Judul : Magi Perempuan dan Malam Kunang-Kunang
Penulis : Guntur Alam
Editor : Yemima Lintang
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Pertama, Agustus 2015
Halaman : 176 hlm
ISBN :
978-602-03-1939-1
Magi adalah sesuatu yang diyakini masyarakat
sebagai suatu hal yang bisa menimbulkan kekuatan gaib, sehingga bisa
mempengaruhi alam, pikiran dan tingkah laku manusia. Sedang Mitos adalah cerita
yang disinyalir tentang para dewa dan pahlawan zaman dahulu, tapi memiliki
makna yang mendalam tentang asal usul suatu alam, manusia dan bangsa dan
bersifat gaib.
Dalam
kehidupan sehari-hari, setiap masyarat dari berbagai suku pastinya memiliki
magi dan mitos tertentu yang dipercayai. Karena cerita mitos semacam itu biasanya
diceritakan turun temurun dari generasi ke generasi. Sehingga cerita semacam
itu akan selalu melekat.
Hanya
saja bagaimana jika cerita yang bermula dari mitos dan magi itu diceritakan
kembali dalam sebuah cerita pendek—difiksikan? Apakah akan ada perbuahan yang
terjadi pada kisah-kisah itu dan
bagaimana para sastrawan mengubahnya menjadi karya sastra yang lebih
menarik?
Kumpulan
cerpen berjudul Magi Perempuan dan Kunang-Kunang karya Guntur Alam, sedikit
banyak mengambil tema mitos dan magi dalam cerita-cerita yang dibuatnya. Memuat
21 cerita pendek yang dikemas dengan
gaya bahasa yang renyah serta dengan ending yang tidak terduga. Selain itu Guntur Alam memiliki ciri lokalitas
yang kental dalam cerpen-cerpennya, sehingga memiliki keunikan tersendiri dari
penulis lainnya.
Sebut
saja cerpen berjudul Peri Kunang-kunang. Konon kunang-kunang itu berasal dari
kuku orang mati. (hal. 12) Begitulah kabar yang tersiar. Dan cerita
kunang-kunang ini memiliki ikatan yang kuat tentang seorang bujang lapuk yang
tinggal sendirian. Katanya, jika melewati rumah bujang lapuk itu harus
hati-hati. Karena pagar dari rumah itu bisa bergerak dan memanjangkan sulurnya
dan meliliti siapa saja. Lebih mengerikan lagi, katanya kalau yang mengganggu,
bujang lapuk itu akan memasaknya dalam periuk. (hal. 13) Demi membuktikan hal itu sekumpulan
bujang-bujang tanggung mengintai. Hanya saja dalam pengintaian Halik dan Pebot
tertangkap lelaki bujang itu.
Ada
pula kisah Tem Ketetem. Ada sebuah kisah
yang mengatakan, malam ketika bulan
pucat mengembang adalah petekala yang harus dihidarkan bagi para bujang. (hal.
18) Ada sebuah petuah dan larangan yang
diperuntukkan untuk bujang-bujang itu. “Jangan jatuh tidur, Bujang! Bulan
pucat tengah penuh mengembanga di kelas raya. Bila kau pantang, kau akan bangun
esok paginya dengan dunia pekat selama-lamanya!” (hal. 19)
Petuah
itu terjadi karena sebuah kisah yang sungguh memilukan. Tentang seorang gadis
bernama Ketetem—perawan paling cantik yang memiliki nasib nahas sehingga
melahirkan dendam kesumat yang ingin dituntaskan.
Atau
cerpen berjudul Anak Pintaan. Anak Pintaan sendiri berarti anak yang didapat
oleh orangtua yang bermunajat pada Tuhan agar dikarunai anak laki-laki. Orang
melayu di dusun Tanah Abang, Sumatera Selatan percaya bahwa anak pintaan
merupakan reinkarnasi leluhur. (hal.
159) Ada juga kepercayaan bahwa
memiliki anak pintaan itu berarti harus siap membayar dengan nyawa, sebagai
gantinya.
Cerita-
cerita dalam kumpulan cerpen ini dipaparkan Guntur Alam dengan sangat
piawai. Dari gaya bahasa, plot sampai
permaninan endingnya. Yang lebih membuat
cerpen-cerpen ini menarik adalah, pemilihan judul yang menarik juga pembukaan
cerpen yang memikat, membuat siapa yang membaca tertarik untuk membaca dan menyelesaikan
ceritanya.
Memang
dalam urusan menulis cerpen, Guntur Alam sudah tidak lagi diragukan. Banyak
tulisanya yang sudah dimuat di media cetak. Sebut saja Kompas, Republika,
Tempo, Jawa Pos dan masih banyak lagi. Dan selama empat tahun berutur-turut, cerpenya terpilih dalam cerpen pilihan Kompas. Bagi penikmat kisah-kisah mistis dan
mengenalkan mitos, buku ini sangat recomended dibaca.
Selain
menyajikan kisah berbau mitos dan migi, cerpen-cerpen ini juga memiliki pesan
tersirat yang bisa diambil keteladanan. Seperti; anjuran untuk menjaga
pandangan mata, agar tidak menimbulan bencana. Tidak bermain sampai waktu
menjelang senja, mengkuti nasihat orangtua juga tentang ke-tauhid-an. “Guru
agama Islam di sekolah melarang mempercayai reinkarnasi, tak ada sesajen.” (hal.
160)
Srobyong,
5 Mei 2016
Dimuat di Radar Sampit, Minggu 8 Mei 2016 |
Waaah novelnya unik nih, karena ceritanya beda dari cerita biasa yaaaa. Ntr cari ah. Makasi reviewnya maaaak
ReplyDeleteSama-sama, iya ini kumcer yang unik. Terima kasih sudah mampir ^_^
DeleteMenarik ini kumcernya... dr judul berbau mistis
ReplyDeleteIya sebagian besar kumcer ini memang mengemas mitos dan mistis ditambah lokaliatas yang kental sehingga asyik dinikmati. terima kasih sudah mampir ^_^
Delete