Dimuat di Radar Sampit, Minggu 16 September 2018
Judul : 24 Jam Bersama Gaspar
Penulis : Sabda Armando
Penerbit : Mojok
Cetakan : Pertama, April 2017
Tebal : xiv + 228 halaman
ISBN : 978-602-1318-48-5
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam
Nahdlatul Ulama, Jepara
24 Jam Bersama Gaspar merupakan salah satu novel unggulan dalam
Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2016. Berbeda dari naskah unggulannya lainnya, Sabda
Armando hadir dengan teknik bercerita yang tidak biasa. “Ringan dan menyenangkan” itulah pendapat
dari keseluruhan dewan juri.
Jika pada Tanah Merah Surga karya
Arafat Nur, kita diajak menyelami polemik politik di Aceh. Lengking Burung
Kasuari karya Nunuk Y. Kusmiana mengenalkan potret kehidupan tentara Jawa yang
tinggal di Papua dan Curriculum Vitame karya Benny Arnas mencoba mengkritisi berbagai isu-isu
sosial. Maka novel ini menawarkan ide
segar tentang kisah detektive yang anti mainstream.
Bercerita tentang Gaspar yang
berencana mencuri di toko emas milik Wan Ali, karena sebuah kotak hitam. “Sebab
kotak itu berisi seluruh ilmu pengetahuan yang ada di jagat raya. Kotak itu sudah
berpindah-pindah tangan, melewati lebih dari lima puluh generasi.” (hal
119). Dia dengan tingkah uniknya kemudian mengajak beberapa orang untuk diajak
kerja sama. Ada Agnes, Njet, Kik, Pongo dan Pingi—bukan nama asli, tapi
panggilan yang sengaja dibuat Gaspar.
Mereka yang awalnya menolak ide gila
Gaspar, tapi pada akhirnya memilih setuju karena terprovokasi Gaspar. Padahal
mereka tidak tahu ternyata ada misi lain yang tengah disembunyikan Gaspar
mengenai alasan sebenarnya tentang keinginannya merampok toko emas Wan
Ali. Di mana hal ini juga masih
berhubungan dengan kotak juga anak perempuan Wan Ali. Lalu berhasilkan niat Gaspar dan ada rahasia
apa antara Gaspar dan Wan Ali?
Selain menceritakan rencana
Gaspar yang ingin merampok, buku ini
juga diselingi dengan tanya jawab antara seorang polisi dengan dengan wanita
tua yang selalu menjawab pertanyaan dengan aneh dan membingungkan. Namun ternyata
dari jawabnnya itulah, kota-kotak poin kisah sesungguhnya bisa ditemukan. Dan
lagi kita akan dikejutkan dengan twist ending yang tidak pernah kita duga.
Diceritakan dengan cara yang tidak
biasa dan menarik, membuat novel ini terasa segar. Penulis memberi wacana
berbeda dengan kebanyakan novel yang ada. Kiranya tepat jika juri sayembara
Dewan Kesenian Jakarta, menganggap novel
ini mengandung kritik atas konvensi cerita detektive.
Membaca buku ini kita diajak
menyelami tentang sikap manusia itu sendiri. Bahwa sadar atau tidak sadar,
selalu ada sisi jahat atau negatif dari setiap insan—siapa saja bisa berbuat
jahat. “Semua orang terlahir untuk menjadi keparat dan siapa pun yang
berkata sebaliknya pastilah delusional atau kalau tidak, ya pendusta berat.”
(hal 170). Oleh karena itu, kita perlu
membentengi hati dengan benteng iman dan takwa. Selain itu ada sindiran halus mengenai sikap
manusia, yang rentah mencari pemberanan dalam segala pola tingkah yang
dilakukan.
Hanya saja untuk membaca novel ini,
kita harus ekstra sabar agar bisa memahami keseluruhan cerita. Karen cerita ini
sedikit absurb dan gila. Tidak ketinggalan kita juga harus sabar
menghadapi kegilaan para tokoh, yang kadang menjengkelkan juga kadang
mengundang rasa iba. Namun lepas dari
kekurangannya itu, novel ini sedikit menghibur lewat kelucuan dialog dan
eksekusi para tokoh.
Srobyong, 28 Oktober 2017
No comments:
Post a Comment