Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 12 Agustus 2018
Judul : Mata di Tanah Melus
Penulis : Okky Madasari
Penerbit : Gramedia
Cetakan : Pertama, Januari 2018
Tebal : 192 halaman
ISBN : 978-602-038-132-9
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas
Islam Nahdlatul Ulama, Jepara
Selama ini Okky Madasari lebih dikenal sebagain
penulis sastra dewasa. Di mana karya-karyanya kerap menyuarakan kritik
sosial. Salah satunya adalah kumpulan
cerpen “Yang Bertahan dan Binasa Perlahan”
yang diterbitkan pada tahun 2017. Akan tetapi di awal tahun 2018,
penulis hadir dengan buku terbaru yang ternyata dibuat untuk anak-anak. Meski begitu, perubahan genre ini, tidak
mengurangi kesetiaan Okky dalam tema kemanusian yang selama ini dia usung. Melalui buku ini dia berharap anak-anak yang
membaca buku ini bisa menjadi manusia yang berpikir terbuka dan menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Novel ini sendiri
terinspirasi dari perjalanan Okky ketika sempat menyambangi Kabupaten
Belu, Nusa Tenggara Timur. Menceritakan
tentang kisah seorang anak berusia 12 tahun bernama Matara, yang melakukan
petualangan seru di Tanah Melus. Sebuah tempat yang tidak terduga dan serba
aneh. Di sana Matara dihadapkan pada kejadian-kejadian yang tidak pernah dia
bayangkan sebelumnya.
Semua bermula ketika mamanya bilang akan mengajaknya
berlibur. “Kita akan berlibur bersama, Mata.
Ke tempat jauh, tempat sangat indah, yang belum pernah kita datangi.”
(hal 23). Seharusnya kabar itu tentu
sangat menarik dan membuat Mata semangat. Sayangnya, bukan itu yang Matara rasakan. Dia malah tidak paham kenapa mamanya hanya
mengajak dirinya, tanpa papanya. Namun Matara tidak punya pilihan. Dia pun
mengikuti keinginan mamanya.
“Pesawat kecil kami mendarat di negeri antah-berantah. Saat pesawat itu
mulai merendah, aku bisa melihat hamparan hijau yang tak terlalu lebat, juga
tidak benar-benar hijau. Hijau kering dan lesu, namun justru terlihat ramah dan
tak menakutkan untukku.” (hal 27).
Sejak sampai di Belu, satu persatu kejadian aneh bin
ajaib dialami Matara. Dimulai dari kematian sapi-sapi, yang membuat mamanya
menguras tabungannya. Kemudian mimpi-mimpi buruk yang terus dia alami
berulang-ulang. Matara melihat sapi-sapi
yang sudah mati itu mendatanginya, berteriak marah dan mengerubunginya.
Kemudian pertemuan dengan keluarga Tania, yang
mengantarkan mamanya melakukan upacara
adat untuk membuang sial, serta meminta izin atau permisi untuk memasuki Belu,
agar selamat di sana (hal 51). Tapi yang mengejutkan, hasil dari upacara itu, memberi
petunjuk agar Matara dan ibunya untuk pulang. Artinya mereka tidak diberi izin
mengunjungi Belu.
“Penguasa alam tidak pernah berkata yang tak benar.
Orang punya hajat macam-macam di sini, kalau memang bukan itu takdirnya, pasti
bilang tidak.” (hal 70).
Tapi Mama Matara tidak mempercayai pesan itu. Dia
malah marah dan mengajak Matara meninggalkan tempat upacara untuk kembali ke
hotel. Dalam perjalanan itulah, Matara terpisah dari mamanya. Dia terdampar di
Tanah Melus. Tempat yang konon diburu oleh orang-orang Bunag, yang ingin
mengancurkan Tanah Melus.
Pada awalnya Matara merasa sedih karena terpisah
dari mamanya, namun lambat laun, dia mulai menikmati keberadaannya di Tanah
Melus. Di sana dia memiliki banyak teman dan keluarga yang menyenangkan. Hingga suatu hari Matara menyadari dia harus
keluar dari tanah itu. Dia harus pulang.
Sebagai buku perdana genre sastra anak, novel ini cukup menghibur dan menarik untuk
diikuti. Penulis berhasil membuat pembaca penasaran dengan alur cerita. Meski
untuk beberapa hal, saya merasa kurang puas dengan buku ini. Ketika awal
melihat buku ini saya membayangkan sebuah petualangan seperti dalam kisah-kisah
Harry Potter atau seri Bumi-nya Tere Liye. Namun ternyata dugaan saya
salah.
Sebagaimana yang pernah dipaparkan penulis, dalam
menggarap kisah ini, dia memang tidak memudahkan dalam gaya bercerita. Namun,
bagi saya pribadi, jika gaya bahasanya
lebih sederhana dan mudah dicerna, pasti akan terasa lebih pas untuk anak. Lepas dari kekurangannya, novel ini bisa
dijadikan bacaan menarik untuk anak. melalui buku ini anak bisa menambah daftar
kosa kata dan menambah wawasan tentang salah satu daerah terluar di Indonesia.
Dan melalui buku ini kita juga diingatkan untuk
saling menghormati adat budaya di mana pun kita berada. Karena di mana bumi
dipijak, di sanalah langit dijunjung. Tidak ketinggalan, kesadaran kita
disentil, agar selalu menjaga kelestarian adat dan budaya di Indonesia. Jangan
membunuh dan memburu orang-orang yang tidak bersalah.
Srobyong, 22 Juni 2018
No comments:
Post a Comment