Monday, 16 May 2016

[Review] Tidak Selamanya Kegagalan itu Menyedihkan

Judul               : Malam-Malam Terang
Penulis             : Tasniem Fauziah Rais & Ridho Rahmadi
Editor              : Donna Wiadjajanto
Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan           : Pertama, Desember 2015
Halaman          : 256 hlm
ISBN               : 978-602-032-454-8

“Jadikan kegagalan sebagai sahabat setiamu. Bukan berarti kamu harus selalu gagal, namun ketika kegagalan datang, sambutlah ia sebagai sahabat. Karena kegagalan adalah cermin yang mengingatkan kita untuk berusaha lebih baik. Tanpa cemin itu kita tidak bisa melihat diri sendiri, tidak bisa mengevaluasi diri.” (hal. 66)

Menerima kenyataan mengalami kegagalan dalam meraih impian itu memang menyakitkan. Namun, haruskan kegagalan itu mematahkan semangat juang? Membunuh kesempatan lain yang mungkin masih bisa diperjuangkan. Bahwa sejatinya selalu ada jalan lain yang disiapkan Tuhan  di balik sebuah kegagalan seseorang.

Novel Malam-Malam Terang merupakan kisah nyata penulis di masa SMP.  Menceritakan tentang betapa sakitnya menerima kegagalan dan harus menerima takdirinya—menghadapi kenyataan, hidupnya hanya ditentukan sebuah angka—nilai yang dikerjakan dalam hitungan jam.

Tasniem—atau lebih sering dipanggil Ninim. Dia bisa dibilang adalah siswi yang cukup berprestasi. Pernah menjadi selalu lima besar bahkan kadang meraih peringkat pertama. Tapi siapa yang menyangka dalam Ujian Akhir sekolah—dulu masih EBTANAS, Ninim mendapat NEM—nilai ebtanas murni terlalu rendah dari harapannya. Mimpinya untuk melanjutkan SMA 3 hanyalah tinggal mimpi.

Marah dan malu itulah yang awalnya Ninim rasakan. Dua hari dua malam, dia mengurung diri di kamar. Perjuangan selama tiga tahun di sekolah, berbulan-bulan khusus untuk mempersiapkan ujian, hanya ditentukan oleh angka desimal yang didapat dari beberapa jam saja mengerjakan soal ujian. Di mana keadilan? Bukankah belajar adalah proses panjang bukan sesuatu yang dinilai dari satu atau dua jam ujian saja? (hal. 10)

Sampai kemudian sebuah kejadian berturut-turut membuatnya mendengar dan melihat tentang negeri singa. Di sanalah dia mulai berpikir, “Mungkin ini adalah pertanda dari Tuhan bahwa aku harus tangguh dalam menghadapi kenyataan.” (hal. 25) Lalu ditambah saran neneknya yang membuat Ninim semakin yakin.

Global College of Singapore. Di sanalah, akhirnya Ninim memulai kehidupan barunya. Berusaha melupakan kegagalan masa lalu. Di sana dia dipertemukan dengan tiga sahabat, Cecilia dari China, Aarindari asli India dan Angelina dari Indonesia, yang kemudian memberikan warna lain dalam kehidupan Ninim.

Namun, ternyata hidup perantauan tidak semudah yang dia bayangkan. Ninim merasa kesepian, terasing. Ditambah masalah keungannya yang memang diakuinya sangat pas-pasan. Hal itu memicu Ninim ingin kembali menyerah dan pulang. Puncaknya adalah ketika  dia kembali menelan kegetiran dalam ujian komputer. Ujian yang dianggap mudah ternyata dia malah mendapat nilai di urutan ketiga dari bawah. (hal. 59)

Beruntungnya Ninim memiliki ayah yang sangat pengertian dan bisa menularkan semangat pada putrinya itu.  “Jangan takut gagal, kecuali kamu takut sukses. Sejarah mengatakan, orang-orang sukses selau jatuh-bangun dulu sebelum mencapai puncak idaman” (hal. 66)

Perlahan, Ninim pun mulai bisa menerima setiap kejadian yang menerpanya. Menghadapi kenyataan dengan lapang dadang dan selalu berpikir positif.  Hanya saja apakah nanti Ninim berhasil menjadi bintang yang paling terang di gelapnya malam seperti pesan guru dan juga harapannya? Karena masih banyak lagi jalan terjal yang harus dihadapi bagi orang-orang yang ingin menggapai mimpi.

Sebuah novel yang sarat makna, memberikan banyak motivasi kehidupan, menjadi pribadi yang lebih baik. Banyak sekali quote-quote inspiratif bertebaran dalam buku ini. Tidak hanya membahas tentang bagaimana menjadi pribadi yang kuat dan tidak mudah menyerah, “Musuh terbesar adalah dari diri kita sendiri yang kemudian berwujud aneka bentuknya seperti rasa ingin menyerah, malas, dan sebagainya.” (hal. 201) Tapi juga tentang spiritual yang kental.  “Aku masih percaya bahwa shalat lima waktu, ditambah shalat tahajud dan puasa sunnah akan jadi senjata ampuh. Juga yang tak kalah penting, adalah restu orangtua.” (hal. 225)

Ditambah  novel ini diceritakan dengan gaya bahasa renyah, jadi semakin asyik dinikmati. Lalu kejutan-kejutan lain  yang terjadi pada kehidupan Ninim juga membuat penasaran. Semisal tentang hubungannya dengan sang kakak kelas. Sebagai remaja tentu saja ada sejumput rasa. Bagaimana dia menghadapi masalah cinta.

Hanya saja, masih ditemukan beberapa kesalahan dalam novel ini.  Tentang kesalahan kepenulisan, karena memang memakai pov pertama, novel ini jadi seperti kebajiran kata aku. Saran saja, mungkin ada baiknya untuk pemakaian bahasa jawa diberi catatan kaki. Soalnya tidak semua orang bisa bahasa jawa. Dan di sini tidak semua percakapan bahasa jawa ada penjelasannya.  Tapi lepas dari semua itu novel ini recomended untuk dibaca.


Srobyong, 6 Mei 2016 

2 comments:

  1. inspiratif bnget sepertinya buku ini ya mbak
    nge-jleb bnget loh aku bca reviewnya hhee

    ReplyDelete