Tuesday, 13 December 2016

[Review] Manusia, Metafora Binatang dan Sufisme

Judul               : Laba-Laba yang Terus Merajut Sarangnya
Penulis             : Adi Zam Zam
Penerbit           : UNSA Press
Cetakan           : Pertama, Juli 2016
Halaman          : viii + 174 hlm
ISBN               : 978-602-74393-0-6

Disadari atau tidak, saat ini manusia sudah mulai menunjukkan sikap-sikap yang bisa dibilang jauh dari sifat manusiawi. Ketamakan membuat manusia lupa memakai akal sehat. Saling sikut menjadi hal wajar. Bahkan bisa dibilang hukum rimba bisa jadi kembali diterapkan.   

Mengurai dari fenomena itu. Kumpulan cerpen ini hadir dengan ide unik. Mengemas cerpen dengan bumbu yang tidak biasa.  Tentang manusia, metafora binatang juga sufisme (religius). Kumpulan cerpen yang terdiri dari 17 cerita ini sangat memikat dan penuh perenungan yang inspiratif.  

Sebut saja cerpen yang berjudul “Laba-laba yang Terus Merajut Sarangnya”. Di sini digambarkan perempuan itu sama seperti laba-laba yang memiliki kesabaran yang tinggi. Tokoh perempuan dalam cerita ini berharap bisa seperti laba-laba. Di mana meski rumah rajutannya berkali-kali dirusak manusia, dia masih saja selalu merajut sarangnya kembali. Seperti tidak pernah merasa lelah dan sakit hati (hal 9). Hanya saja mampukah jika itu seorang manusia? Harus bertahan setelah digilas pengkhianatan, diabaikan setelah perjuangan keras mendidik anak-anaknya menjadi orang-orang berguna.

Berbeda lagi dengan cerpen yang berjudul “Lolongan Tengah Malam” (hal 31).  Pada cerpen ini penulis menyamakan tokoh anjing sebagai pelacur.  Dan ada sindiran halus mengenai kebiasaan manusia yang hanya melihat seseorang dari penampilan saja. Ketika  orang itu berpakaian rapi dan memiliki jabatan, maka segera saja didekati. Berbeda jika orang itu kumal tak memiliki apa-apa. Mereka hanya dianggap sampah, tidak berguna.

Sebagaimana yang kerap didapati seekor anjing ketika mencoba mencari sesuap nasi. Kebanyakan orang akan mengusir bahkan memukul. Padahal berbagi rezeki sedikit tidakalah salah atau haram dilakukan—meski anjing binatang najis.  Bukankah dulu ada seorang sahabat masuk surga karena memberi minum pada anjing?  Kita manusia seyogyanya tidak membedakan kedudukan manusia  berdasarkan tingkat sosialnya. Juga jangan sampai menyakiti binatang, karena binatang sama-sama ciptaan Tuhan.

“Kepala Tikus”. Cerpen ini juga cukup menarik.  Bahwa koruptor itu layaknya tikus. Menjabarkan kebiasaan para pemuka yang gemar mengambil sesuatu yang bukan haknya—korupsi. Juga melakukan perbuatan tak terpuji untuk bisa meraih kedudukan tinggi atau untuk mewujudkan ambisinya. Berbagai jalan dilakukan tidak peduli itu melanggar aturan.   Kisah ini dijabarkan dengan baik melalui tokoh Pak Brojo dan tokoh ‘aku’ (hal 39).

Selain menggunakan metafora tipe manusia lewat binatang, penulis juga menggugah jiwa lewat cerpen-cerpenya yang sangat kental dengan unsur  religius.   “Sang Penjinak Angin”, dalam cerpen ini termaktub pesan tentang menjadi pribadi yang bersyukur dan jangan serakah. Ketika memiliki harta lebih ada baiknya untuk berbagi pada sesama. “Kita cari secukupnya saja. Jangan sampai angin menenggelamkan kita sehingga tak dapat melihat apa yang sebenarnya terjadi” (hal 105).

Dan tidak kalah menarik adalah pesan tersirat dari cerpen “Lelaki yang Selalu Mencuci Hatinya dari Dendam”.  Manusia diingatkan untuk selalu menjaga lisan dan segala prasangka yang membuat hati buta.  Karena prasangka buruk dan lisan yang tak terjaga hanya akan membuat kita seperti memakan daging saudara, menelan bau busuk di sepanjang masa (hal 139).

Kumpulan cerpen ini menggambarkan realita yang sering terjadi pada masyarakat luas lewat sastra. Kesombongan, kegoisan dan kerakusan menjadi santapan sikap manusia saat ini. Memikat. Belum lagi  pilihan katanya halus namun sangat menyentil.  Pemilihan sudut pandang, plot dan alur juga dieksekusi dengan sangat baik.  Lalu judul-judul cerpen yang memikat, mengundang rasa penasaran dan ditutup dengan twist ending yang memukau, membuat pembaca akan larut dalam cerita.

Sebuah buku yang recomended untuk dibaca. Pesan-pesan yang tersirat dan  tersurat  dari buku ini bisa dijadikan renungan untuk memperbaiki diri.  


Srobyong, 7 November 2016 

2 comments:

  1. Kumcer yang menarik. Sayang sekali, saya masih belum lulus membaca Kumcer. Padahal, di lemari sudah ada 2 buku Kumcer yang sampai saat ini belum terjamah. Gagal lagi-gagal lagi... :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kenapa belum lulus, Mas. padahal baca kumcer itu paling enak. bisa loncat-loncat sesuai judul yang disukai :)

      Delete