Judul : Love in City of
Angels
Penulis : Irene Dyah
Penerbit : Gramedia
Cetakan : Pertama, November 2016
Halaman : 212 hlm
ISBN :
978-602-03-3491-2
Tidak ada manusia yang sempurna. Setiap
orang pasti pernah melakukan kesalahan dan setiap orang berhak mendapat
kesempatan untuk berubah. Jangan jadikan alasan masa lalu membuat kita semakin
terjebak pada kubangan gelap itu. Masa lalu bukan untuk ditangisi, tapi
dijadikan pembelajaran untuk memperbaiki diri.
Cinta dan trauma, masih menjadi tema
yang asyik dinikmati. Yang terpenting adalah bagaimana penulis mengola kisah
dengan unik sehingga berbeda dengan kebanyakan novel dengan tema serupa. Sebagaimana
novel Love in City of Angels, memadukan kisah cinta yang tidak terduga,
juga masa lalu serta trauma yang pada akhirnya membimbing sang tokoh pada jalan
yang salah.
Masa lalu membuat Ajeng memiliki persepsi yang salah tentang cinta. Bahwa cinta
itu hanya omong kosong—cinta adalah mitos. Hal ini yang kemudian membuat Ajeng
lebih memilih menjalin hubungan tanpa status dengan berbagai pria yang
membuatnya nyaman. Lagi pula dia memang tidak memiliki keinginan untuk menikah.
Ajeng punya pandangan tersendiri perihah pernikahan.
Seremonial akan mengubah manusia
menjadi sepasangan individu asing,
berevolusi menjadi satu tim (yang seharusnya) solid bernama keluarga. Tapi
harusnya orang yang berilmu tahu, evolusi tidak selamanya berjalan mulus. Ada cacat
genetika, kegagalan, berkurangnya fungsi, dan hal-hal mengerikan lainnya. Jadi tidak
heran, dalam pernikahan pun muncul perceraian, perselingkuhan, ribut-ribut
urusan anak dana harta, berantem sama mertua, kehilangan privasi, juga para
bapak yang kabur meninggalkan keluarga, tapi tiba-tiba memohon maaf (hal 4).
Lepas dari pernikahan, Ajeng menikmati
kehidupan bebasnya di Krung Thep, nama lain dari Bangkok. Sampai kemudian, dia
menyadari ada yang salah pada dirinya—dia terlambat datang bulan—dalam keadaan
ini Ajeng sedikit merasa menyesal karena meneguk minuman beralkohol. Belum lagi dia lupa siapa laki-laki itu.
Hingga pada sebuah acara di kantor—perkenalan
Presdir baru, Ajeng bertemu dengan Earth—pria
tampan yang ternyata mengingat bagaimana dirinya mabuk malam itu dan mengatakan
sesuatu yang membuat Ajeng melilit. Ajeng
pun bergegas ingin membeli test pack.
Lucunya Ajeng entah kenapa terjebak pergi dengan pria yang tidak dia
kenal Yazan yang mengaku tahu rumahnya (hal 31).
Tapi dari pertemuan itu, Ajeng malah
menjadi dekat dengan Yazan. Meski Ajeng menyadari Yazan bukanlah seperti pria
yang dia kencani selama ini. Yazan terlalu serius dan jarang sekali menunjukkan
ekspresi. Mereka sempat menghabiskan
waktu bersama dalam rangka mengunjungi Masjid Jawa (hal 55).
Tidak hanya itu Yazan juga pernah
melakukan sesuatu yang romantis dan membuat Ajeng seperi hilang kendali. Sesuatu yang entah kenapa jarang Ajeng
dapatkan dari orang lain. Hanya saja
setiap kali mengingat masa lalu yang dilakukan ayahnya, Ajeng langsung
membuat jarak. Dia tidak boleh tunduk pada pria.
“Aku tidak bisa melarangmu kamu
tergila-gila padaku. Terserah. Tapi, aku juga tidak bisa menjanjikan apa pun
kepadamu. Jadi, mari kitaa berteman saja seperti sekarang, dan kita lihat
perkembangannya nanti. Tidak ada ikatan. Dan, kamu juga tidak punya hak
melarang-larang atau mengguruiku. Dalam hal apa pun.” (hal 112).
