Saturday 3 January 2015

[Cerpen] Kenangan Lara, Harapan Baru


Judul :Kenangan Lara, Harapan Baru

Oleh : Ratna Hana Matsura

Sakit itu yang aku rasa ketika tanpa sengaja berpapasan dengan dia yang dulu sempat mengisi relung jiwa. Dia yang dulu menjadi tambatan hati yang aku yakini akan menjadi imam yang begitu sempurna. Namun, semua tinggal kenangan pahit yang harus aku terima. Kini dia sudah memiliki pasangan hati yang sungguh mempersona. Bahkan mereka juga sudah memiliki buah hati yang memiliki paras yang sama.

Kusapa mereka dengan mencoba menutup luka, tabah dengan bersikap biasa.

Kaget mungkin juga dirasa olehnya—mas Farhan. Namun, dia pun mencoba menguasai diri. Selayaknya teman lama kami mengobrol sana-sini. Mbak Mutia pun juga menyambutku dengan ramah. Sejak dulu dia tidak berubah. Sosok yang selalu aku kagumi dan kata-katanya selalu menyejukkan hati. Sahabat sekaligus kakak yang aku miliki di pondok pesantren yang dulu aku mengaji di sana. Juga kakak senior di kampus. Dia meski seorang putri kiai tapi sangat berbudi.

“Kapan menyusul Diah?” tanya Mbak Mutia disela obrolan yang ngalor-ngidul mengenang persahabatan yang dulu kami bina.

Insya Allah secepatnya, doanya saja ya Mbak,” ucapku dengan tersenyum. Padahal jujur saat ini aku belum punya pandangan tentang pernikahan. Aku masih sendiri, mecoba menunggu kunci hati. Mencoba tetap tegar ketika tambatan hati tak kunjung datang meminang.

“Nanti jangan lupa kabari kami ya,” ucapnya lagi sekaligus mengakhiri pertemuan singkat yang tidak disengaja ini.

Insya Allah, Mbak,” ucapku melepas kepergian mereka.

“Semoga Allah memberi calon imam yang terbaik untukmu Diah, karena kamu pantas menerimanya,” Mas Farhan menimpali.
“Aamiin, terima kasih doanya, Mas,” ucapku tulus.

Aku mencoba tersenyum dan melepas kepergian mereka. Duh, Gusti kenapa rasa ini masih sangat mengganggu jiwa yang telah bersemayam lama di hati. Aku harus ikhlas mas Farhan memang bukan jodohku. Dia sudah milik orang lain, Mbak Mutia—sahabatku yang sangat aku sayang.

****

Satu tahun lalu sebuah luka terekam dalam benakku. Aku mendengar kabar itu—kabar pernikahan Mas Farhan dan Mbak Mutia. Betapa hatiku ini hancur berserakan tak lagi bersatu dengan raga. Aku kecewa. Bagaimana mungkin itu terjadi, padahal Mas Farhan bilang akan menunggu aku hingga kelulusan yang tinggal menghitung hari.
Aku dan mas Farhan dulu memang saling menyukai meski saling diam tanpa mengumbar rasa yang ada. Aku malu, pun dengan dia yang juga sangat menjaga pandangannya. Sampai suatu ketika dia datang yang mengungkapkan perilah keinginan untuk mengkhitbahku. Aku senang bukan kepalang. Namun, aku ajukan syarat untuk menunggu hingga gelar sarjana bisa dalam genggaman.

Mas Farhan menyetujui syaratku. Dan aku semakin menggebu menyelesaikan skripsi yang aku susun itu. Memimpikan keindahan hidup yang akan segera menghampiri.

Namun, bagai disambar petir ketika Mbak Mutia datang menyerahkan undangan pernikah yang ingin aku mendatanginya. Hatiku hancur. Aku tidak bisa menyalahkanMbak Mutia yang mungkin tidak tahu apa-apa tentang hal ini. Dia hanya mengikuti perintah abah dan juga ummi. Ya! Perjodohan sepihak yang mengorbankan aku sebagai pihak ketiga.

