Dimuat di Kabar Madura, Kamis 30 Agustus 2018
Judul :
The Red-Haired Woman
Penulis :
Orhan Pamuk
Penerjemah :
Rahmani Astuti
Penerbit :
Bentang Pustaka
Cetakan :
Pertama, Febaruari 2018
Tebal : viii + 344 halaman
ISBN :
978-602-291-449-5
Memadukan kisah antara mitologi Oedipus Rex dan
Hikayat Rostam dan Sohram, Pamuk menggambarkan kisah hubungan antara seorang
ayah dan anak, serta berbagai
permasalahan pelik tentang negara dan kebebasan individu. Dengan bahasa yang sederhana, kita akan
digiring dengan kisah yang mendebarkan. Membuat kita tidak bisa berhenti sampai
halaman buku ini habis.
Cem pada mulanya memiliki cita-cita menjadi
penulis. Namun karena satu lain hal, Cem kemudian malah belajar teknik geologi dan menjadi kontraktor
bangunan. Semua dimulai ketika ayahnya tiba-tiba menghilang, dan ibunya berkata
mereka sudah tidak bisa mengandalkan uang ayahnya. Mereka pun pindah dari Istanbul ke Gebze. Di sana Cem bekerja, membantu pamannya
menjaga kebuh buah ceri dan persik (hal 9).
Kepindahannya itu-lah yang membuka pertemuan antara
Cem dan Tuan Mahmut, seorang pengggali sumur. Cem ditawari Tuan Mahmut untuk
menjadi asistennya, dengan tawaran gaji empat kali lebih banyak daripada menjadi pengawas kebun buah. Dan
pekerjaan itu hanya memerlukan waktu sepuluh hari. Mendengar tawaran itu, tentu
saja Cem langsung tertarik. Meski awalnya sang ibu menolak gagasan Cem, pada
akhirnya dia diizinkan pergi dengan Tuan Mahmut.
Di tempat penggalian sumur itu-lah, sebuah kisah
tidak terduga terjadi dan kemudian merubah kehidupan Cem. Banyak menghabiskan
waktu dengan Tuah Mahmut, membuat dia merasakan emosi yang lebih dekat dengan
pria itu—laiknya seorang ayah dan anak.
Apalagi Cem memang merasa kurang dapat perhatian dari ayahnya di kala
dulu. Tuan Mahmut memiliki cara tersendiri dalam mengingatkan Cem. Di antaranya
dengan kisah-kisah yang diambil dari Al-Quran. Cem cukup menikmati semua
kedekatan itu. Hingga suatu hari Cem melihat seorang wanita berambut
merah—wanita yang ternyata memiliki sejarah panjang dengan kehidupan Cem.
Sejak melihat Cem yang memiliki ketertarikan pada
primadona teater keliling, sebenarnya
Tuan Mahmut sudah memberikan nasihat. “Perusak
akhlak itu sudah ada di sana sejak kita datang di sini. Yang mereka lakukan
hanya menari dengan menggoda dan mengucapkan lelucon-lelucon kotor untuk para
prajurit. Itu tidak ada bedanya dengan rumah bordil. Jangan dekari tempat itu!”
(hal 57).
Namun bukannya menurut, Cem malah semakin penasaran.
Diam-diam dia kerap mengikuti perempuan berambut merah. Apalagi perempuan yang
meskipun sudah memiliki suami itu nampak membuka jalan bagi Cem untuk mendekat.
Lalu sebuah masalah lain muncul. Penggalian sumur yang dia lakukan dengan Tuah
Mahmut ternyata belum membuahkan hasil. Dan pemilik tanah sudah semakin
mendesak. Jika air tidak segera muncul mereka harus segera pergi dan bonus yang
dijanjikan tidak akan diberikan. Kecuali air itu muncul.
Lalu kejadian tidak terduga muncul, membuatCem
memilih pergi dengan ketakutan, karena mengira telah melakukan pembunuhan
terhadap Tuan Mahmut. Dan sejak itu pula, Cem tertarik untuk belajar teknik geologi dan mendalami kisah
tentang Oedipus serta Kisah Rostam dan Sohrab—di mana berkisah tentang hubungan
seorang ayah dan anak dengan nasib tragis. Cem benar-benar takut dia telah
melakukan sesuatu yang kejam.
Cem hidup dalam ketakutan, mungkin suatu hari
perbuatannya akan terungkap dan dia akan ditangkap karena telah membunuh Tuan
Mahmut. Mungkin nasibnya akan sama seperti kisah-kisah yang pernah dia
dengar—tentang Oedipus dan Kisah Rostam dan Sohrab—meski dalam versi
berbeda. Dan ketakutannya semakin
memuncak, ketika tiba-tiba muncul seseorang yang mengaku sebagai anaknya.
Orhan Pamuk novelis Turki terkemuka dalam sastra
pascamodern, sukses membuat kisah ini benar-benar hidup. Kisah ini dikemas
dengan apik dan menarik. Kita akan dibuat menebak-nebak, apa hubungan antara
Oedipus, Kisah Rostam dan Sohrab dengan kehidupan Cem. Selain itu kita harus menebak-nebak bagaimana
nasib Cem, juga bagaimana nasib Tuan Mahmut yang sebenarnya.
Tidak hanya menggabungkan kisah klasik masa
lalu, kita juga diantarkan pada polemik
politik yang cukup pelik di Turki di masa itu—tentang hak setiap individu dalam
berpendapat dan menentukan pilihan, juga tentang kelompok sayap kiri. Membaca
kisah ini saya belajar bahwa masalah itu bukan untuk dihindari tapi dihadapi.
Srobyong, 30 Maret 2018
No comments:
Post a Comment