Dimuat di Analisa Medan, Minggu 9 September 2018
*Ratnani
Latifah
Vania
memperhatikan deretan sepatu yang ada di hadapannya. Sangat manis dan menggugah
selera. Dia melihat dengan seksama model-model flat shoes yang membuat
dia makin tergiur. Padahal sudah berpuluh sepatu yang Vania koleksi untuk memadukan
dengan setiap baju yang dibeli.
Mata itu makin
mengawasi dengan jeli, melihat sepatu flat warna ungu yang selalu
menjadi candu.
Ketika dia akan
mengambil sepatu itu, ternyata tangan seorang cowok mendahului dia dengan
cepatnya. Vania terbengong. “Cowok ini lancang sekali.” Vania menggerutu
sendiri.
“Maaf, itu sudah
mau gue ambil.” Vania meminta sepatu itu.
“Tapi, gue yang
mengambil duluan.” Cowok itu tidak mau kalah.
Vania sebal bukan
main, apalagi itu model terbaru Flat Geearsy
yang selalu dia tunggu. Dengan warna ungu yang makin membuat dia harus memilikinya.
“Loe mengambilnya
setelah gue pegang. Sini berikan!” Vania berusaha merebutnya. Tapi,
cowok itu tetap tidak mau kalah untuk mempertahankannya.
“Loe kan cowok
kenapa tidak mencoba mengalah sedikit dengan cewek sih,” gerutu Vania kesal.
“Lagipula, buat
apa Loe beli sepatu cewek.” Cibir Vania. Cowok itu bukannya menjawab, malah
menatapnya Vania dengan tajam.
“Bukan urusan Loe,”
ucapnya ketus.
Perdebatan mereka
untuk mendapatkan sepatu itu membuat karyawan di toko itu turun tangan untuk
memisahkan. Mereka mencoba melerai dan memberi pilihan. Namun sayang, Vania dan
cowok itu sama-sama menolak. Karena yang mereka inginkan sepatu itu yang
ternyata stocknya tinggal satu dengan ukuran yang sama yang mereka ingin
beli. Jadi tidak mungkin diganti.
Vania dengan muka
ditekuk, mencoba mengikhlaskan sepatu flat itu untuk cowok yang
menyebalkan yang tidak mau mengalah. Dia pulang dengan tangan kosong tanpa
membeli apapun, karena dia sebenarnya masih mengharap sepatu itu.
“Aaaaaaaa!!”
teriak Vania sendiri. Dia meninggalkan toko dengan kecewa. Dia bersumpah tidak
akan melupakan cowok brengsek yang tidak punya hati, yang tidak mau mengalah
dengan cewek.
Vania, kini melangkah
untuk pulang ke rumah. Dia mau merelaxkan sebentar pikirannya yang masih
panas.
Sesampainya di
rumah dia tidak mengindahkan panggilan Radit—kakaknya. Vania langsung pergi
begitu saja untuk masuk ke sarangnya.
“Va, dipanggil kok
ngeloyor sih.” Radit mengingatkan adiknya.
“Vania lagi kesal
Kak, nanti aja kalau udah adem.” Vania tidak mempedulian kakaknya.
Radit mengalah
membiarkan Vania mendinginkan otak. Kalau dia mengganggu malah bisa dapat
semburan pedas yang berujung adu mulut tak terelakkan.
Ketika jam makan
malam, Vania baru keluar dari persembunyian. Suara peut yang tidak mau
berkompromi membuat dia harus keluar demi sesuap nasi. Rasa marah ternyata
membuat kelaparan juga.
“Kenapa Va? Dari
pulang sekolah kok uring-uringan? Lagi
dapet ya? Atau ada tugas fisika? Loe kan suka stres kalau harus ngerjain
fisika.” Radit mendekati adiknya, mencoba meledek. Vania mengangkat bahu.
Dia duduk di ruang
tengah menungggu panggilan Bunda untuk makan malam bersama. Radit masih
berusaha membujuk, dia tahu Vania tidak akan betah menyembunykan masalah dari
dia.
Benar saja, lima
menit kemudian, cerita insiden sepatu itu meluncur begitu saja dari bibir
mungil Vania. Dia menceritakan semua detil kejadian yang dia lalui. Rencana
awal saat ke toko untuk hunting sepatu menjadi gagal total, karena ulah
cowok sableng yang merusak mood Vania hilang. Dia pulang tanpa membawa
apa-apa kecuali kecewa yang berkepanjangan.
Radit malah
tertawa terbahak membuat Vania bingung dengan ulah Kakaknya.
“Ich! Apa yang
lucu coba Kak, Vania sebal tahu,” Vania
protes.
“Kau ini Va,
gara-gara masalah itu uring-uringan seharian? Lucu tahu, apalagi mendengar
kalian cowok dan cewek bersitegang karena sepatu,” Radit kembali tertawa
terbahak. Namun, langsung dihentikannya ketika melihat wajah Vania yang semakin
lusuh saja.
“Sudah ikhlaskan
saja, nanti juga dapat gantinya.”
Obrolan itu
terhenti, ketika Bunda mereka memanggil menyuruh makan malam, segera mereka
berbaur menuju ruang makan.
