Wednesday 10 October 2018

[Resensi] Rencana Perampokan di Toko Emas dan Inspirasinya

Dimuat di Radar Sampit, Minggu 16 September 2018

Judul               : 24 Jam Bersama Gaspar
Penulis             : Sabda Armando
Penerbit           : Mojok
Cetakan           : Pertama, April 2017
Tebal               : xiv + 228 halaman
ISBN               : 978-602-1318-48-5
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

24 Jam Bersama Gaspar  merupakan salah satu novel unggulan dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2016.  Berbeda dari naskah unggulannya lainnya, Sabda Armando hadir dengan teknik bercerita yang tidak biasa.  “Ringan dan menyenangkan” itulah pendapat dari keseluruhan dewan juri.

Jika pada Tanah Merah Surga karya Arafat Nur, kita diajak menyelami polemik politik di Aceh. Lengking Burung Kasuari karya Nunuk Y. Kusmiana mengenalkan potret kehidupan tentara Jawa yang tinggal di Papua dan Curriculum Vitame karya Benny Arnas  mencoba mengkritisi berbagai isu-isu sosial.  Maka novel ini menawarkan ide segar tentang kisah detektive yang anti mainstream.

Bercerita tentang Gaspar yang berencana mencuri di  toko emas  milik Wan Ali, karena sebuah kotak hitam. “Sebab kotak itu berisi seluruh ilmu pengetahuan yang ada di jagat raya. Kotak itu sudah berpindah-pindah tangan, melewati lebih dari lima puluh generasi.” (hal 119). Dia dengan tingkah uniknya kemudian mengajak beberapa orang untuk diajak kerja sama. Ada Agnes, Njet, Kik, Pongo dan Pingi—bukan nama asli, tapi panggilan yang sengaja dibuat Gaspar.

Mereka yang awalnya menolak ide gila Gaspar, tapi pada akhirnya memilih setuju karena terprovokasi Gaspar. Padahal mereka tidak tahu ternyata ada misi lain yang tengah disembunyikan Gaspar mengenai alasan sebenarnya tentang keinginannya merampok toko emas Wan Ali.  Di mana hal ini juga masih berhubungan dengan kotak juga anak perempuan Wan Ali.  Lalu berhasilkan niat Gaspar dan ada rahasia apa antara  Gaspar dan Wan Ali?

Selain menceritakan rencana Gaspar  yang ingin merampok, buku ini juga diselingi dengan tanya jawab antara seorang polisi dengan dengan wanita tua yang selalu menjawab pertanyaan dengan aneh dan membingungkan. Namun ternyata dari jawabnnya itulah, kota-kotak poin kisah sesungguhnya bisa ditemukan. Dan lagi kita akan dikejutkan dengan twist ending yang tidak pernah kita duga.

Diceritakan dengan cara yang tidak biasa dan menarik, membuat novel ini terasa segar. Penulis memberi wacana berbeda dengan kebanyakan novel yang ada. Kiranya tepat jika juri sayembara Dewan Kesenian Jakarta, menganggap  novel ini mengandung kritik atas konvensi cerita detektive. 

Membaca buku ini kita diajak menyelami tentang sikap manusia itu sendiri. Bahwa sadar atau tidak sadar, selalu ada sisi jahat atau negatif dari setiap insan—siapa saja bisa berbuat jahat.  “Semua orang terlahir  untuk menjadi keparat dan siapa pun yang berkata sebaliknya pastilah delusional atau kalau tidak, ya pendusta berat.” (hal 170). Oleh karena itu, kita perlu  membentengi hati dengan benteng iman dan takwa.  Selain itu ada sindiran halus mengenai sikap manusia, yang rentah mencari pemberanan dalam segala pola tingkah yang dilakukan.

Hanya saja untuk membaca novel ini, kita harus ekstra sabar agar bisa memahami keseluruhan cerita. Karen cerita ini sedikit absurb dan gila.   Tidak ketinggalan kita juga harus sabar menghadapi kegilaan para tokoh, yang kadang menjengkelkan juga kadang mengundang rasa iba.  Namun lepas dari kekurangannya itu, novel ini sedikit menghibur lewat kelucuan dialog dan eksekusi para tokoh.

Srobyong, 28 Oktober 2017 

No comments:

Post a Comment