Judul : Laba-Laba yang Terus Merajut
Sarangnya
Penulis : Adi Zam Zam
Penerbit : UNSA Press
Cetakan : Pertama, Juli 2016
Halaman : viii + 174 hlm
ISBN : 978-602-74393-0-6
Disadari atau tidak, saat ini
manusia sudah mulai menunjukkan sikap-sikap yang bisa dibilang jauh dari sifat
manusiawi. Ketamakan membuat manusia lupa memakai akal sehat. Saling sikut
menjadi hal wajar. Bahkan bisa dibilang hukum rimba bisa jadi kembali
diterapkan.
Mengurai dari fenomena itu. Kumpulan
cerpen ini hadir dengan ide unik. Mengemas cerpen dengan bumbu yang tidak
biasa. Tentang manusia, metafora binatang juga sufisme (religius). Kumpulan cerpen yang terdiri
dari 17 cerita ini sangat memikat dan penuh perenungan yang inspiratif.
Sebut saja cerpen yang berjudul “Laba-laba
yang Terus Merajut Sarangnya”. Di sini digambarkan perempuan itu sama seperti laba-laba yang
memiliki kesabaran yang tinggi. Tokoh perempuan dalam cerita ini
berharap bisa seperti laba-laba. Di mana meski rumah rajutannya berkali-kali
dirusak manusia, dia masih saja selalu merajut sarangnya kembali. Seperti tidak
pernah merasa lelah dan sakit hati (hal 9). Hanya saja mampukah jika itu seorang
manusia? Harus bertahan setelah digilas pengkhianatan, diabaikan setelah
perjuangan keras mendidik anak-anaknya menjadi orang-orang berguna.
Berbeda lagi dengan cerpen yang
berjudul “Lolongan Tengah Malam” (hal 31). Pada cerpen ini penulis menyamakan tokoh
anjing sebagai pelacur. Dan ada sindiran
halus mengenai kebiasaan manusia yang hanya melihat seseorang dari penampilan
saja. Ketika orang itu berpakaian rapi
dan memiliki jabatan, maka segera saja didekati. Berbeda jika orang itu kumal
tak memiliki apa-apa. Mereka hanya dianggap sampah, tidak berguna.
Sebagaimana yang kerap didapati
seekor anjing ketika mencoba mencari sesuap nasi. Kebanyakan orang akan
mengusir bahkan memukul. Padahal berbagi rezeki sedikit tidakalah salah atau
haram dilakukan—meski anjing binatang najis.
Bukankah dulu ada seorang sahabat masuk surga karena memberi minum pada
anjing? Kita manusia seyogyanya tidak
membedakan kedudukan manusia berdasarkan
tingkat sosialnya. Juga jangan sampai menyakiti binatang, karena binatang
sama-sama ciptaan Tuhan.
“Kepala Tikus”. Cerpen ini juga
cukup menarik. Bahwa koruptor itu layaknya
tikus. Menjabarkan kebiasaan para pemuka yang gemar mengambil sesuatu yang
bukan haknya—korupsi. Juga melakukan perbuatan tak terpuji untuk bisa meraih
kedudukan tinggi atau untuk mewujudkan ambisinya. Berbagai jalan dilakukan
tidak peduli itu melanggar aturan. Kisah
ini dijabarkan dengan baik melalui tokoh Pak Brojo dan tokoh ‘aku’ (hal 39).
Selain menggunakan metafora tipe
manusia lewat binatang, penulis juga menggugah jiwa lewat cerpen-cerpenya yang sangat
kental dengan unsur religius. “Sang Penjinak Angin”, dalam cerpen ini
termaktub pesan tentang menjadi pribadi yang bersyukur dan jangan serakah.
Ketika memiliki harta lebih ada baiknya untuk berbagi pada sesama. “Kita cari
secukupnya saja. Jangan sampai angin menenggelamkan kita sehingga tak dapat
melihat apa yang sebenarnya terjadi” (hal 105).
Dan tidak kalah menarik adalah pesan
tersirat dari cerpen “Lelaki yang Selalu Mencuci Hatinya dari Dendam”. Manusia diingatkan untuk selalu menjaga lisan
dan segala prasangka yang membuat hati buta. Karena prasangka buruk dan lisan yang tak
terjaga hanya akan membuat kita seperti memakan daging saudara, menelan bau
busuk di sepanjang masa (hal 139).
Kumpulan cerpen ini menggambarkan
realita yang sering terjadi pada masyarakat luas lewat sastra. Kesombongan,
kegoisan dan kerakusan menjadi santapan sikap manusia saat ini. Memikat. Belum
lagi pilihan katanya halus namun sangat
menyentil. Pemilihan sudut pandang, plot
dan alur juga dieksekusi dengan sangat baik.
Lalu judul-judul cerpen yang memikat, mengundang rasa penasaran dan
ditutup dengan twist ending yang memukau, membuat pembaca akan larut
dalam cerita.
Sebuah buku yang recomended
untuk dibaca. Pesan-pesan yang tersirat dan
tersurat dari buku ini bisa
dijadikan renungan untuk memperbaiki diri.
Srobyong, 7 November 2016
Kumcer yang menarik. Sayang sekali, saya masih belum lulus membaca Kumcer. Padahal, di lemari sudah ada 2 buku Kumcer yang sampai saat ini belum terjamah. Gagal lagi-gagal lagi... :(
ReplyDeleteKenapa belum lulus, Mas. padahal baca kumcer itu paling enak. bisa loncat-loncat sesuai judul yang disukai :)
Delete