“Hmm, baunya sedap
sekali.” Vania mencium aroma masakan Bundanya. Segera dia melahap makan malam
itu tanpa lupa memulai dengan basmalah.
Malam itu, rasa
kecewa Vania melebur dengan tawa renyah dari keluarganya.
~*~
Vania terbelalak,
dia ingat betul cowok berengsek yang berada di depannya. Pagi-pagi dia sudah
harus berurusan dengan cowok menyebalkan itu. Salah apa dia kenapa dia harus
melihatnya lagi. Di depan rumahnya lagi.
“Sudah datang Lex.”
Radit muncul dari dalam. Dia tersenyum menyambut Alex temannya.
Vania melonggo,
dia teman Kakaknya.
“Kenalkan Va, dia
ini disainer sepatu kenalan Kakak, karyanya keren-keren lho,” ucap Radit
memperkenalkan.
“Paling di koleksi
sepatumu ada juga yang buatan tangan darinya,” Radit menambahkan.
Vania hanya diam
saja, mendengar penjelasan Radit tentang cowok bernama Alex. Disainer?
Lalu kenapa dia kemarin harus berbut sepatu dengan dia? Tidak masuk akal. Vania
bergelut dengan pikirannya sendiri.
“Desainer Kakak
bilang? Dia nih cowok kemarin yang buat Vania bad mood,” Vania berucap.
“Adikmu Dit?” Alex
membuka suara.
“Dia tipe keras
kepala,” ucap Alex pedas.
“Apa? Loe tu cowok
keras kepala, tak punya hati untuk sesama, egois!” Vania meladeni.
Radit kini yang
bingung, melihat dua orang di depannya yang saling adu mulut dengan ego
masing-masing.
“Bentar, bentar
mungkin ada kesalah pahaman di sini,” Radit menengahi.
Dia menatap Vania
dan Alex bergantian. Dia harus mendamaikan anjing dan kucing ini.
~*~
Vania kaget ketika memasuki, Alexa shop, semua karyawan
memberi hormat dengan takdim. Vania baru tahu kalau Alexa shop itu,
milik Alex. Toko sepatu yang kemarin Varia datangi, bahkan sering dia datangi.
Dia tidak tahu bahwa cowok yang bertengkar mulut dengannya kemarin dan tadi
pagi adalah pemilih toko sepatu ini. Dia bertengkar dengan pemilik dan pembuat
sepatu yang sering dia beli selalu. Hebat banget masih kuliah sudah punya
usaha. Pikir Varia.
Malu! Itu perasaan
yang kini bertengger di hati Vania, mau di taruh mana mukanya sekarang. Apalagi
saat ini semua mata tertuju padanya. Seharusnya tadi dia menolak untuk diajak
ke sini.
“Kak, kenapa Kak
Radit tidak bilang.” Vania menyenggol kakaknya.
“Kamu kan tidak
tanya Va.” Radit membela diri.
Mereka berjalan di
belakang Alex yang mengantarkan mereka pada setiap inci toko ini.
“Kenapa kemarin
tidak bilang kalau …,” ucapan Vania belum selesai.
“Ini toko milik
gue begitu?” Alex melanjutkan menatap Vania tajam. Vania mengangguk lemah.
Alex kembali diam,
tidak menjelaskan apapun tentang kepemilikan toko ini. Vania tidak tahu, kalau
dari kemarin dia di beritahu, pasti kesalah pahaman ini tidak berujung panjang.
Di sini dia seperit mau diadili.
“Dasar cowok
Aneh!” Vania kembali menggerutu. Karena dia tidak tahu jalan pikiran Alex itu.
Dia sendiri
sekarang dianggurkan. Dia dan Radit asyik berbincang entah apa yang tidak Vania
pahami. Dia perlahan mencoba menjauh dan memilih area lain untuk mencoba
melihat pemandangan lain, dari pada menguntit mereka tanpa ada penjelasan.
Namun, baru
beberapa langkah Varia ingin kabur, Alex menangkap basah dia, hingga membuat
Vania harus mengentikan langkah.
“Mau ke mana Loe? Kabur?
Malu?” ledek Alex.
Cowok ini sungguh,
mentang-mentang kaya, melakukan semaunya. Kenapa dia harus di hukum,
dipermalukan. Dia kan tidak salah secara dia tidak tahu jati diri Alex
sebelumnya. Curang!
Mereka telah
sampai di ruang kantor Alex. Mereka dipersilahkan masuk. Ruangan itu sangat
luas dan penuh sepatu indah. Mata Vania berbinar. Dia melihat dengan takjub.
“Semua buat Loe
Va, juga Flat Geearsy warna ungu itu,” Alex berucap datar. Membuat Vania
makin tidak mengerti maksud Alex.
Kini mereka beradu
pandang, Vania baru menyadari pesona wajah dan tatapan elang yang selalu
menusuk dalam. Menatapnya dengan penuh sayang.
Kejutan besar yang
membuat Vania makin terperangah ketika semua ternyata sudah Alex rekayasa
dengan Radit yang sudah tahu kalau Alex sudah jatuh cinta dengan Vania sejak
dia menjadi pelanggan tetap di Alexa Shop. Semua dari insiden sepatu dan
juga hari ini.
Srobyong, 25 Desember 2014 – September 2017
No comments:
Post a Comment