Tuesday, 31 May 2016

[Resensi] Mengenal Kerajinan Tenun Alor sebagai Kearifan Leluhur

Judul               : Swarna Alor
Penulis             : Dyah Prameswarie
Penerbit           : Metamind, Imprint of Tiga Serangkai
Cetakan           : Pertama, Mei 2015
Halaman          : vi + 282 hlm.
ISBN               : 978-602-72097-4
Peresensi         : Ratnani Latifah (Penikmat buku dan penyuka literasi. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara)

Swarna Alor,  bisa dikatakan sebagai  novel  budaya yang cukup kental. Sehingga pantas menjadi salah satu juara harapan dari lomba ‘Seberapa Indonesiakah Dirimu?’, yang diadakan Penerbit Tiga Serangkai.

Mengenalkan  tentang  budaya kerajinan tenun Alor dengan memakai pewarna alami, sebagai kearifan leluhur yang hingga kini masih dilestarikan. Sehingga tenun-tenun yang dihasilkan seolah sangat indah, alami, membaur dengan lingkungan bawah laut dan menyimpan energi alam. Mengingat saat ini, para anak bangsa masih belum banyak  yang menyadari tentang keindahan tenun Alor itu dan alasan melakukan pewarnaan secara alami.

Novel ini menceritakan tentang dua gadis remaja—Lilo yang ingin menjadi seorang desainer dan Mbarep yang ingin menjadi seorang model. Mereka menjadi peserta magang di majalah Cantik, yang kemudian mengantarkan mereka ke Kampung Hula, Desa Alor Besar, Nusa Tenggara Barat.

Namun bukannya senang, mereka malah merasa berada di Alor itu merupakan pilihan yang salah. (hal.  6) Tidak ada hubungannya dunia desainer dan modeling dengan desa terpencil itu. Belum lagi, ketika di Alor, Lilo diajak Mama Sariat memburu teripang dan buah tongke, yang menurut Lilo termasuk perbuatan merusak lingkungan.  Dan Mbarep tidak diberi kesempatan ikut pemotretan di bawah laut karena dianggap amatiran. (hal. 38)

Lilo dan Mbarep pun mencoba protes dengan pemilihan lokasi yang menurut mereka aneh. Sayangnya protes  mereka tidak dianggap, dan malah memperkeruh keadaan.  Jika Mbarep tetap berusaha ikhlas dan mengambil sisi positif,  tidak dengan Lilo. Dia  masih tidak setuju dengan pemilihan tempat  magang dan masalah pemburuan teripang yang dilakukan Mama Sariat. Lilo menyakini tindakan itu salah dan harus diluruskan. Lilo kemudian menghubungi temannya, Samara—ketua Green World, agar bisa menindak lanjuti perbuatan Mama Sariat yang menurutnya merusak alam.

Kemudian masalah pun timbul. Pak Libana, suami Mama Sariat diculik Samara.  Dan  acara Swarna Festival yang rencananya akan dilakukan untuk memperkenalkan tenun Alor ke masyarakat  terancam gagal. Karena acara itu harus melibatkan Pak Libana. (hal. 140)  Padahal dalam acara itulah, nantinya mimpi mereka akan terwujud. Desain baju Lilo akan dipamerkan dengan Mbarep sebagai modelnya.  

Lilo sungguh merasa bingung. Setelah membaca sebuah artikel, dia baru menyadari bahwa apa yang dipikirkannya selama ini salah. Sejatinya, kenapa tenun diwarnai secara alami adalah karena warna-warni alami kain tenun Alor itu memiliki hubungan magis dengan alam sekitar yang dibangun leluhur dan terus dipertahankan. (hal. 142)

Kegiatan memburu teripang dan buah tongke  yang dilakukan Mama Sariat adalah untuk pewarnaan kain tenun dan sangat jauh dari niat merusak lingkungan. Mama Sariat dan Pak Libana bahkan memilih bahan alami agar tidak menimbulkan limbah. (hal. 147)

Karena jika Mama Sariat memakai pewarna kimia, sisa pewarnan harus dibuang dan bisa merusak lingkungan.  Berbeda jika menggunakan teripang. Air rebusan dari teripang  yang merupakan limbah akan digunakan untuk pewarna kain tenun. Sedang teripangnya sendiri akan dikirim  ke seorang pengumpul  untuk dibawa ke Surabaya.  

Apa yang dilakukan Mama Sariat adalah upaya untuk melestarikan kearifan leluhur.  “Kain-kain itu tidak  sekadar benang yang ditenun. Tapi sebuah  peninggalan leluhur. Memang dulu beberapa perajian pernah memakai pewarna kimia, tapi hasilnya tidak sebagus memakai pewarna alami. Dengan memakai pewarna alami, akan membuat benang dan  warna tahan lama.” (hal. 176-177) 

Merasa bersalah pada semua orang, Lilo mencoba mencari jejak Pak Libana.  Pencarian Lilo akhirnya berhasil, meski dengan perjuangan keras. Dan akhirnya Swarna Festifal berhasil di gelar.  Kejadian itu menyadarkan Lilo dan Mbarep bahwa dalam menilai sesuatu tidak hanya dilihat dari luarnya saja. Dan menyadari bahwa pengetahuan mereka tentang budaya Indonesia masih sangat minim.  Mereka pun jadi sangat mengagumi  Mama Sariat dan para perajin tenun yang sangat gigih mempertahankan warisan leluhur. (hal. 199)  

Novel ini sangat sarat makna dan dipaparkan dengan bahasa yang renyah. Mengingatkan betapa pentingnya anak bangsa itu  mengenal kebudayaan Indonesia yang beragam. Salah satunya kerajian tenun Alor. Bagaimana cara pembuatan kain tenun, motif-motifnya dan alasan di balik pewarnaannya yang lebih memilih menggunakan cara alami. Meski ada beberapa kesalahan dalam penulisannya, tetapi tidak mengurangi kenikmatan saat membaca.

Srobyong, 18 Mei 2016 

Naskah resensi ini merupakan naskah asli sebelum diedit oleh pihak redaksi Koran Jakarta. Serta ada editan judul dengan tambahan kata ‘sebagai.’ Hasil editannya bisa dilihat di web Koran Jakarta atau pada gambar di bawah ini. :) 

Dimuat di Koran Jakarta, Kamis 26 Mei 2016 




No comments:

Post a Comment