Monday, 13 August 2018

[Resensi] Okky Madasari dan Sastra Anak

Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 12 Agustus 2018



Judul               : Mata di Tanah Melus
Penulis             : Okky Madasari
Penerbit           : Gramedia
Cetakan           : Pertama,  Januari 2018
Tebal               : 192 halaman
ISBN               : 978-602-038-132-9
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

Selama ini Okky Madasari lebih dikenal sebagain penulis sastra dewasa. Di mana karya-karyanya kerap menyuarakan kritik sosial.  Salah satunya adalah kumpulan cerpen “Yang Bertahan dan Binasa Perlahan”  yang diterbitkan pada tahun 2017. Akan tetapi di awal tahun 2018, penulis hadir dengan buku terbaru yang ternyata dibuat untuk anak-anak.  Meski begitu, perubahan genre ini, tidak mengurangi kesetiaan Okky dalam tema kemanusian yang selama ini dia usung.  Melalui buku ini dia berharap anak-anak yang membaca buku ini bisa menjadi manusia yang berpikir terbuka dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Novel ini sendiri  terinspirasi dari perjalanan Okky ketika sempat menyambangi Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur.  Menceritakan tentang kisah seorang anak berusia 12 tahun bernama Matara, yang melakukan petualangan seru di Tanah Melus. Sebuah tempat yang tidak terduga dan serba aneh. Di sana Matara dihadapkan pada kejadian-kejadian yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.

Semua bermula ketika mamanya bilang akan mengajaknya berlibur. “Kita akan berlibur bersama, Mata.  Ke tempat jauh, tempat sangat indah, yang belum pernah kita datangi.” (hal 23).  Seharusnya kabar itu tentu sangat menarik dan membuat Mata semangat. Sayangnya,  bukan itu yang Matara rasakan. Dia  malah tidak paham kenapa mamanya hanya mengajak dirinya, tanpa papanya. Namun Matara tidak punya pilihan. Dia pun mengikuti keinginan mamanya. 

“Pesawat kecil kami mendarat  di negeri antah-berantah. Saat pesawat itu mulai merendah, aku bisa melihat hamparan hijau yang tak terlalu lebat, juga tidak benar-benar hijau. Hijau kering dan lesu, namun justru terlihat ramah dan tak menakutkan untukku.” (hal 27).

Sejak sampai di Belu, satu persatu kejadian aneh bin ajaib dialami Matara. Dimulai dari kematian sapi-sapi, yang membuat mamanya menguras tabungannya. Kemudian mimpi-mimpi buruk yang terus dia alami berulang-ulang.  Matara melihat sapi-sapi yang sudah mati itu mendatanginya, berteriak marah dan mengerubunginya.

Kemudian pertemuan dengan keluarga Tania, yang mengantarkan mamanya melakukan  upacara adat untuk membuang sial, serta meminta izin atau permisi untuk memasuki Belu, agar selamat di sana (hal 51). Tapi yang mengejutkan, hasil dari upacara itu, memberi petunjuk agar Matara dan ibunya untuk pulang. Artinya mereka tidak diberi izin mengunjungi Belu.

“Penguasa alam tidak pernah berkata yang tak benar. Orang punya hajat macam-macam di sini, kalau memang bukan itu takdirnya, pasti bilang tidak.” (hal 70).

Tapi Mama Matara tidak mempercayai pesan itu. Dia malah marah dan mengajak Matara meninggalkan tempat upacara untuk kembali ke hotel. Dalam perjalanan itulah, Matara terpisah dari mamanya. Dia terdampar di Tanah Melus. Tempat yang konon diburu oleh orang-orang Bunag, yang ingin mengancurkan Tanah Melus.

Pada awalnya Matara merasa sedih karena terpisah dari mamanya, namun lambat laun, dia mulai menikmati keberadaannya di Tanah Melus. Di sana dia memiliki banyak teman dan keluarga yang menyenangkan.  Hingga suatu hari Matara menyadari dia harus keluar dari tanah itu. Dia harus pulang.

Sebagai buku perdana genre sastra anak,  novel ini cukup menghibur dan menarik untuk diikuti. Penulis berhasil membuat pembaca penasaran dengan alur cerita. Meski untuk beberapa hal, saya merasa kurang puas dengan buku ini. Ketika awal melihat buku ini saya membayangkan sebuah petualangan seperti dalam kisah-kisah Harry Potter atau seri Bumi-nya Tere Liye. Namun ternyata dugaan saya salah. 

Sebagaimana yang pernah dipaparkan penulis, dalam menggarap kisah ini, dia memang tidak memudahkan dalam gaya bercerita. Namun, bagi saya pribadi, jika  gaya bahasanya lebih sederhana dan mudah dicerna, pasti akan terasa lebih pas untuk anak.  Lepas dari kekurangannya, novel ini bisa dijadikan bacaan menarik untuk anak. melalui buku ini anak bisa menambah daftar kosa kata dan menambah wawasan tentang salah satu daerah terluar di Indonesia.

Dan melalui buku ini kita juga diingatkan untuk saling menghormati adat budaya di mana pun kita berada. Karena di mana bumi dipijak, di sanalah langit dijunjung. Tidak ketinggalan, kesadaran kita disentil, agar selalu menjaga kelestarian adat dan budaya di Indonesia. Jangan membunuh dan memburu orang-orang yang tidak bersalah.

Srobyong, 22 Juni 2018

No comments:

Post a Comment