Wednesday 22 August 2018

[Resensi] Islam Agama yang Mencintai Kedamaian

Dimuat di Analisa Medan, Jumat 3 Agustus 2018


Judul               : 212 Cinta Menggerakkan Segala
Penulis             : Helvy Tiana Rosa & Benny Arnas
Penerbit           : Republika
Cetakan           : Pertama, April 2018
Tebal               : x  + 262 halaman
ISBN               : 978-602-9474-14-5
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

“Aksi ini tidak ada kaitannya dengan politik. Ini adalah bukti kecintaan kita pada Al-Quran. Bagaimana cinta  karena  Allah ternyata bisa menggerakkan segala. Tentu saja dengan cara damai, bukan kekerasan. Dengan kesadaran, bukan ikut-ikutan!” (hal 67).

Mengambil tema tentang aksi damai 212, yang pernah terjadi di pengunjung tahun 2016, novel ini mengisahkan salah satu kisah nyata yang pernah terjadi dalam kejadian tersebut dengan menarik dan menghibur.  Melalui novel ini kita bisa mengambil banyak sekali pembelajaran. Di antaranya adalah bahwa Islam adalah agama yang mencintai perdamaian. Hal itulah yang membuat salah satu rumah produksi film, mengangkat kisah tersebut dalam layar lebar dan mengaplikasikan kisahnya dalam bentuk novel.

Sebagaimana kita ketahui, aksi pada 2 Desember 2016 dikenal juga dengan nama Aksi Damai 212. Sebuah peristiwa luar biasa yang telah menjadi bangian dari tonggak sejarah umat Islam di Indoensia. Pada hari itu, diperkirakan lebih dari tujuh juta orang memenuhi  kawasan Monumen Nasional (Monas) dan  sekitarnya,menyatakan sikap, dan kecintaan  kepada Allah dan Al-Quran (hal v).

Novel ini sendiri berkisah tentang  Rahmat, salah satu jurnalis berbakat dari koran besar di ibu kota. Akan tetapi Rahmat ini, meski seorang muslim, dia cukup skeptis dengan Islam.  Dia kerap membuat tulisan yang mengundang amarah dengan kritikan pedasnnya terhadap gerakan Islam. Dia meyakini bahwa aksi damai yang akan berlangsung diibukota merupakan gerakan politik yang memanfaatkan umat Islam untuk meraih kekuasaan.

“Aksi 411 adalah bentuk baru social-movement berbasis agama yang terjadi di negara demokrasi pluralistik yang ditunngangi oknum politik. Masyarakat Jakarta yang plural dari segi kekuasaan, keagamaan, dan status sosial, dipaksa menuruti kehendak mayoritas. Islam bukan lagi agama yang menyejukkan. Aksi menuntut diseretnya orang nomor satu di ibu kota itu justru menegaskan hal yang berseberangan dengan slogan ‘damai’ yang mereka usung. Citra Islam menjadi anarkis. Bahkan lebih dari itu, ia menjadi alat politik untuk memuaskan hawa nafsu oknum-oknum tertentu di panggung politik.”  (hal 13).

Tulisan Rahmat mendapat banyak protes dan hujatan dari teman-teman satu kantornya. Namun dia tetap tidak peduli dan ingin agar tulisanya tetap naik cetak. Meskipun akhirnya berbagai hujatan semakin deras dia terima. Bersamaan dengan itu, dia mendengar kabar bahwa ayahnya, Kiai Zainal, yang merupakan tokoh  ulama di Ciamis, akan ikut dalam aksi damai 212.

Rahmat pun dengan berbagai cara mencoba mencegah keinginan ayahnya. Dia tidak ingin sang ayah melakukan aksi yang sia-sia yang hanya dimanfaatkan olek oknum tertentu.  Akan tetapi untuk membujuk ayahnya bukanlah perkara gampang. Bersama sahabatnya, Adin, Rahmat terseret pada arus aksi damai dan menyaksikan berbagai kejadian yang tidak mereka duga.

Membaca kisah ini, kita akan dibuat gemas oleh sikap Rahmat yang keras kepala dan sikap skeptisnya terhadap Islam. Di sisi lain kita akan melihat semangat juang dan keikhlasan Kiai Zainal dalam mencintai Al-Quran dan Islam. Karena meski sudah sepuh, Kiai Zainal tetap teguh melakukan perjalanan jalan kaki dari Ciamis ke Jakarta.  Tidak ketinggalan ada pula kekonyolan sikap Adin yang memberi warna segar dan menimbulkan tawa dalam novel ini. 

Bisa dikatakan novel ini ringan namun berbobot. Karena dalam novel ini kita bisa mengambil banyak pembelajaran. Dimulai dari cara bersikap terhadap orang tua, hubungan antara manusia dengan manusia juga hubungan manusia dengan Tuhan-nya. Kita juga disadarkan bahwa aksi 212 adalah bukti bahwa Islam adalah agama yang cinta damai dan persatuan.

Hanya saja untuk ukuran novel yang cukup menarik ini, masih banyak sekali kesalahan tulis dan kesalahan menyebut nama panggilan beberapa tokoh. Hal ini cukup menganggu konsentrasi. Namun lepas dari kekurangannya, buku ini sangat segar dibaca dan patut untuk diapresisasi.
Srobyong, 28 Juli 2018 

No comments:

Post a Comment