Judul :
Cincin Separuh Hati
Penulis :
Netty Virgiantini
Editor :
Husfani Putri & Astheria Melliza
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Cetakan :
Pertama, September 2015
Halaman :
280 halaman
ISBN :
978-602-03-1932-2
Peresensi :
[Ratnani Latifah, penikmat buku dan penyuka literasi Alumni Unisnu Jepara]
Masa lalu yang kelam kadang memang bisa
menjadi trauma yang mendalam bagi siapa saja. Tapi haruskah hidup itu terjebak pada masa lalu dan menjadi budak
ketakutan?
Novel ini menceritakan tentang Nilam yang
selalu terjebak dengan masa lalunya—perceraian orangtuanya. Dia selalu takut
menjalin komitmen dengan seorang laki-laki karena melihat betapa ibunya harus
sakit hati karena dikhianti ayahnya. Dia trauma. Setiap mengingat pengkhianatan
sang ayah, dia selalu berkeringat dingin dan mendadak pusing disertai mimpi
buruk. Pengkhianatan ayahnya yang
selingkuh itu mengakibatkan ibunya keguguran dan kemudian meninggal, hal itu
sungguh menjadi momok ketakutan dan kekhawatirannya. Itulah yang kemudian
membuat Nilam bertekad untuk tidak menikah.
(hal. 12)
Lalu pada suatu waktu, Nilam dibingungkan
dengan acara reuni yang mau diadakan teman-temannya semasa SMA. Dia sangat
ingin datang dalam reuni itu, tapi masalahnya dia tidak mungkin datang sebagai
jomblo. Meski dia sendiri tidak bermaksud mau berhubungan dengan laki-laki.
Masalah tekadnya untuk tidak menikah adalah hal pribadi dan dia tidak ingin
mengumbarnya. Dulu dia selalu bisa menghidari pertanyan permasalahan itu dengan
bilang masih menunggu yang cocok di hati. (hal. 13) Namun kali ini
sepertinya tidak akan semudah itu.
Demi melindungi gengsi dan bisa menghadiri
reuni, akhirnya Nilam menciptakan sebuah kebohongan. Dia mendapat sebuah cincin
separuh hati dari Kanti, istri kakak
sepupunya. Dengan cincin itu dia membuat kebohongan. Kebohongan yang kemudian
membuat dunianya berubah. Dengan percaya diri dia mengumumkan bahwa dia
bertunangan dengan Aryobimo. Dia tidak sadar bahwa apa yang dilakukannya telah
mengubah dunianya.
Seseorang yang bernama Aryobimo datang
memintanya untuk bertanggung jawab. Karena akibat kebohongannya rumah tangga
laki-laki itu diambang kehancuran. (hal.
43). Bingung dan tidak menyangka itulah yang kemudian Nilam rasakan.
Pertemuannya dengan Aryobimo mengubah jalan hidupnya. Laki-laki itu
mengajarinya arti bersyukur terhadap segala masalah yang telah dialaminya dan
menyadarkannya bahwa akhir sebuah cinta akan selalu sama seperti yang terjadi
pada keluarganya. Bahwa setiap orang memiliki jalan cintanya sendiri-sendiri.
Belum selesai satu masalah, seorang laki-laki
datang dan mengaku sebagai adiknya. (hal. 69) Dan memintanya untuk menemui sang
ayah yang sakit keras. Tentu saja dia menolak. Dia tidak akan menemui laki-laki
yang telah menyakiti dia dan ibunya.
Cerita masa lalu itu pun kembali menjadi hantu bagi kehidupan Nilam.
Entah bagaimana Nilam menghadapi bayang-bayang masalalunya. Juga kebohongan-kebohongan yang sudah ditanamnya. Bisakah dia bisa berdamai dengan waktu atau terus terjebak dalam bayang
masa lalu? Juga tentang sebuah perasaan yang kemudian dia sadari bahwa separuh
hatinya mengharapkan laki-laki bernama Aryobimo untuk selalu di sisinya.
Novel ini mengajak mengingat tentang apa yang
terjadi pada orangtua itu akan selalu diingat anak. Ketika sebuah pernikahan
tidak berjalan baik misal terjadi perceraian, pengkhianatan anak akan selalu
menjadi korban. Menimbulkan trauma yang akan selalu menjadi bayang-bayang. Karena itu sudah seharusnya orangtua sudah
sewajarnya memikirkan dulu sebelum mengambil keputusan.
Selain itu, novel ini juga memiliki banyak
pesan yang bisa diambil. Antaranya; mengajarkan
untuk selalu jujur, karena satu kebohongan akan menciptakan kebohongan yang
lain, lalu untuk tidak terjebak masa lalu. “Setiap orang punya garis hidup
sendiri-sendiri. Ada takdirnya masing-masing.” (hal. 104) Karena masa lalu
hanya akan menjadikan seseorang tertekan, menyimpan dendam. Bahwa masa
lalu harusnya dijadikan pengalaman untuk
menjalani hidup yang lebih baik. “Kita memang nggak bisa mengubah masa lalu,
tapi kita bisa belajar untuk nggak mengulanginya lagi. Dalam hidup ini, nggak
ada jaminan yang pasti untuk sebuah hubungan. Siapa yang tahu apa yang akan
terjadi di masa depan? Yang kita lakukan hanya berusaha untuk
mempertahankannya. Kalau akhirnya terjadi perpisahan, itu sudah risiko dari
sebuah hubungan.” (hal. 239) Ada juga pesan yang termaktub dalam kalimat
ini, “Janji yang nggak membawa kebaikan,
lebih baik dilepaskan.” (hal. 260)
Novel ini
diceritakan dengan gaya bahasa yang asyik dan mudah dicerna. Memiliki banyak pesan moral yang bisa diambil
manfaatnya, hanya saja endingnya memang mudah ditebak, tapi tetap tidak
mengurangi keasyikan membaca untuk menuntaskan cerita ini. Penulis mampu
mengajak pembaca untuk ikut merasakan emosi para tokoh. Recomended.
Dimuat di Koran Pantura; Edisi; Rabu, 27 April 2016
nice review :D
ReplyDeleteTerima kasih Mbak ^_^
Delete