Monday 26 December 2016

[Resensi] Memaknai Hakikat Pulang

Dimuat di Koran Duta Masyarakat, Minggu 18 Desember 2016 



Judul               : Pulang
Penulis             : Tere Liye
Penerbit           : Republika Penerbit
cetakan            : 1, September 2015
Halaman          : iv+ 400 halaman
ISBN               : 978-602-082-212-9
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara.


Pulang memiliki berbagai makna dilihat dari konteksnya.  Ada kalanya pulang berarti kembali ke sisi Tuhan. Bisa juga berarti pulang kembali pada jalan yang benar. Atau bermakna pulang—kembali ke rumah, tempat asal.  Pada waktunya, semua orang akan pulang pada tempatnya masing-masing. Itulah hakikatnya. Begitu pula dengan Bujang atau lebih dikenal sebagai si Babi Hutan. Dia harus pulang ketika waktu yang ditentukan telah datang.

Sebuah novel yang memikat dengan gaya bahasa yang  renyah. Mengisahkan tentang Bujang yang pada satuan waktu harus meninggalkan Talang, Sumatra dan ikut ke kota bersama Tauke Muda.  Tepatnya dia diadopsi oleh keluarga Tong.  Salah satu keluarga besar dunia hitam.

Keputusan ini sejatinya sangat ditentang oleh Midah, Mamak Bujang. Bagaimanapun dia tahu pekerjaan apa yang dilakukan Tauke Muda di kota. Dia khawatir  akan jadi apa putrnya itu nanti. Namun, suaminya terus berusa mendesak Midah. Karena dulunya dia pernah membuat sebuah janji dengan Taukde Muda. Merasa tidak ada pilihan, Midah hanya bisa berpesan pada Bujang.

“Pergilah, anakku. Temukan masa depanmu. Sungguh, besok lusa kau akan pulang. Jika tidak ke pangkuan Mamak, kau akan pulang pada hakikat sejati yang ada dalam dirimu. Dan apa pun yang akan kau lakukan di sana, berjanjilah kau tidak akan makan daging babi dan anjing, juga menyentuh tuak. Jagalah perutmu dari makanan haram.” (hal 24).

Selama ikut Tauke Muda, Bujang diberikan pendidikan yang paling baik. Ini sangat tidak terduga sebagaimana persepsi Bujang yang mengira dia akan dijadikan tukang jagal.  Keputusan itu sempat membuat Bujang ingin menolak. Namun Tauke menasihatinya, “Masa depan Keluarga Tong bukan di tangan orang-orang yang pandai berkelahi. Masa depan keluarga ini ada di tangan orang yang pintar.” (hal. 55). 




Selain bersekolah, ternyata Bujang juga dibekali berbagai ilmu bela diri, menembak bahkan tehnik ninja seperti, menggunakan shuriken yang telah dimodifikasi sesuai zaman saat ini. Hal inilah yang kemudian membuat Bujang berbeda dan mendapat julukan si Babi Hutan. Dia sangat pintar dalam menjalankan bisnis hitam, bersiasat juga perkelahian.

Perlahan kekuasaan keluarga Tong semakin kuat. Namun sebuah pengkhianatan dari dalam meluluh lantakkan kejayan keluarga Tong. Belum lagi ditambah rong-rongan keluarga Lin yang sejak awal tidak suka dengan keluarga Tong. Pertikaian pun tidak dapat dihindari.  Banyak hal yang harus dia relakan dari kejadian ini

Bujang sangat kekecewaan dan sedih. Namun dia  menyadari bahwa memang beginilah hidup. Seperti yang terjadi dengan bapaknya. Hidup ini adalah perjalanan panjang dan tidak selalu mulus yang diperlukan adalah kesabaran (hal262). Dari kejadian itu, Bujang dipertemukan dengan pamannya—Tuanku Imam. Pertemuan itu mengingatkan padanya untuk pulang ke tempat asalnya, setelah mengetahui sejarah hidup kedua orangtuanya.  Ada dua makna pulang yang dipilih Bujang. Kembali pada pelukan kedua orangtuanya juga memulai hidup baru pada jalan yang telah lama ditinggalkan.

Novel ini memiliki tema unik namun tetap sarat makna. Sebuah novel yang menceritakan sindikat keluarga yang berkecimpung di dunia hitam. Tapi tetap mengajarkan nila-nilai kehidupan. Bahwa setiap orang selalu punya masalah masing-masing—tidak ada yang sempurna. Novel ini juga menyadarkan akan pentingnya sebuah pendidikan.
Selain itu ada juga sisi religi yang bisa ditangkap dalam novel ini. Bahwa menjauhi makan dan minum yang haram bisa memanggil jiwa yang masih terjaga jiwanya, meskipun sudah banyak kejahatan yang dilakukan.  Lalu mengajarkan tentang kesabaran. Bersabarlah, maka gunung-gunung akan luruh dengan sendirinya, lautan akan kering. Biarlah waktu menghabisi semuanya (hal 288).

Dan ada pula sebuah nasihat yang mengingatkan bahwa jikalau setiap orang punya masa lalu, manusia tetap bisa berubah. (hal. 341).

Srobyong, 22 November 2016 

6 comments:

  1. Wah saya belum punya buku yg ini, secepatnya harus beli hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Monggo Mbak, langsung diburu. Dari beberapa buku Tere Liye, saya paling suka sama yang ini :)

      Delete
  2. Sudah pernah baca buku ini. Emm, seru bukunya, bahkan ada bagian yang membahas shadow economic (bener nggak tulisannya :) )

    Tapi, saya tetap memfavoritkan yang judulnya Daun.. bla..bla... hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Mas. Memang seru. Baca ini serasa nonton film perang gitu. :) Salah satu genre kesukaan juga. :)

      Ah yang Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin, novel ini juga bagus, beda genre, punya kekuatan masing-masing. Tapi nyesek sama endingnya :( Aduh kok gitu sih, kenapa harus gitu coba? hhhh

      Delete
  3. Jadi, sebenarnya Tauke itu berniat baik etapi berguna dalam hal utk dunia hitam yah mbak.

    Paling nggak, bisa tau spoiler buku ini, mengingat aku udah order buku ini, tpi blum2 dikirim2 -_-

    ReplyDelete
  4. Ya, Tauke sangat menyayangi Bujang, dia ingin yang terbaik buat Bujang sehingga dia dibekali berbagai pengetahuan, agar nantinya bisa melanjutkan pekerjaan mereka.

    Semoga dang segera dikirim ya, ^_^

    ReplyDelete