Tuesday 7 August 2018

[Resensi] Kisah Tentang Menemukan Tujuan Hidup

Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 1 Juli 2018


Judul               : Pergi
Penulis             : Tere Liye
Co-author        : Sarippudin
Penerbit           : Republika
Cetakan           : Pertama, April 2018
Tebal               : iv + 455 halaman
ISBN               : 978-602-5734-05-2
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

[Sumber Republika]
“Kamu harus lebih sering shalat Agam. Itu perintah agama. Bahkan tiang agama.” (hal 85).

Setelah sempat ada kabar bahwa Tere Liye tidak akan menerbitkan  buku lagi, karena masalah pajak, sekarang penulis asal Sumatra itu,  hadir kembali dengan buku-buku terbarunya. Salah satunya novel Pergi, yang merupakan sekuel dari novel sebelumnya Pulang. Masih dengan tema shadow economy, Tere Liye kembali menghidupkan tokoh Bujang—yang kini sudah menjadi Tauke besar dengan apik dan menarik.

Jika pada seri sebelumnya Bujang, akhirnya kembali ke Talang untuk menziarahi makam, ayah dan ibunya, kini dia sudah harus kembali  ke ibu kota. Dengan jabatan barunya, maka tanggung jawabnya pun semakin besar. Apalagi saat ini, dia harus merebut prototype yang sekarang telah dicuri oleh El Pacho, sindikat penyelundup narkoba terbesar di Amerika serikat (hal 6).

Bersama Salonga, White,  Kiko dan Yuki, mereka terbang ke Meksiko untuk mengejar El Pacho. Namun siapa sangka di sana, mereka malah bertemu dengan seseorang yang membuat Bujang, terkejut. Bagaimana orang itu bisa mengetahui nama kecilnya dan bahkan bisa mengalahkannya dalam duel satu lawan satu?

Selain harus dibuat penasaran dengan sosok yang tiba-tiba menyerang dan mengenal dirinya, Bujang juga harus menghadapi masalah yang timbul akibat ulah Master Dragon, yang ternyata berencana menghancurkan Keluarga Tong, karena melihat perkembangan yang ada Keluarga Tong semakin meraksasa di Asia Pasifik.  Padahal dalam  aturan delapan keluarga besar  yang menguasai shadow economy di Asia Pasifik, mereka berjanji tidak akan saling menganggu dan saling sikut. Jika ada masalah harus diselesaikan dengan pembicaraan diam-diam atau dengan solusi tingkat tinggi (hal 389).  Tapi sekarang masalahnya, bersama keluarga Lin dan El Pacho, Master Dragon berencana untuk menguasai  semua pergerakan dari keluarga besar penguasa shadow economy.

Oleh karena itu, Bujang membuat aliansi dengan Keluarga Yamaguchi dan Bratva, penguasa shadow economy dari Rusia untuk mengalahkan Master Dragon.  Di sisi lain, diam-diam Bujang juga menyelidiki tentang jati diri orang yang dia temui di Meksiko, yang ternyata adalah saudara tirinya. Hal inilah yang kemudian membuat Bujang sangat penasaran dengan kisah hidup ayahnya.

Namun lebih dari itu, sebuah masalah juga tengah merisaukan Bujang. Pertemuannya dengan Tuanku Imam, membuat Bujang kembali berpikir tentang mau dibawa ke mana Keluarga Tong. Apakah dia selamanya akan hidup seperti itu?  Hidup dalam kegelapan,  melakukan pembunuhan dan sebagainya?

“Kehidupanmu ada di persimpangan berikutnya, Agam. Dulu  kamu bertanya tentang definisi pulang, dan kamu berhaisil menemukannya, bahwa siapa pun pasti akan  pulang ke hakikat  kehidupan. Kamu akhirnya pulang menjenguk pusara bapak dan mamakmu, berdamai dengan masa lalu yang menyakitkan. Tapi lebih dari itu, ada pertanyaan berikutnya yang menunggu jawaban. Pergi.  Sejatinya, kita akan pergi setelah mengetahui definisi pulang? Apa yang harus dilakukan? Berangkat ke mana? Bersama siapa?  Apa kendaraanya? Dan ke mana tujuannya? Apa sebenarnya tujuan hidup kita?” (hal 86).

Meski memakai co-author, gaya bahasanya tetap terasa khas Tere Liye. Renyah dan tidak jlimet. Kisah ini juga seru dan bikin deg-deg-an. Bagaimana petempuran yang terjadi antara aliansi Keluarga Tong dan Master Dragon? Serta bagaimana akhir kisah yang Bujang temukan tentang kebenaran ibunya. Juga kehadiran Maria yang semakin memberi warna pada kehidupan Bujang.

Sedikit kesalahan tulis yang ada, tidak mengurangi keseruan cerita yang disajikan penulis. Membaca noveel ini saya belajar pentingnya menjaga emosi. “Jangan biarkan emosi, rasa marah, kebencian  kepada lawan membuat penilaian kita menjadi keliru. Tetap fokus pada tugas masing-masing. Marah, tindakat nekat membabi-buta hanya membuat lawan kita tertawa.” (hal 224).

Selain itu, melalui buku ini kita diajarkan tentang arti hidup tanpa menggurui.   Sisi religi yang ditampilkan Tere Liye, meski tersirat tapi cukup membuat kita tercenung untuk merenungkankan. Dalam perkara shalat, terlepas dari  apakah seseorang itu pendusta,  pembunuh, penjahat, dia harus shalat, kewajiban itu tidak luntur. Maka semoga entah di shalat yang ke-berapa, dia akhirnya benar-benar berubah (hal 86).

Srobyong, 12 Mei 2018




Alhamdulillah, terpilih lagi sebagai salah satu dari 10 Resensi Pilihan

4 comments: