Judul :
Swarna Alor
Penulis :
Dyah Prameswarie
Penerbit :
Metamind, Imprint of Tiga Serangkai
Cetakan :
Pertama, Mei 2015
Halaman :
vi + 282 hlm.
ISBN :
978-602-72097-4
Peresensi :
Ratnani Latifah (Penikmat buku dan penyuka literasi. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara)
Swarna Alor, bisa dikatakan sebagai novel
budaya yang cukup kental. Sehingga pantas menjadi salah satu juara
harapan dari lomba ‘Seberapa Indonesiakah Dirimu?’, yang diadakan Penerbit Tiga
Serangkai.
Mengenalkan tentang
budaya kerajinan tenun Alor dengan memakai pewarna alami, sebagai kearifan
leluhur yang hingga kini masih dilestarikan. Sehingga tenun-tenun yang dihasilkan
seolah sangat indah, alami, membaur dengan lingkungan bawah laut dan menyimpan
energi alam. Mengingat saat ini, para anak bangsa masih belum banyak yang menyadari tentang keindahan tenun Alor itu
dan alasan melakukan pewarnaan secara alami.
Novel ini menceritakan tentang dua
gadis remaja—Lilo yang ingin menjadi seorang desainer dan Mbarep yang ingin menjadi
seorang model. Mereka menjadi peserta magang di majalah Cantik, yang
kemudian mengantarkan mereka ke Kampung Hula, Desa Alor Besar, Nusa Tenggara
Barat.
Namun bukannya senang, mereka malah
merasa berada di Alor itu merupakan pilihan yang salah. (hal. 6) Tidak ada hubungannya dunia desainer
dan modeling dengan desa terpencil itu. Belum lagi, ketika di Alor, Lilo
diajak Mama Sariat memburu teripang dan buah tongke, yang menurut Lilo termasuk
perbuatan merusak lingkungan. Dan Mbarep tidak diberi kesempatan ikut pemotretan
di bawah laut karena dianggap amatiran. (hal. 38)
Lilo dan Mbarep pun mencoba protes
dengan pemilihan lokasi yang menurut mereka aneh. Sayangnya protes mereka tidak dianggap, dan malah memperkeruh
keadaan. Jika Mbarep tetap berusaha
ikhlas dan mengambil sisi positif, tidak
dengan Lilo. Dia masih tidak setuju
dengan pemilihan tempat magang dan masalah
pemburuan teripang yang dilakukan Mama Sariat. Lilo menyakini tindakan itu
salah dan harus diluruskan. Lilo kemudian menghubungi temannya, Samara—ketua Green World, agar bisa menindak
lanjuti perbuatan Mama Sariat yang menurutnya merusak alam.
Kemudian masalah pun timbul. Pak
Libana, suami Mama Sariat diculik Samara.
Dan acara Swarna Festival yang
rencananya akan dilakukan untuk memperkenalkan tenun Alor ke masyarakat terancam gagal. Karena acara itu harus
melibatkan Pak Libana. (hal. 140)
Padahal dalam acara itulah, nantinya mimpi mereka akan terwujud. Desain
baju Lilo akan dipamerkan dengan Mbarep sebagai modelnya.
Lilo sungguh merasa bingung. Setelah
membaca sebuah artikel, dia baru menyadari bahwa apa yang dipikirkannya selama
ini salah. Sejatinya, kenapa tenun diwarnai secara alami adalah karena warna-warni
alami kain tenun Alor itu memiliki hubungan magis dengan alam sekitar yang
dibangun leluhur dan terus dipertahankan. (hal. 142)
Kegiatan memburu teripang dan buah tongke
yang dilakukan Mama Sariat adalah untuk
pewarnaan kain tenun dan sangat jauh dari niat merusak lingkungan. Mama Sariat
dan Pak Libana bahkan memilih bahan alami agar tidak menimbulkan limbah. (hal.
147)
Karena jika Mama Sariat memakai
pewarna kimia, sisa pewarnan harus dibuang dan bisa merusak lingkungan. Berbeda jika menggunakan teripang. Air
rebusan dari teripang yang merupakan
limbah akan digunakan untuk pewarna kain tenun. Sedang teripangnya sendiri akan
dikirim ke seorang pengumpul untuk dibawa ke Surabaya.
Apa yang dilakukan Mama Sariat
adalah upaya untuk melestarikan kearifan leluhur. “Kain-kain itu tidak sekadar benang yang ditenun. Tapi sebuah peninggalan leluhur. Memang dulu beberapa
perajian pernah memakai pewarna kimia, tapi hasilnya tidak sebagus memakai
pewarna alami. Dengan memakai pewarna alami, akan membuat benang dan warna tahan lama.” (hal. 176-177)
Merasa bersalah pada semua orang,
Lilo mencoba mencari jejak Pak Libana. Pencarian
Lilo akhirnya berhasil, meski dengan perjuangan keras. Dan akhirnya Swarna Festifal
berhasil di gelar. Kejadian itu menyadarkan
Lilo dan Mbarep bahwa dalam menilai sesuatu tidak hanya dilihat dari luarnya
saja. Dan menyadari bahwa pengetahuan mereka tentang budaya Indonesia masih
sangat minim. Mereka pun jadi sangat
mengagumi Mama Sariat dan para perajin
tenun yang sangat gigih mempertahankan warisan leluhur. (hal. 199)
Novel ini sangat sarat makna dan
dipaparkan dengan bahasa yang renyah. Mengingatkan betapa pentingnya anak
bangsa itu mengenal kebudayaan Indonesia
yang beragam. Salah satunya kerajian tenun Alor. Bagaimana cara pembuatan kain
tenun, motif-motifnya dan alasan di balik pewarnaannya yang lebih memilih
menggunakan cara alami. Meski
ada beberapa kesalahan dalam penulisannya, tetapi tidak mengurangi kenikmatan
saat membaca.
Srobyong, 18 Mei 2016
Naskah resensi ini merupakan naskah asli sebelum diedit oleh pihak
redaksi Koran Jakarta. Serta ada editan judul dengan tambahan kata ‘sebagai.’ Hasil
editannya bisa dilihat di web Koran Jakarta atau
pada gambar di bawah ini. :)
Dimuat di Koran Jakarta, Kamis 26 Mei 2016 |
No comments:
Post a Comment