Wednesday, 4 May 2016

[Resensi] Pemikiran dan Perjuangan Pahlawan dalam Pendidikan

Judul               : Sang Guru; Novel Biografi Ki Hajar Dewantara
Penulis             : Haidar Musyafa
Penerbit           : Penerbit Imania
Cetakan           : 1, November 2015
Halaman          : 420 hlm
ISBN               :978-602-7926-24-0
Peresensi         : [Ratnani Latifah, Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama  Jepara]

Ini naskah asli sebelum di edit redaktur, 

Raden Mas Seowardi  atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara adalah satu dari Pahlawan Nasional yang ikut berjuang keras demi kemajuan bangsa Indonesia. Khususnya dalam kancah pendidikan. Menurutnya pendidikan itu sangat penting dalam kehidupan semua orang.
Karena itu,  dia berjuang keras agar para inlander juga bisa mendapat pendidikan yang layak. Dan untuk menghormati perjuangannya bertepatan dengan kelahiran Ki Hajar Dewantara—2 Mei diperingati sebagai ‘Hari Pendidikan Nasional.’
Sejak kecil Ki Hajar Dewantara  dididik dengan pendidikan agama olah orangtuanya. Bahwa sesama manusia itu memiliki kedudukan yang sama, yang membedakan hanyalah iman dan takwa dihadapan Tuhan.  (hal. 36) Inilah yang membuat Ki Hajar Dewantara tidak pernah membeda-bedakan kasta dalam menjalin pertemanan.  Selain itu sejak kecil ternyata dia sudah sangat peduli dengan pendidikan. 
Melihat banyak teman-temannya dari inlander yang tidak bisa menuntut ilmu  membuatnya  sedih dan bertekad berbagi ilmu pada  mereka.  Sejak saat itulah Ki Hajar Dewantara memiliki impian dan cita-cita agar kelak bisa membangun sekolahan. (hal. 61)

Namun sebelum benar-benar terjun pada kancah pendidikan, Ki Hajar Dewantara pernah berjuang dibidang politik. Bersama Douwes Dekker dan  Tjipto Mangoenkoesoemo mereka mendirikan IP (Indische Partij) yang pada perkembangannya menjadi NIP (National Indische Partij).  Selain perjuang pada bidang politik, Ki Hajar Dewantara juga aktif dalam dunia  jurnalistik. Banyak tulisan-tulisannya yang mengecam ketidakadilan yang dilakukan Governemen Hindia Belanda dimuat di surat kabar.

Baru pada 1921 Ki Hajar Dewantara memutuskan keluar dari NIP dan memilih fokus berjuang pada pendidikan. (hal. 241)  Dia memilih membantu kakaknya, Kangmas Soerjopranoto yang saat itu sedang merintis taman belajar bagi anak-anak di istana Kadipaten Puro Pakualam.
Lalu berjalannya waktu, Ki Hajar Dewantara ingin membuka sekolah sendiri yang sesuai dengan keinginan dan impian yang dimiliki. Yaitu menjalankan sistem pendidikan yang sesuai dengan kondisi anak-anak inlander saat itu. Agar kelak mereka menjadi manusia-manusia yang mandiri, cerdas, cermat, serta menjadi pribadi yang handal secara lahir dan batin. (hal. 260)

Maka pada tanggal 3 Juli 1922 Ki Hajar Dewantara berhasil mendirikan sekolah sendiri, yang diberi nama “National Onderwijs Instituut Tamansiswa” dengan memiliki tujuh asas dan tujuan. (hal. 266-267) Untuk mengenang peristiwa itu, Ki Hajar Dewantara membuat tetenger—pertanda yang berbunyi. “Lawan sastra Ngesti Mulyo.” Artinya “Dengan menguasai ilmu akan mendatangkan kemuliaan, dan melawan segala bentuk kebiadaban.” (hal. 268) Ki Hajar Dewanatara juga berpendapat, “bahwa pendidikan merupakan sarana yang paling utama untuk membebaskan negeri kita dari kebodohan.”(hal. 278)

Dalam menerapkan sistem pendidikan, Ki Hajar Dewantara meyakini, kalau pendidikan itu tidak boleh diberikan dengan paksaan. Tapi dengan sikap penuh kasih sayang, cinta damai, penuh kejujuran dan sopan santun. (hal. 287)  Peserta didik harus ditempatkan sebagai subjek bukan objek, sehingga bisa seenaknya dipaksa dengan berbagai aturan.

Para peserta didik harus diberi ruang seluas-luasnya untuk meningkatkan potensi diri dengan cara kreatif dan bertanggungjawab sesuai dengan kemampuan masing-masing peserta didik.

Karena itu, Ki Hajar Dewantara menerapkan tiga semboyan dalam pendidikan di sekolah Tamansiswa; Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa dan Tut Wuri Handayani. (hal. 288)

Selain mengembangkan daya pikir dan nalar, Ki Hajar Dewantara juga menekankan pendidikan budi pekerti. Agar karakter anak dapat terbentuk secara baik dan tumbuh berkembang menjadi manusia yang memiliki budi pekerti yang mulia. Ki Hajar Dewantara benar-benar mendedikasikan hidupnya untuk memperjuangkan pendidikan. Perjuangan yang dlakukan Ki Hajar Dewantara terus berlanjut bahkan ketika kemerdekaan Indonesia sudah tercapai.

Sebuah novel biografi yang sarat makna dan inspiratif. Dipaparkan dengan bahasa yang mudah dicerna. Buku ini patut dibaca semua kalangan. Kisah tokoh yang yang disebut sebagai bapak pendidikan nasioanl ini, mengajarkan tentang arti pendidikan yang memang bisa mengubah suatu dunia dengan kepandaian yang dimiliki. Meski ada beberapa kesalahan kepenulisan tetap tidak mengurangi kenikmatan membaca buku ini.


Srobyong, 29 April 2016 
Dimuat di Koran Jakarta, Edisi; Senin, 2 Mei 2016 

Kalau mau baca setelah di editi, bisa cek di sini Korjak [Pemikiran dan Perjuangan Pahlawan Pendidikan]


No comments:

Post a Comment