Wednesday 17 October 2018

[Resensi] Mengkritisi Polemik Negeri Lewat Humor

Dimuat di Kabar Madura, Sabtu 29 September 2018


Judul               : Kelakar Madura Buat Gus Dur
Penulis             : H. Sujiwo Tejo
Penerbit           : Imania
Cetakan           : Pertama, Januari 2018
Tebal               : 200 halaman
ISBN               : 978-602-8648-25-7
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

Humor adalah cerita pendek yang memiliki unsur kelucuan dan diharapkan  bisa menghibur pembaca. Namun di sisi lain humor juga bisa menjadi salah satu cara mengkritisi secara halus. Buku yang terdiri dari 32 kisah ini mencoba menghadirkan berbagai kritik politik dan sosial dengan cara halus dan lucu. Uniknya kisah-kisah ini mengkaitkan antara Madura dan Gus Dur. Sehingga dari kritik yang ada kita juga bisa mengenal lebih dekat tentang budaya madura dan kearifan Gus Dur, meski dengan sikap nyeleneh yang dimiliki.

Sebagaimana kita ketahui, selain dikenal sebagai Presiden, Kiai, Budayawan dan Penggerak Sosial, Gus Dur dikenal juga sebagai sosok komedian, karena sikapnya yang kadang jenaka. Sikap itu pula yang membuat Gus Dur satu-satunya presiden yang mendapat gelar Humoris Causa dari masyarakat (hal 8). 

Misalnya saja dalam humor yang berjudul “Saya Ini Gembala Sapi, Dik” (hal 49).  Kisah ini membuat kita tertawa lewat jalinan kisah yang renyah dan unik. Namun yang pasti lewat kisah ini kita akan menemukan sindiran halus tentang bagaimana tingkah pola para DRP. Di mana Gus Dur pernah memaparkan bahwa DPR itu sama saja dengan Taman Kanak-Kanak. Karena sikap mereka yang tiap kali ada beda pendapat, bukannya di selesaikan dengan musyawarah dan kepala dingin, namun diselesaikan dengan pertengkaran hingga tinju melayang.

Lalu ada pula humor berjudul “Presiden Semar atas Petunjuk dari Langit. Secara tidak langsung dalam kisah ini penulis memaparkan tentang keluhuran sikap Gus Dur yang disamakan lewat tokoh pewayangan, Semar.  Digambarkan dia memiliki sikap aneh, perpaduan lucu, nyentrik, namun juga cerdas, jujur, sederhana, dan berpengetahuan luas.  Gus Dur juga  sosok yang bersahaja, bijak, sabar, tegas dalam memberantas kedurjanaan.

Tidak kalah menarik adalah “Jabatan Rangkap” yang mana dengan gagasan yang sederhana namun menusuk, tentang kebiasaan orang-orang yang rakus, hingga memiliki jabatan rangkap.  “Lho, Bapak  ini sudah jadi anggota DPR saja masih bisa merangkap jadi anggota MPR, masa nyetir sambil mendorong tidak bisa.” (hal 87).

Ada pula humor berjudul “Carok” selain mengkritisi tentang perseteruan para pejabat tinggai demi memenangkan kursi kekuasaan dan masalah Pansus Buloggate yang konon melibatkan Gus Dur.   Dari humor ini kita akan diajak mengenal lebih dekat tentang carok.  Bahwa carok sebenarnya adalah tradisi perang orang Madura ketika harus menghadapi sebuah permasalahan yang menyangkut harga diri, yang kemudian diikuti antar kelompok atau klan. Biasanya dalam tradisi ini orang madura berperang menggunakan clurit (hal 137).

Selain humor-humor tersebut, tentu saja masih banyak humor lain yang tidak kalah menarik dan bikin penasaran hingga tertawa terpingkal-pingkal. Apalagi penulis sudah piawai dalam mengolah kata. Sederhana namun memikat, legit dan membuat ketagihan.  Misalnya saja humor “Pemilu Paling Murah” yang mengkritisi kebiasaan para caleg dalam kebiasaan bagi-bagi tanda jasa agar memiliki banyak pengikut.

“Kalau gambar-gambar di kertas suara itu nanti ditusuk sate, maka pakunya harus diikutsertakan juga. Kita tidak Cuma menyediakan satu paku untuk setiap pencoblosan. Jumlah paku harus seperti jumlah kertas suara. Bayangkan kalau seluruh Indonesia, sudah berapa paku. Mahal.” (hal 70).

Humor lainnya seperti Nasihat Secara “Sor Mejo Keh Ulane”, Kunjungan dalam Negeri dengan Bejak, Sidang Pansus Buloggate,  Juru Bicara Presiden, Sepatu Tentara, Kisah Pendorong Komedi Putar, Nyanyian Tanah Madura dan banyak lagi.

Maka tepat sekali ketika Moh, Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi 2008-2011, dalam endorsnya memaparkan, “Dengan cara canda yang segar Suwijo Tejo selalu berhasil melancarkan kritik tajam kepada kita tanpa membuat kita marah. Buku Kelakar Madura Buat Gus Dur contohnya. Dia gambarkan Gus Dur menggunakan kekuasaannya dengan enteng, tampa beban dan berani. Dia gunakan setting masyarakat Madura yang lugu, menggemaskan, cerdik tapi tidak licik. Isinya kritik kanan kiri, tembak sana tembak sini.”

Buku ini patut diapresiasi. Membacanya kita akan mendapat banyak pengetahuan juga mendapat hiburan yang menyenangkan.

Srobyong, 22 Juli 2018



2 comments: