Saturday 25 August 2018

[Resensi] Kiprah Kepahlawanan Hasyim Asy’ari

Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 12 Agustus 2018


Judul               : Penakluk Badai :Novel Biografi Hasyim Asy’ari
Penulis             : Aguk Irawan MN
Penerbit           : Republika
Terbit               :  2018
Tebal               : xxx + 562 halaman
ISBN               : 978-602-573-417-5
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

Kiai Hasyim Asy’ari merupakan figur yang sangat mengagumkan.  Selain bergelar Hadratusyeikh (seorang guru besar di kalangan pesantren), dalam keputusan Presiden No.29/1964, dia juga diakui sebagai pahlawan kemerdekaan nasional. Ketokohannya tidak sekadar dalam bidang sosial  keagamaan, melainkan juga dalam bidang kenegaraan.

Dalam bidang keagamaan dapat dilihat dari kiprahnya mendirikan lembaga pendidikan Islam berbasis pesantren moderen di tanah Jawa. Sistem pengajaran yang diterapkan di pesantren yang didirikannya berbeda dengan sistem belajar-mengajar di pesantren kebanyakan. Misalnya sistem bandongan—metode guru membacakan kitab dan murid menyimak sambil memberi makna pada kitab—diganti dengan sistem tutorial yang lebih sistematis dan terstruktur dengan baik.  Dia juga membuka sistem pendidikan berjenjang, memasukkan mata pelajaran umum dan mengajarkan bahasa asing, yaitu bahasa Belanda dan Inggris (hal xxi).

Kiai Hasyim adalah sosok yang  sangat revolusioner, pembela wong cilik dan berpikir out of the box.  Hal ini terlihat  ketika dia memilih membuka pesantren di tempat sepi,  dengan membabat hutan dan hidup di lingkungan orang-orang yang jauh dari cahaya agama. Dia berpendapat bahwa, pendidikan harus banyak diberikan kepada orang yang masih jauh dari peradaban dan kebudayaan adiluhung. Tekadnya yang kuat, membuat dia tidak mudah menyerah ketika harus menghadapi berbagai penolakan dari masyarakat. Kiai Hasyim tetap berusaha semaksimal mungkin, hingga akhirnya banyak masyarakat yang ingin mengenal dan belajar Islam lebih dalam.

Kiai Hasyim berkata, “Dakwah Islam tidak saja sekadar menanamkan iman di hati orang munafiq kafirun, agar mereka mencicipi nikmatnya hidayah. Tapi dakwah Islam mencakup pula kesejahteraan dan kedamaian hajat orang banyak yang hidup di muka bumi Allah. Jihad akbar kita sekarang adalah bagaimana para penzalim, kompeni kolonial  itu, hengkang dari bumi pertiwi. Sebab kiranya hanya dengan itulah, tatanan masyarakat yang adil dan sejahtera setapak demi tapak akan terwujud.” (hal 144).

Selain  memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pendidikan, untuk mengeluarkan masyarakat dari lubang kebodohan,  Kiai Hasyim   juga aktif dalam memberdayakan potensi  perekonomian. Dengan adanya koperasi, dia ingin menganjurkan agar umat Islam menabung, meski hanya satu sen tiap  minggu atau bulan. (hal 247).

Tidak hanya itu, Kiai Hasyim merupakan seorang nasionalisme sejati. Dia  memiliki peran penting dalam tercapainya kemerdekaan Indonesia. Dari menyusun strategi-strategi di pos-pos yang ada, hingga mengangkat senjata langsung di tengah-tengah perjuang lainnya.  Kiai Hasyim menolak berpatisipasi dalam milisi buatan Belanda untuk mempertahankan Nusantara dari ancaman Jepang. Dia juga menolak sumbangan dari Belanda yang hendak diberikan ke pesantren-pesantren (hal 326).

Ketika Indonesia dikuasai Jepang, Kiai Hasyim  menolak segala aksi Niponisasi (serba Jepang). Seperti menyanyikan lagi “Kimigayo”, mengibarkan bendera Hinomaru dan melakukan aksi seikeirei. Akibatnya, tahun 1942 Kiai Hasyim ditangkap oleh tentara Jepang yang awalnya berada di penjara Jombang, lalu dipindah ke Mojokerto dan terakhir dibawa ke Surabaya. Di sana dia  mendapat banyak siksasaan. Namun begitu Kiai Hasyim tetap menjalaninya dengan sabar dan tabah.  Dia tetap teguh dengan prinsipnya yang tidak mau tunduk pada penjajah. (hal 341).

Tidak berhenti sampai di situ, Kiai Hasyim juga menyiapkan kader-kader Islam militan, dari para santri untuk ikut terjun ke milisi Laksar Hizbullah dan Barisan Sabilillah yang diketuai oleh putranya bernama Abdul Kholik.  Kiai Hasyim juga meminta dengan sangat kepada setiap kaum muslimin bangsa ini untuk bergabung bersama tentara Pembela Tanah Air (PETA) atau masuk gerakan Pandu Hisbul Wathan milik Muhamadiyah.

Kiai Hasyim memaparkan bahwa, “Mempertahankan kemerdekaan negeri ini adalah kewajiban kita bersama, kewajiban sebagai muslim, dan di sinilah keimanan kita diuji untuk mencintai negeri sendiri atau diam-diam kita menikung, lalu berkompromi dengan pihak sekutu (hal 406).

Dengan gaya bahasa yang lugas, novel biografi dari  tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU) ini,  akan mengajak kita mengenal lebih dalam tentang sosok Kiai Hasyim Asy’ari. Baik dari sikap, perjalanan hidup, pemikiran juga kiprah kepahlawanannya yang inspiratif dan patut kita teladani. Melalui buku ini kita bisa belajar untuk menjadi pribadi yang tidak mudah menyerah dalam berjuang,  cinta tanah air, serta selalu teguh dalam memegang prinsip hidup.

Srobyong, 6 Juli 2018

Alhamdulillah kembali terpilih sebagai salah satu pemenang 
dalam lomba resensi buku "Aguk Irawan MN"

No comments:

Post a Comment