Sunday, 21 October 2018

[Resensi] Bahagia dengan Belajar Memaafkan

Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 7 Oktober 2018


Judul               : Chiken Soup for the Soul : Kekuatan Memaafkan
Penulis             : Amy Newmark & Anthony Anderson
Penerjemah      : Susi Purwoko
Penerbit           : Gramedia
Cetakan           : Pertama, Januari 2018
Tebal               : 504 halaman
ISBN               : 978-602-03-7508-3
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumna Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

Kebahagiaan tidak hanya diukur dengan materi. Karena kebahagiaan yang sebenarnya itu ketika kita bisa menerima dan bersyukur dengan apa yang kita miliki, merasa ikhlas dan mau berdamai dengan diri sendiri, serta mau memaafkan kesalahan yang pernah dilakukan orang lain terhadap kita.  Tidak ada kemarahan atau dendam, karena kedua sikap tersebut hanya akan menghambat hidup kita.  Sedang meninggalkan kemarahan dan dendam di masa lalu, akan membuat kita bebas (hal xi).


Buku ini sendiri berisi 101 kisah tentang kekuatan memaafkan yang dijabarkan dengan bahasa yang mudah dipahami dan sangat persuasif. Kisah-kisahnya sangat  menginspirasi dan akan memotivasi kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Kita akan disadarkan tentang pentingnya memaafkan baik kepada orangtua, diri sendiri, serta berbagai masalah lainnya.

Kita sebut saja kisah yang dipaparkan oleh Kara Sundlun. Dia memaparkan bahwa  memaafkan adalah  hadiah terbesar yang  bisa dia berikan pada diri sendiri (hal 12).  Sejak kecil Kara tidak pernah mengenal sosok ayahnya. Bahkan fotonya pun dia tidak pernah melihat. Sehingga dalam masa kanak-kanaknya itu dia hanya mengetahui dari sang ibu, bahwa ayahnya bernama Bruce Sundlun. Hingga suatu hari ketika dia berusaha 13 tahun, tanpa sengaja dia melihat sosok ayahnya yang saat itu tengah mencalonkan diri menjadi gubernur Rodhe Island.

Akan tetapi saat itu,  Kara harus menelan kekecewaan ketika sang ayah tidak pernah mau  mengakui dirinya sebagai anaknya, bahkan setelah dia melakukan tes DNA. Ayahnya juga tidak mau membalas surat yang dia kirim. Bahkan untuk membantu dirinya membayar uang kuliah pun tidak mau.   Namun di tengah kemarahan dan kekecewaan  yang dialami Kara, tiba-tiba ayahnya mengundang Kara untuk hidup bersama dan saling mengenal sebagai ayah dan anak. Saat itu Kara bisa saja menolak ajakan itu, setelah perilaku ayahnya yang jahat. akan tetapi Kara memilih memaafkan, karena dengan memaafkan hatinya lebih lapang dan dia bisa memulai hidup baru tanpa adanya kemarahan dan dendam.

Ada pula kisah yang dipaparkan oleh Kate White. Sejak kecil dia tinggal bersama seorang ibu yang kecanduan obat-obatan. Ibunya tidak pernah peduli pada dirinya, juga saudara-saudaranya. Ketika ibunya sudah di bawah pengaruh obat-obatan, maka ibunya akan lupa pada sekitarnya, lupa memberi Kate dan saudaranya makan, serta lupa menjemut mereka di sekolah.  Kenangan masa kecil itu, menumbuhkan kebencian Kate pada ibunya. Dia merasa tidak terima dengan perlakukan ibunya. Kebencian itu dia pupuk hingga delapan belas tahun.

Namun berjalannya waktu, ketika Kate akhirnya menjadi seorang ibu, dia menyadari bahwa ada yang salah pada dirinya. Dia tidak boleh menyimpan kebencian kepada ibunya yang saat itu sudah meninggal. Dia harus memaafkan semua kesalahan ibunya, agar mulai bisa mendidik anak lebih baik, dari didikan yang dia terima sebelumnya. “Ketika kau belum memaafkan mereka yang pernah melukaimu, kau memunggungi masa depanmu. Ketika kau memaafkan, kau mulai berjalan maju.” (hal 61). 

Lalu ada kisah dari Michael T. Smith.  Karena sebuah kesalahpahaman dan keangkuhannya, Michael dan adiknya tidak saling bertemu dan menyapa. Semua bermula dari surat elektronik yang dikirim, Bob, adiknya. Sebenarnya surat itu isinya biasanya saja. Namun karena saat itu hidup Michael sedang kacau dan telah mengangguk beberapa bulan, maka surat itu membuatnya marah. Kemarahan itu pun berlanjut hingga lima tahun lamanya.

Ketika adiknya berulang kali mencoba menghubingi, Michael dengan angkuh tidak pernah mau memedulikan panggilan adiknya.  Sejak saat itu dia menjalani hidup dengan rasa bersalah yang terus menghantuinya. Lalu suatu hari  dia menyadari bahwa menyimpan kemarahan tidak akan menyelesaikan masalah. Dia pun mulai berusaha menghububungi adiknya untuk meminta maaf dan menjalin kembali hubungan keluarga yang pernah diputus itu. “Hidup itu terlalu singkat, dan juga terlalu lama, untuk memelihara dendam.” (hal 151).

Selain tiga kisah tersebut, kisah yang lainnya pun tidak kalah seru dan menginspirasi.  Secara keseluruhan, buku ini mengajak kita untuk menjadi pribadi yang mau memaafkan. Dengan memaafkan hidup kita akan jadi lebih baik dan bahagia. Kita tidak akan diperbudak kemarahan dan dendam. Tony Robbins memaparkan, “Memaafkan adalah hadiah yang kau berikan pada dirimu sendiri.” (hal 418).

Srobyong, 1 September 2018 

1 comment:

  1. Kalau baca buku inspirasi memang seru dan jadi bisa banyak mengambil keteladanan

    ReplyDelete