Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 29 Juli 2018
Judul : Koran Kami with Lucy in the Sky
Penulis : Bre Redana
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan : Pertama, November 2017
Tebal : vi + 194 halaman
ISBN : 978-602-424-708-9
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas
Islam Nahdlatul Ulama, Jepara
Disadari atau tidak, saat ini industri koran sudah
mulai tergeser oleh media digital. Fakta yang ada di lapangan, satu
persatu koran dan majalah di Indonesia
mulai tumbang. Misalnya saja Harian Bernas,
Surat Kabar Sinar Harapan, Harian Bola, Tabloid Cempaka, Tabloid Keren Beken,
Tabloid Gaul, Majalah Aneka Yes, Majalah Kawanku, Majalah Ummi dan banyak lagi.
Kemudahan dalam mengakses media digital, cenderung
membuat masyarakat mengubah gaya membacanya. Dan fakta yang ada saat ini, masyarakat mulai menyukai hal-hal
yang praktis dan mudah diakses. Sehingga lambat laun, industri koran semakin
tersingkirkan. Dan itulah tantangan bagi koran-koran yang saat ini masih
berdiri, untuk menyajikan berita yang lebih menarik dan aktual.
Novel ini sendiri berkisah tentang SS (Santoso
Santiana) yang diajak sahabatnya, Nindityo untuk mendirikan koran saat industri
media koran mulai terdesak oleh media digital. “Aku hanya kepikiran untuk
menafaatkan wartawan-wartawan lama yang beberapa telah pensiun. Ini semacam
spekulasi, katanya spirit media hilang. Yang memikirkan spirit adalah
orang-orang lama itu.” (hal 39).
Mereka pun kemudian mulai mengumpulkan teman-teman
yang bisa diajak kerjasama. Di antaranya adalah Nardoyo, Iskandae, Darmanto,
Lucy, Frans, Edy dan Monique. Mereka
sepakat untuk memberi nama koran itu
“Koran Kami” (hal 62). Mereka berpendapat bahwa media cetak, tetap
memiliki kemungkinan hidup di tengah pergeseran kepercayaan orang terhadap sesuatu yang bersifat virtual di mana yang
nyata dan tidak nyata kabur batasnya. “Pasti ada kebutuhan masyarakat untuk
mendapat pegangan dan itu peran media cetak.” (hal 49).
Sayangnya masyarakat kurang paham, bahwa media cetak selama ribuan tahun telah
memberi banyak sumbangsih pada peradaban manusia. “Sejarah bukan sekadar
kronologi kejadian, melainkan kronologi kesadaran. Kronologi kesadaran jauh
lebih utama dibanding urut-urutan kejadian menyangkut tanggal, tahun,
peristiwa, dan lain sebagainya. Kronologi kejadian mudah diutak-atik, kalau
perlu dikarang-karang.” (hal 24).
Akan tetapi kenyataan itu tidak membuat niat mereka
surut untuk mendirikan koran. Mereka yakin usaha yang berhasil adalah usaha yang dilakukan
tanpa keberatan menanggung beban (hal 42).
Mereka harus bisa menciptakan koran juga menciptakan manusia koran.
Sebagaimana media digital yang telah melahirkan anak-anaknya manusia digital.
Kebiasan, cara hidup, tradisi manusia digital tidak lagi sama dengan manusia
koran.
Krisis besar pada zaman ini adalah kita bangsa yang mewarisi suatu pemerintahan yang
menganggap memori adalah musuh. Ratusan ribu orang dimusnahkan, dibunuh
dibantai dan lain sebaginya. Tapi pembunuhan dihilangkan dari memori, dianggap
tidak pernah ada. Intelektualitas telah ditumpas. Sebelum terpikir untuk
membangkitkan kecerdasan bangsa. Kebenaran makin sulit dicari pada yang
dimaknakan fakta. Ketika fakta sakit,
fiksi jadi obatnya (hal 113).
Buku ini memang tidak se-kompleks yang kita
pikirkan. Karena di sini tidak ada siapa tokoh protagonis atau antagoni. Novel
ini kurang lebih seperti percakapan para wartawan yang tengah membahas gejolak
masalah dalam dunia jurnalistik, media digital dan industri koran. Bagi penulis sendiri, sebenarnya tidak ada
masalah dengan tumbuh kembangnya media digital. Karena keberadaan media digital
juga memiliki banyak manfaat bagi masyarakat.
Novel ini hadir untuk membangkitkan kembali semangat
jurnalisme yang harus selalu memiliki banyak pertanyaan untuk membuat berita,
berpikir kreatif dan inovati, untuk mengasilkan berita menarik untuk memancing
pembaca. Karena menurut Bre Redana yang sudah 35 tahun berkarier sebagai
wartawan kompas, melihat banyak nilai-nilai jurnalisme yang mulai terkikis.
Buktinya dari berbagai koran yang saat ini masih terbit, headline yang
muncul memiliki sering memiliki
keseragaman berita, sehingga tidak ada
sesuatu yang menarik bagi pembaca. Padahal untuk menghasilkan rasa penasaran
pembaca, seorang jurnalis harus pandai melihat peluang dan mencari berita yang
unik dan menarik.
Diceritakan dengan gaya percakapan yang sederhana,
membuat kisah ini terasa menyenangkan.
Meski pada beberapa bagian, ada yang terasa monoton. Tapi lepas dari
kekurangnnya, novel ini cukup menarik.
Srobyong, 27 Mei 2018
No comments:
Post a Comment