“Maaf Diah, semoga kamu mendapat calon imam yang lebih baik.” Hanya itu yang Mas Farhan ucapkan padaku kala itu.

Mau bagaimana lagi ketika suratan takdir tidak mempertemukan kami dalam ikatan suci. Aku tidak banyak bertanya alasan kenapa dengan sepihak mereka memutuskan khitbah. Karena pak kiai Cholil—abahnya Mas Farhan telah menjelaskan dengan gamblang perihal kawin gantung yang sempat dilakukan abanya Mas Farhan dan Mbak Mutia dulu. Itu demi melangsungkan kekerabatan mereka yang lahir dari para priyayi.

Inilah yang tidak aku milik, aku bukan siapa-siapa yang memiliki darah biru. Aku tidak secantik dan sepintar Mbak Mutia yang sedari dulu tumbuh dalam lingkungan santri memiliki banyak ilmu.

Mungkin aku adalah bagian kecil dari kesalahan yang ada, karena Mas Farhan pernah menaruh hati padaku. Dan juga kesombongan diri yang berani memberi syarat dalam khtibah yang ditawarkan padaku. Mau bagaimana lagi nasi telah menjadi bubur.

Setelah pernikahan mereka kucoba menata lagi hati ini. Menjalani hari-hari meski terasa kosong karena ternyata tambatan hati yang aku miliki telah terbang tinggi.

Aku gadis berusia 25 tahun yang saat ini masih melajang sendiri, sedang semua teman-temanku telah berpasangan memiliki buah hati. Aku merasa rendah diri. Apalagi dalam tradisi desaku usia seperti itu harunya telah berkeluarga.

Gunjingan tidak sedap tentangku pun menyerebak. Dikatakan pemilihlah, sok jual mahal tidak mau menerima pinangan dari anak pak lurah. Bagaimana aku mau menerima jika kau tahu, dia tidak memilki pegangan agama yang kuat. Aku ini makmum, jadi sebisa mungkin aku ingin memiliki imam yang bisa membimbing dan mengatur aku dari tindak maksiat yang ada.

Salahkah jika aku memiliki kriteria seperti itu? Sungguh aku hanya berharap yang terbaik.

“Kenapa Diah? Sejak dari kantor telihat melamun begitu?” Ibu menepuk pundakku. Membuyarkan aku dari lamunan panjang. Aku menggeleng mencoba menyembunyikan kerisauan yang aku punya.

“Ayo ceritakan saja, jangan dipendam sendiri,” bujuk Ibu.

Dengan tebata-bata akhirnya aku tumpahkan segala uneg-uneg yang menggunung di hati. Mengucapkan maaf yang terdalam pada ibu yang juga mendapat dampak dari punya putri yang tak kunjung laku.

“Diah, jangan berprasangaka buruk pada Allah, biarlah orang berkata apa, jangan dipedulikan,” ucap Ibu lembut.

“Tapi Bu, Diah kadang merasa risih dengan mereka.”

“Serahkan semua pada Allah. Jika saat ini belum datang jodohmu, maka berbaikilah diri dulu semoga jodoh akan segera menghampirimu,” Ibu menasehatiku.

“Allah memberi cobaan sesuai dengan kemampuan hambanya, jadi jangan mudah menyerah.”

Aku mengiyakan ucapan ibu. Mungkin aku belum kuat untuk diberi amanah menjalankan sunnah Nabi. Aku harus memperbaiki diri. Menunggu kuci hati yang mungkin sedang menuju jalan kemari. Biarlah kenangan lara ini akau jadikan cambuk untuk lebih tegar dalam mengarungi hidup ini. Menunggu pangeran kuda putih menjemput bidadari.

Jepara,261014.

NB : Pernah dipostkan di KMB

No comments:

Post a Comment