Lalu bagaimana tanggapan Yazan
perihal penolakan Ajeng? Apakah Ajeng benar-benar hamil? Selain dua pertanyaan
ini sejatinya masih banyak lagi kepingan-kepingan misteri yang membuat kisah
ini semakin menarik. Seperti rahasia yang disimpan rapat oleh sang ibu hingga
membuat Ajeng Syok.
Ini kali kedua membaca karya Mbak Irene
dalam seri Around The World
With Love. Sebelumnya saya membaca Love in Blue City. Saya suka
pemilihan judulnya yang unik karena tidak menjabakan nama kotanya langsung. Selain
Love in Blue City dan Love in City of Angels, ada
juga Love in Marrakech. Ketiganya adalah seri Around The World With Love karya Mbak Irene yang bisa diburu.
Novel ini dipaparkan dengan gaya
bahasa renyah, lugas, asyik dan gurih. Penulis memiliki ciri khas dalam
bercerita. Selain itu kepingan-kepingan misteri yang diselipkan penulis juga
sukses membuat saya penasaran. Penulis pandai menggiring pembaca untuk tidak
berhenti membaca sampai pada tahap akhir.
Penokohan juga terasa hidup, membuat
kisah terasa semakin seru. Yazan yang selalu cuek tapi keras kepala dan Ajeng
yang jinak-jikan merpati. Masalah setting, mengingat penulisnya memang penah
bermukim di sana, membuat penjabarannya terasa hidup. Menyatu dengan cerita.
Kelebihan lainnya adalah pengetahuan
yang ditawarkan penulis perihal kehidupan di Bangkok.
“Masjid Jawa itu masjid tertua di
Bangkok. didirikan oleh perantau Jawa, Haji Muhammad Saleh di tanah wakaf. Dalam
penyebaran Islam di Bangkok ulama-ulama
Indonesia memilih peran yang cukup besar. Irfan Dahlan—putra KH. Ahmad Dahlan
merantau ke India dan Pakistan, lalu menetap di Thailand dan menikah dengan
Zahrah, seorang putri imam Masjid Jawa, yang ternyata cucu dari H Mahmud Saleh.”
(hal 64).
Atau perihal nama lain Bangkong yang
ternyata begitu sulit untuk diucapkan Krung Thep Mahanakhon Amon Rattanakosin
.... (lanjutannya bisa diintip dihalaman 2). Panjang banget J atau makna Krung Thep—nama pendek Bangkok yang
memiliki arti City of Angels (hal 202). Dan
masih banyak lagi.
Hanya saja saya merasa tokoh selain
Ajeng dan Yazan itu, hanya numpang lewat. Entah kenapa saya merasa porsi mereka
kurang. Misalnya pria Jepang—Jun Miyamoto,
kalau saja dia memiliki porsi yang lebih pasti cerita akan lebih seru. Atau Earth, pria yang membuat Ajeng jungkir
balik. Karena di sini Ajeng diceritakan memiliki banyak teman pria. Jadi
keberdaan mereka bisa membuat kisah lebih menarik dan membuat jantung
berdebar-debar.
Tapi lepas dari kekurangnnya. Novel ini
sarat makna. Selain mendapat pelajaran
sejarah, ada juga pembelajaran tentang arti keluarga. Bahwa orangtua memiliki
peran penting yang mempengaruhi sikap anak. Pendidikan yang salah akan membawa
dampak buruk pada psikologi anak. Sebagaimana yang dialami Ajeng, tumbuh dari
keluarga broken home, membuatnya
membenci dan tidak mempercayai cinta.
Tidak ketinggalan, di sini kita juga
belajar, bahwa setiap manusia itu memiliki kesempatan untuk berubah. Memilih menjadi
orang yang baik atau buruk adalah pilihan kita sendiri. Dan jangan menjadikan
masa lalu sebagai kedok kita untuk melakukan kesalahan lain yang tidak diridai.
Seharunsya kita belajar dari masa lalu untuk memperbaiki diri.
Manusia bisa khilaf. Dan setiap
manusia punya kesempatan untuk menyadari kekeliruannya, bertobat, berusaha
menjadi sosok yang lebih baik. Jangan biarkan dirimu terpenjara masa lalu (hal
148).
Srobyong, 22 Desember 2016
Dan untuk wawancara dengan penulisnya bisa dibaca di sini
No comments:
Post a Comment