Tuesday, 7 August 2018

[Resensi] Membangkitkan Kembali Semangat Jurnalisme

Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 29 Juli 2018 


Judul               : Koran Kami with Lucy in the Sky
Penulis             : Bre Redana
Penerbit           : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan           : Pertama, November 2017
Tebal               : vi + 194 halaman
ISBN               : 978-602-424-708-9
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

Disadari atau tidak, saat ini industri koran sudah mulai tergeser oleh media digital. Fakta yang ada di lapangan, satu persatu  koran dan majalah di Indonesia mulai tumbang.  Misalnya saja Harian Bernas, Surat Kabar Sinar Harapan, Harian Bola, Tabloid Cempaka, Tabloid Keren Beken, Tabloid Gaul, Majalah Aneka Yes, Majalah Kawanku, Majalah Ummi dan banyak lagi.

Kemudahan dalam mengakses media digital, cenderung membuat masyarakat mengubah gaya membacanya. Dan fakta yang ada  saat ini, masyarakat mulai menyukai hal-hal yang praktis dan mudah diakses. Sehingga lambat laun, industri koran semakin tersingkirkan. Dan itulah tantangan bagi koran-koran yang saat ini masih berdiri, untuk menyajikan berita yang lebih menarik dan aktual.

Novel ini sendiri berkisah tentang SS (Santoso Santiana) yang diajak sahabatnya, Nindityo untuk mendirikan koran saat industri media koran mulai terdesak oleh media digital. “Aku hanya kepikiran untuk menafaatkan wartawan-wartawan lama yang beberapa telah pensiun. Ini semacam spekulasi, katanya spirit media hilang. Yang memikirkan spirit adalah orang-orang lama itu.” (hal 39).

Mereka pun kemudian mulai mengumpulkan teman-teman yang bisa diajak kerjasama. Di antaranya adalah Nardoyo, Iskandae, Darmanto, Lucy, Frans, Edy dan Monique.  Mereka sepakat untuk memberi nama  koran itu “Koran Kami”  (hal 62).   Mereka berpendapat bahwa media cetak, tetap memiliki kemungkinan hidup di tengah pergeseran kepercayaan orang terhadap  sesuatu yang bersifat virtual di mana yang nyata dan tidak nyata kabur batasnya. “Pasti ada kebutuhan masyarakat untuk mendapat pegangan dan itu peran media cetak.” (hal 49).

Sayangnya masyarakat kurang paham,  bahwa media cetak selama ribuan tahun telah memberi banyak sumbangsih pada peradaban manusia. “Sejarah bukan sekadar kronologi kejadian, melainkan kronologi kesadaran. Kronologi kesadaran jauh lebih utama dibanding urut-urutan kejadian menyangkut tanggal, tahun, peristiwa, dan lain sebagainya. Kronologi kejadian mudah diutak-atik, kalau perlu dikarang-karang.” (hal 24).

Akan tetapi kenyataan itu tidak membuat niat mereka surut untuk mendirikan koran. Mereka yakin usaha  yang berhasil adalah usaha yang dilakukan tanpa keberatan menanggung beban (hal 42).  Mereka harus bisa menciptakan koran juga menciptakan manusia koran. Sebagaimana media digital yang telah melahirkan anak-anaknya manusia digital. Kebiasan, cara hidup, tradisi manusia digital tidak lagi sama dengan manusia koran.

Krisis besar pada zaman ini adalah kita bangsa  yang mewarisi suatu pemerintahan yang menganggap memori adalah musuh. Ratusan ribu orang dimusnahkan, dibunuh dibantai dan lain sebaginya. Tapi pembunuhan dihilangkan dari memori, dianggap tidak pernah ada. Intelektualitas telah ditumpas. Sebelum terpikir untuk membangkitkan kecerdasan bangsa. Kebenaran makin sulit dicari pada yang dimaknakan fakta.  Ketika fakta sakit, fiksi jadi obatnya (hal 113).

Buku ini memang tidak se-kompleks yang kita pikirkan. Karena di sini tidak ada siapa tokoh protagonis atau antagoni. Novel ini kurang lebih seperti percakapan para wartawan yang tengah membahas gejolak masalah dalam dunia jurnalistik, media digital dan industri koran.   Bagi penulis sendiri, sebenarnya tidak ada masalah dengan tumbuh kembangnya media digital. Karena keberadaan media digital juga memiliki banyak manfaat bagi masyarakat.

Novel ini hadir untuk membangkitkan kembali semangat jurnalisme yang harus selalu memiliki banyak pertanyaan untuk membuat berita, berpikir kreatif dan inovati, untuk mengasilkan berita menarik untuk memancing pembaca. Karena menurut Bre Redana yang sudah 35 tahun berkarier sebagai wartawan kompas, melihat banyak nilai-nilai jurnalisme yang mulai terkikis. Buktinya dari berbagai koran yang saat ini masih terbit, headline yang muncul memiliki  sering memiliki keseragaman  berita, sehingga tidak ada sesuatu yang menarik bagi pembaca. Padahal untuk menghasilkan rasa penasaran pembaca, seorang jurnalis harus pandai melihat peluang dan mencari berita yang unik dan menarik.

Diceritakan dengan gaya percakapan yang sederhana, membuat kisah ini terasa menyenangkan.   Meski pada beberapa bagian, ada yang terasa monoton. Tapi lepas dari kekurangnnya, novel ini cukup menarik.

Srobyong, 27 Mei 2018 

No comments:

Post a Comment