Wednesday 3 October 2018

[Resensi Kiprah Bung Hatta dalam Pergerakan Nasional

Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 26 Agustus 2018 


Judul               : Hatta : Aku Datang Karena Sejarah
Penulis             : Sergius Susanto
Penerbit           : Qanita
Cetakan           : Pertama, Januari 2018
Tebal               : 364 halaman
ISBN               : 978-602-402-096-5
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumna Univeritas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

Salah satu tokoh proklamator Indonesia adalah Mohammad Hatta. Dia lahir di Aur Tajungkang, Bukittinggi, 12 Agustus 1902.  Dia adalah sosok sederhana,  nasioanalis dan  memiliki prinsip yang kuat. Meski sering dibujuk rayu  Belanda dan Jepang  untuk bekerjasama, atau diajak melakukan hal-hal yang menyimpang dari demokrasi dan asas pancasila, Hatta selalu menolak dengan tegas.

Sayangnya tidak banyak buku yang membahas tentang wakil presiden pertama Indonesia, yang kerap disebut sebagai Gandhi of Indonesia.  Hal itulah yang kemudian mendorong  Sergius Sutanto,  mencoba  mengenalkan lebih dalam  tentang sosok Hatta, lewat buku ini.  Dengan paparan yang apik, lugas dan aktual, penulis memaparkan kisah hidup Hatta yang sangat menginspirasi. Serta kiprahnya dalam pergerakan nasional.

Masa kecil Hatta dihabiskan di tanah kelahirannya dengan bekal pendidikan agama yang kuat. Pada 1921, ketika mengenyam pendidikan di Handels Hoge Schol di Rotterdam, Belanda, Hatta bergabung dengan Indonesische Vereeniging—yang kemudian dikenal sebagai Perhimpunan Indonesia—PI. Tahun 1926 ketika Hatta terpilih menjadi ketua PI, dia langsung menggencarkan aksi propaganda luar negeri dalam bidang politik. Tujuannya  untuk memperkenalkan nama ‘Indonesia’ kepada dunia internasional (hal 100).  Selain itu dia juga menerbitkan  Gedenkboek yang bertujuan  untuk membuka telinga pemerintah Hindia mendengarkan suara perjuangan para pemuda Indonesia.

Namun karena hal itu, Bung Hatta dimasukkan ke penjara di Casuaristraat. Dia didakwa  tiga tuduhan, yaitu :  menjadi anggota perhimpunan terlarang, terlibat dalam pemberontakan dan penghasutan  untuk menentang kerajaan Belanda (hal 102).  Akan tetapi, kejadian itu tidak pernah menyurutkan niat perjuangan Hatta dalam upaya membebaskan Indonesia dari penjajahan.

Setelah bebas dan kembali ke Indonesia bersama Syahrir—sahabat dekatnya,  Hatta  membangun organisasi bernama Pendidikan Nasional Indonesia—PNI. Di mana organisasi ini lebih menekankan pada pendidikan kader. Menurut Hatta, “Bukan hanya pemimpin yang harus berjuang, rakyat pun mesti turut berjuang. Ada suatu kebenaran yang sering dilupakan, kemerdekaan Indonesia tidak dapat dicapai oleh para pemimpinnya saja, melainkan oleh usaha dan keyakinan rakyak banyak. Nasib rakyat Indonesia dalam genggaman tangan rakyat sendiri.” (hal 163).

Namun lagi-lagi jalan perjuangan yang dia lalui tidak mudah. Dia dan Syahrir ditangkap tentara Belanda dan dibuang di  Digul, kemudian dipindah ke Banda Neira, lalu Penjara Glodok hingga  Pulau Bangka. Pada masa itu Belanda gencar mengajak Hatta bekerjasama, agar masa pengasingannya dikurangi. Namun Hatta dengan  tegas menolak tawaran tersebut.

Meski berkali-kali diasingkan, Hatta tidak pernah gentar. Dia tetap menyuarakan pendapatnya agar warga Indonesia tidak memihak kepada Belanda atau Jepang.  Menurutnya para penjajah itu tidak ada yang bisa dipercaya.

Salah satu tokoh pergerakan yang dekat dengan Hatta selain Syahrir adalah Soekarno. Meski kerap berseberangan pendapat, mereka sering berdiskusi tentang  berbagai hal termasuk jalan untuk membebaskan Indonesia dari penjajahan. Dan perjuangan mereka akhirnya terbayar ketika tanggal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia telah diproklamasikan. 

Tapi setelah 11 tahun menjadi wakil presiden, pada 1 Desember 1956,  Hatta memutuskan  mundur dari jabatannya.  Hatta mengaku, karena ‘kemanusiaan’-lah dia memilih mundur. Menolak segala bentuk penyelewengan, penyimpangan, keserakahan, dan kesombongan sebagai akibat ketidaktahuan. Terlebih, pada satu setan yang mengambil rupa : korupsi (hal 25).

Kala itu Hatta memang sudah tidak sejalan dengan cara kepemimpinan Soekarno yang mulai mendekat pada komunis dan terlalu otoriter. “Penderitaan seharusnya membukakan mata pada makna kemanusiaan. Tapi mengapa orang-orang istana justru gemar menciptakan kesakitan pada rakyat banyak?” (hal 23).

Ketika Hatta berusaha mengingatkan, Soekarno tidak pernah memedulikan nasihat sahabatnya tersebut.  Yang ada Hatta malah mulai tersingkir, tidak boleh mengajar di Universitas  Gajah Madah, karena dia  berseberangan dengan  kebijakan Demokrasi Terpimpin (hal 284).  Meski begitu Hatta tidak pernah membenci Soekarno. Dialah pemimpin dengan jiwa welas asih dan pemaaf. Buku ini membuat kita semakin mengenal sosok Hatta yang sederhana, bersahaja, teguh dalam prinsip dan  tidak mudah digoyahkan.

Srobyong, 8 Maret 2018

No comments:

Post a Comment