Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 12 Agustus 2018
Judul : Penakluk Badai :Novel Biografi
Hasyim Asy’ari
Penulis : Aguk Irawan MN
Penerbit : Republika
Terbit : 2018
Tebal : xxx + 562 halaman
ISBN : 978-602-573-417-5
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam
Nahdlatul Ulama, Jepara
Kiai Hasyim Asy’ari merupakan figur yang sangat
mengagumkan. Selain bergelar
Hadratusyeikh (seorang guru besar di kalangan pesantren), dalam keputusan
Presiden No.29/1964, dia juga diakui sebagai pahlawan kemerdekaan nasional.
Ketokohannya tidak sekadar dalam bidang sosial
keagamaan, melainkan juga dalam bidang kenegaraan.
Dalam bidang keagamaan dapat dilihat dari kiprahnya
mendirikan lembaga pendidikan Islam berbasis pesantren moderen di tanah Jawa.
Sistem pengajaran yang diterapkan di pesantren yang didirikannya berbeda dengan
sistem belajar-mengajar di pesantren kebanyakan. Misalnya sistem
bandongan—metode guru membacakan kitab dan murid menyimak sambil memberi makna
pada kitab—diganti dengan sistem tutorial yang lebih sistematis dan terstruktur
dengan baik. Dia juga membuka sistem
pendidikan berjenjang, memasukkan mata pelajaran umum dan mengajarkan bahasa
asing, yaitu bahasa Belanda dan Inggris (hal xxi).
Kiai Hasyim adalah sosok yang sangat revolusioner, pembela wong cilik dan
berpikir out of the box. Hal ini
terlihat ketika dia memilih membuka
pesantren di tempat sepi, dengan
membabat hutan dan hidup di lingkungan orang-orang yang jauh dari cahaya agama.
Dia berpendapat bahwa, pendidikan harus banyak diberikan kepada orang yang
masih jauh dari peradaban dan kebudayaan adiluhung. Tekadnya yang kuat, membuat dia tidak mudah
menyerah ketika harus menghadapi berbagai penolakan dari masyarakat. Kiai
Hasyim tetap berusaha semaksimal mungkin, hingga akhirnya banyak masyarakat
yang ingin mengenal dan belajar Islam lebih dalam.
Kiai Hasyim berkata, “Dakwah Islam tidak saja
sekadar menanamkan iman di hati orang munafiq kafirun, agar mereka mencicipi
nikmatnya hidayah. Tapi dakwah Islam mencakup pula kesejahteraan dan kedamaian
hajat orang banyak yang hidup di muka bumi Allah. Jihad akbar kita sekarang
adalah bagaimana para penzalim, kompeni kolonial itu, hengkang dari bumi pertiwi. Sebab
kiranya hanya dengan itulah, tatanan masyarakat yang adil dan sejahtera setapak
demi tapak akan terwujud.” (hal 144).
Selain
memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pendidikan, untuk mengeluarkan
masyarakat dari lubang kebodohan, Kiai
Hasyim juga aktif dalam memberdayakan
potensi perekonomian. Dengan adanya
koperasi, dia ingin menganjurkan agar umat Islam menabung, meski hanya satu sen
tiap minggu atau bulan. (hal 247).
Tidak hanya itu, Kiai Hasyim merupakan seorang
nasionalisme sejati. Dia memiliki peran
penting dalam tercapainya kemerdekaan Indonesia. Dari menyusun
strategi-strategi di pos-pos yang ada, hingga mengangkat senjata langsung di
tengah-tengah perjuang lainnya. Kiai
Hasyim menolak berpatisipasi dalam milisi buatan Belanda untuk mempertahankan
Nusantara dari ancaman Jepang. Dia juga menolak sumbangan dari Belanda yang
hendak diberikan ke pesantren-pesantren (hal 326).
Ketika Indonesia dikuasai Jepang, Kiai Hasyim menolak segala aksi Niponisasi (serba
Jepang). Seperti menyanyikan lagi “Kimigayo”, mengibarkan bendera
Hinomaru dan melakukan aksi seikeirei. Akibatnya, tahun 1942 Kiai Hasyim
ditangkap oleh tentara Jepang yang awalnya berada di penjara Jombang, lalu
dipindah ke Mojokerto dan terakhir dibawa ke Surabaya. Di sana dia mendapat banyak siksasaan. Namun begitu Kiai
Hasyim tetap menjalaninya dengan sabar dan tabah. Dia tetap teguh dengan prinsipnya yang tidak
mau tunduk pada penjajah. (hal 341).
Tidak berhenti sampai di situ, Kiai Hasyim juga
menyiapkan kader-kader Islam militan, dari para santri untuk ikut terjun ke
milisi Laksar Hizbullah dan Barisan Sabilillah yang diketuai oleh putranya
bernama Abdul Kholik. Kiai Hasyim juga
meminta dengan sangat kepada setiap kaum muslimin bangsa ini untuk bergabung
bersama tentara Pembela Tanah Air (PETA) atau masuk gerakan Pandu Hisbul Wathan
milik Muhamadiyah.
Kiai Hasyim memaparkan bahwa, “Mempertahankan
kemerdekaan negeri ini adalah kewajiban kita bersama, kewajiban sebagai muslim,
dan di sinilah keimanan kita diuji untuk mencintai negeri sendiri atau
diam-diam kita menikung, lalu berkompromi dengan pihak sekutu (hal 406).
Dengan gaya bahasa yang lugas, novel biografi
dari tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU)
ini, akan mengajak kita mengenal lebih
dalam tentang sosok Kiai Hasyim Asy’ari. Baik dari sikap, perjalanan hidup,
pemikiran juga kiprah kepahlawanannya yang inspiratif dan patut kita teladani. Melalui
buku ini kita bisa belajar untuk menjadi pribadi yang tidak mudah menyerah
dalam berjuang, cinta tanah air, serta
selalu teguh dalam memegang prinsip hidup.
Srobyong, 6 Juli 2018
Alhamdulillah kembali terpilih sebagai salah satu pemenang
dalam lomba resensi buku "Aguk Irawan MN"
No comments:
Post a Comment