Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 1 Juli 2018
Judul : Pergi
Penulis : Tere Liye
Co-author : Sarippudin
Penerbit : Republika
Cetakan : Pertama, April 2018
Tebal : iv + 455 halaman
ISBN : 978-602-5734-05-2
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas
Islam Nahdlatul Ulama, Jepara
[Sumber Republika] |
Setelah sempat ada kabar bahwa Tere Liye tidak akan
menerbitkan buku lagi, karena masalah
pajak, sekarang penulis asal Sumatra itu, hadir kembali dengan buku-buku terbarunya.
Salah satunya novel Pergi, yang merupakan sekuel dari novel sebelumnya Pulang.
Masih dengan tema shadow economy, Tere
Liye kembali menghidupkan tokoh Bujang—yang kini sudah menjadi Tauke besar
dengan apik dan menarik.
Jika pada seri sebelumnya
Bujang, akhirnya kembali ke Talang untuk menziarahi makam, ayah dan ibunya,
kini dia sudah harus kembali ke ibu
kota. Dengan jabatan barunya, maka tanggung jawabnya pun semakin besar. Apalagi
saat ini, dia harus merebut prototype yang sekarang telah dicuri oleh El Pacho, sindikat
penyelundup narkoba terbesar di Amerika serikat (hal 6).
Bersama Salonga,
White, Kiko dan Yuki, mereka terbang ke
Meksiko untuk mengejar El Pacho. Namun siapa sangka di sana, mereka malah
bertemu dengan seseorang yang membuat Bujang, terkejut. Bagaimana orang itu
bisa mengetahui nama kecilnya dan bahkan bisa mengalahkannya dalam duel satu
lawan satu?
Selain harus dibuat
penasaran dengan sosok yang tiba-tiba menyerang dan mengenal dirinya, Bujang
juga harus menghadapi masalah yang timbul akibat ulah Master Dragon, yang
ternyata berencana menghancurkan Keluarga Tong, karena melihat perkembangan
yang ada Keluarga Tong semakin meraksasa di Asia Pasifik. Padahal dalam
aturan delapan keluarga besar
yang menguasai shadow
economy di Asia Pasifik, mereka
berjanji tidak akan saling menganggu dan saling sikut. Jika ada masalah harus
diselesaikan dengan pembicaraan diam-diam atau dengan solusi tingkat tinggi
(hal 389). Tapi sekarang masalahnya,
bersama keluarga Lin dan El Pacho, Master Dragon berencana untuk menguasai semua pergerakan dari keluarga besar penguasa
shadow economy.
Oleh karena itu, Bujang
membuat aliansi dengan Keluarga Yamaguchi dan Bratva, penguasa shadow economy dari Rusia untuk mengalahkan Master Dragon. Di sisi lain, diam-diam Bujang juga
menyelidiki tentang jati diri orang yang dia temui di Meksiko, yang ternyata
adalah saudara tirinya. Hal inilah yang kemudian membuat Bujang sangat
penasaran dengan kisah hidup ayahnya.
Namun lebih dari itu, sebuah masalah juga tengah merisaukan Bujang.
Pertemuannya dengan Tuanku Imam, membuat Bujang kembali berpikir tentang mau
dibawa ke mana Keluarga Tong. Apakah dia selamanya akan hidup seperti itu? Hidup dalam kegelapan, melakukan pembunuhan dan sebagainya?
“Kehidupanmu ada
di persimpangan berikutnya, Agam. Dulu
kamu bertanya tentang definisi pulang, dan kamu berhaisil menemukannya,
bahwa siapa pun pasti akan pulang ke
hakikat kehidupan. Kamu akhirnya pulang
menjenguk pusara bapak dan mamakmu, berdamai dengan masa lalu yang menyakitkan.
Tapi lebih dari itu, ada pertanyaan berikutnya yang menunggu jawaban.
Pergi. Sejatinya, kita akan pergi
setelah mengetahui definisi pulang? Apa yang harus dilakukan? Berangkat ke
mana? Bersama siapa? Apa kendaraanya?
Dan ke mana tujuannya? Apa sebenarnya tujuan hidup kita?” (hal 86).
Meski memakai co-author, gaya bahasanya tetap terasa khas Tere Liye.
Renyah dan tidak jlimet. Kisah ini juga seru dan bikin deg-deg-an. Bagaimana
petempuran yang terjadi antara aliansi Keluarga Tong dan Master Dragon? Serta
bagaimana akhir kisah yang Bujang temukan tentang kebenaran ibunya. Juga
kehadiran Maria yang semakin memberi warna pada kehidupan Bujang.
Sedikit kesalahan tulis yang ada, tidak mengurangi
keseruan cerita yang disajikan penulis. Membaca noveel ini saya belajar
pentingnya menjaga emosi. “Jangan biarkan emosi, rasa marah, kebencian kepada lawan membuat penilaian kita menjadi
keliru. Tetap fokus pada tugas masing-masing. Marah, tindakat nekat
membabi-buta hanya membuat lawan kita tertawa.” (hal 224).
Selain itu, melalui buku ini kita diajarkan tentang
arti hidup tanpa menggurui. Sisi religi
yang ditampilkan Tere Liye, meski tersirat tapi cukup membuat kita tercenung
untuk merenungkankan. Dalam perkara shalat, terlepas dari apakah seseorang itu pendusta, pembunuh, penjahat, dia harus shalat,
kewajiban itu tidak luntur. Maka semoga entah di shalat yang ke-berapa, dia
akhirnya benar-benar berubah (hal 86).
Mantap Mbak Ratna 👍
ReplyDeleteAlhamdulillah. Terima kasih Mas. Masih terus belajar ini 😊
DeleteResensi yang mengalir renyah, Mbak Ratna. selamat atas karya-karyanya.
ReplyDeleteTerima kasih Mbak. Alhamdulillah. Ini masih terus belajar.
Delete