin tidak menentu membayangkan neneknya menghianati sang kakek.  Hingga akhirnya dia mendengar kalau Hidejoshi Sanada  memiliki perguruan yang mengajarkan seni bela diri samurai. Dan kebetulan tempatnya di Kyoto (hal 109).

Veli dengan semangat mengunjungi perguruannya itu dengan Mario. Di sana dia bertemu Ryuhei Uehara—pemain shamisen juga Futabah Akiyama, penjaga kedei udon. Hanya saja pertemuan itu tidak membawa hasil yang memuaskan bagi Veli. Dan itu sungguh membuatnya kecewa.  Kekecewaanya semakin berlipat ketika Mario membuat pengakuan. Kalau mereka mungkin tidak bisa melanjutkan kedekatan mereka. “Mungkin kamu sakit hati, tapi tolonglah mengerti. Tak semua cinta didukung oleh keadaan.”  (hal 108).

Sejak dulu ibu Mario tidak terlalu menyukai Veli yang katanya memiliki garis keturunan yang tidak jelas.  Meski sedih, Veli berusaha menerima dengan ikhlas. Hanya saja sejenak setelah mereka putus,  Mario malah terlihat dekat dengan Futaba. Bahkan gadis itu menembak Mario.  Belum lagi ternyata diam-diam Uehara juga bersimpati pada Veli. Veli dilema belum lagi ketika memikirkan tentang  Hidejoshi Sanada . Adakah kesempatan untuk bertemu dengan pria  Jepang itu?

Novel ini memilik prolog yang keren dan berhasil mencuri rasa penasaran untuk melanjutkan bacaan sampai akhir. Diceritakan dengan gaya bahasa yang renyah dan gurih. Novel ini sangat memikat.  Saya suka alurnya yang cepat hingga terus terdorong untuk membuka lembar berikutnya.

Kelebihan lainnya adalah masalah pengolahan setting yang terasa hidup dan banyaknya pengetahuan yang bisa diambil dari buku ini—khususnya tentang kesenian di Jepang dan wisata di Kyoto.

Shamisen adalah alat musik dawai tradisional Jepang yang memiliki tiga senar. Cara memainkannya dipetik seperti gitar dengan alat jenis pick gitar (hal 66).

Fushimi Inari Taisha adalah sebuah kuil, tempat ibdah para pemeluk agam Shinto (hal 146).

Selain itu ada juga quote inspiratif yang membuat kita termotivasi.  Kita diajak untuk mengingat budaya, tips menjadi orang yang sukses juga sikap yang tidak mudah menyerah.

“Budaya adalah kekayaan yang menunjukkan kepribadian kita. Kita tidak boleh melupakannya.” (hal 9).
“Menunda bukan kebiasaan orang sukses.” (hal 23).

“Orang yang mendapat kritik justru orang yang berbeda dengan kebanyakan orang. Bukan kritik yang harus kita takutkan, tetapi hati lemah yang tak kuat menerima kritikan.”(hal 68).

“Orang yang fokus pada hasil, ketika mereka tidak bisa mewujudkan mimpi, mereka akan jatuh sejatuh-jatuhnya. Tapi, orang yang menghargai proses, ketika mereka tidak bisa mewujudkan mimpi, mereka akan tetap semangat maju karena proses dianggap sebagai pencapaian.” (hal 150).

Dan tentunnya masih banyak lagi yang bisa dipelajari dari novel ini. Hanya saja saya masih menemukan sedikit kesalahan tulis. Entah ini masalah pov atau karena kurang dalam memberi tanda petik.  Karena di sana dari menjelaskan soal Veli, pov berubah jadi aku. Lalu diakhiri dengan tanda petik. Padahal sebelumnya tidak ada tanda petik di awal (hal 203).    

Tapi lepas dari kekurangannya, novel ini recomended buat dibaca.   Menggabungkan tema cinta, sedikit misteri dan budaya, menjadi poin tambah dari novel ini.  Dan masing-masing diberi porsi yang pas, sehingga cerita tidak timpang.


Dan seperti biasanya setelah  ini bakal ada tanya penulis. Tunggu hasil wawancara dengan Mbak Silvarani. ^_^ 

Dan ini dia hasil nya Wawancara With Silvarani

Srobyong, 16 November 2016

2 comments: