Judul buku :
Merindu Cahaya de Amstel
Penulis :
Arumi E
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : 1,
September 2015
Halaman : 272 hlm
ISBN :
978-602-03-2010-6
Jika kesadaran yang datang pada seseorang
bisa diatur kapan akan menyapa. Mungkin, sebuah penyesalan tidak akan
pernah datang. Tapi sebuah kehidupan memang tidak mungkin berjalan sesuai
keinginan satu orang. Ada Tuhan yang selalu mengatur jalan untuk
hamba-hamba-Nya. Lalu apa yang akan terjadi jika kesadaran datang terlambat?
Nicolaas Van Djik adalah seorang penyuka Street photography. Karena
menurutnya, di jalan, terkadang dia akan menemukan sesuatu yang tidak terduga
menjadi sebuah gambar yang menarik setelah terekam dalam kameranya. Dan sore
itu ada satu gambar yang menurut Nico
sangat menarik. Dia mendapat gambar gadis berkerudung secara tidak sengaja. Gambar dengan semburat
cahaya yang mengelilingi tubuh gadis itu. Cahaya yang mengingatkannya tentang
tokoh-tokoh suci. (hal. 6)
Penemuan foto itu membuatnya penasaran dan kembali mencari gadis itu, yang
kemudian diketahui bernama Khadijah atau Marien Veenhoveen. (hal.20) Sosok yang
kemudian mengingatkan Nico pada ibunya, yang sudah meninggalkannya sejak kecil.
Membuatnya terluka karena merasa ditelantarkan, tanpa alasan yang masuk akal.
Ibunya baru menyadari bahwa seseorang yang berbeda agama itu tidak boleh
menikah. (hal.23) Sehingga ibunya memilih bercerai dan kembali ke Indonesia dan meninggalkan dia dan
ayahnya. Hal yang kemudian membuat Nico merasa alergi dengan Islam dan tidak
percaya Tuhan.
Tapi melihat Khadija saat ini,
membuat Nico tertegun. Dia gadis Belanda. Lalu apa yang membuatnya tertarik
dengan Islam? Bahkan cara berpakaiannya.
Tertutup lalu memakai hijab. Sama dengan ibunya. Nico sungguh tidak habis pikir kenapa Khadijah
memilih jalan berbeda dengan kebanyakan gadis di Belanda. Kenapa dia tertarik
Islam sampai rela meyakininya.” (hal. 24) Bahkan dengan segala batas-batasan
pergaulan yang sempat Khadijah beritahukan padanya. “Aku tidak boleh pergi
hanya berduaan dengan lelaki yang bukan mahram.” (hal. 57)
Nico pun semakin kagum dengan keteguhan Khadija. Hingga membuat dia semakin
tergelitik ingin mengetahui tentang agama yang dianut ibunya—Islam. Karena
gadis itu pula yang mengantarkannya pada pencarian ibu bersama seorang teman
yang pernah Khadija kenalkan—Mala yang kebetulan gadis keturunan Indonesia yang
berasal dari Yogyakarta. Namun ternyata
dalam pencarian itu tidak seindah yang Nico harapankan. Ketika dia ingin
berdamai dengan kenangannya, Tuhan seolah belum mengizinkan. Nico menggugat.
Meluapkan kekesalannya pada Khadija yang mengajarinya tentang sebuah harapan.
Dengan sabar Khadija mencoba menghiburnya. Dia tidak ingin Nico menyalahkan
Tuhan. Keteguhan Khadija pun semakin mengusik rasa penasarannya. Ditambah lagi
sepupu Khadija pun pada akhirnya ikut menjadi mualaf. Ada apa di balik Islam,
sehingga mampu membuat seseorang berubah.
Bagaimana kelanjutan perjalanan Nico dalam menuntaskan rasa penasarannya
tentang Islam, apakah dia akan menerima secercah cahaya yang menyapa atau
menolakanya?
Novel bertemakan religi yang manis. Ada cinta, persahabatan dan impian yang
digambarkan di sini. Pengambaran setting juga dipaparkan dengan baik, sehingga
pembaca seperti digiring ke Belanda. Memakai gaya bercerita yang renyah dan tidak menggurui. Seperti yang
digambarkan pada sosok Khadijah, dia tidak pernah memaksa temannya Mala untuk
tampil sepertinya dirinya, meskipun Mala sejak awal beragama Islam. Khadijah
membiarkan Mala memilih jalannya sendiri. Berkembang dengan perjalalan hidup
yang dilalui. Begitupun kepada sepupunya dan Nico. Masalah keyakinan itu tidak
boleh dipaksa.
Dalam novel ini pun banyak pesan yang bisa dimbil. Di antaranya, Saling menghargai pilihan yang
ada. “Aku tidak akan memaksamu menjalani hidup seperti aku. Karena yang akan
menjalani hidupmu adalah kamu sendiri. Kamu yang paling tahu seperti apa cara
hidup yang paling nyaman untukmu.” (hal. 99)
Bahwa masa lalu tidak harus dijaikan penghambat untuk memperbaiki diri. Dan
untuk memperbaiki diri pun juga memerlukan proses dan tidak instan. Sama halnya
dengan penjarian jati diri; tentang keyakinan
yang tidak bisa didapat semudah membalik telapak tangan. “Tidak usah
terburu-buru dan tidak perlu memaksakaan diri. Soal keyakinan adalah soal hati.
Biarkan hatimu mencari sendiri apa yang paling nyamaan untuk kamu jalani.” (hal.
239-240). Hanya saja cerita ini agak lamban, namun tidak mengurangi keasyikan
membaca. Banyak pesan-pesan membangun. Recomended.
Ratnani Latifah, Penikmat buku dan penyuka literasi dari Jepara.
Ratnani Latifah, Penikmat buku dan penyuka literasi dari Jepara.
Dimuat di Koran Pantura. Senin, 16 Mei 2016 |
Sudah mampir, Mbak. Oke selalu-lah, tulisannya. Sukses teruuuss. ^^
ReplyDeleteTerima kasih sudah mampir Mbak, ^_^ masih harus banyak belajar lagi ^_^
DeleteAamiin. dan sukses selalu buat sampeyan juga ^_^
Delete