Saturday 31 January 2015

[Cerpen] Istana Yang Kurindu

Judul : Istana Yang Kurindu

Oleh : Kazuhana El Ratna Mida

Aku tak butuh apa-apa selain bisa memasuki ruang itu. Ruang yang teramat istimewa yang membuatku jatuh cinta. Aku ingin di sana selamanya. Merajut mimpi dan kasih yang menggelora.

~*~

“Kamu masih ingin ke sana, Ra?” tanya Fifi yang tahu akan ambisiku sejak masih di sekolah dasar.

“Ya, tentu saja.” Aku mengangguk pasti.

“Hahaha, kamu lucu Ra,” ucap Fifi tiba-tiba.

“Kenapa?” tanyaku tak paham.

“Dasar! Kamu tak pernah berpikir bahwa semua itu sia-sia? Mungkin dia sudah memiliki orang lain. Dia melupakanmu, Ra,” tandas Fifi sambil menatapku.

“Tidak mungkin, dia tak seperti itu. Dia akan terus menungguku sampai aku siap,” ucapku yakin.

Aku sangat mengenalnya, sejak dulu selalu bersama. Dia tak akan berkhianat.

Dia pernah bilang padaku. “Datanglah ketika kamu siap, Ra. Ketika kamu mantap untuk selalu dekat denganku selamanya,” ucapnya dengan senyum mengembang.

Sungguh, aku sangat menyukainya, ingin selalu bersama dalam ruang yang sama.

Andai kecelakaan setahun lalu tak terjadi padaku, mungkin aku sudah berada di sisinya. Mengisi hari-hari penuh canda tawa. Ya, tapi apa boleh buat takdir berkata lain. Aku harus jatuh dan kini dalam proses penyembuhan. Tapi aku tak membuang cita untuk bisa selalu dekat dengannya.

Aku percaya janjinya itu pasti. Dia tak pernah sekali pun berbohong padaku. Apa yang dikatakannya selalu dia tepati.

~*~

Senyumku mengembang, akhirnya waktu pun datang berpihak padaku. Aku sudah dinyatakan sembuh dan bisa memulai aktivitas lagi. Meski masih ada wanti-wanti yang harus aku patuhi. 'Jangan terlalu banyak berpikir.

Kalau masalah itu aku pasti bisa. Aku kan orang yang sangat santai, kecuali untuk satu tujuan yang masih aku tanam dalam diri. Berada satu ruangan dengannya dalam istana tak berdinding, namun penuh makna.

“Tunggu aku di sana,” lirih aku berkata.

Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, akhirnya kumantapkan niat untuk menemuinya, setelah lama berpisah. Ya, aku sudah cukup sehat untuk memulai rencana yang pernah aku susun dengannya. Aku pasti bisa. Demi berada di sisinya aku akan berusaha.

“Semangat, Ra!” teriakku sendiri.

Dengan modal nekat aku kembali mendekatinya. Memulai semua dari awal. Ya, walau ada sedikit takut yang sejatinya menggelayuti raga. Lama tak bersua, buatku grogi juga.

Ingatan tentang obrolanku dengan Fifi beberapa minggu lalu mencuat, membuatku makin resah.

Tidak mungkin dia menolak, dan melupakanku. Dia pasti masih mau menerimaku, ucapku dalam hati mencoba menyemangati diri.

Akhirnya aku sampai di sana. Kutatap istana yang nantinya akan aku tinggali bersamanya. Ini yang aku tunggu. Aku sudah mantap akan pilihanku.

“Selamat datang,” sapa seorang wanita berjilbab yang kutahu dia adalah salah satu anggota keluarganya—namanya Mbak Indah.

“Sudah sembuh, Ra?” tanya Mbak Indah sambil menatapku.

“Alhamdulillah, Mbak,” jawabku dengan tersenyum.

“Selamat datang kembali, kamu sangat dirindukan untuk kembali,” ceritanya padaku.

Ces!

Betapa aku senang mendengar kabar ini, berati dia tetap menungguku meski aku pergi beberapa lama demi kesembuhanku.

Aku pun masuk dengan semangat. Tak sabar rasanya ingin memeluk dia yang nantinya benar-benar akan menjadi keluargaku. Yang menemani dalam desahan napasku.

“Ra, kamu kembali!” teriak beberapa keluarga lain begitu melihat kedatanganku.

Ada Mbak Meli, juga Mbak Lili. Mereka sangat baik padaku, membantuku selalu untuk dekat dengannya. Merekalah orang yang berjasa telah mengenalkan aku pada dia yang saat ini aku temui, mereka yang mendukung ketika kadang harapanku pasang turun.

Aku memasuki ruang yang menjadi tujuanku. Satu langkah lagi aku akan bertemu.

“Aku kembali, aku sangat merindukanmu.” Pelukku padanya seketika.

Dia hanya tersenyum padaku, membelai jilbab biru yang ada di kepalaku.

“Alhamdulillah, Ra. sudah lama aku menunggumu untuk kembali.” Dia menatapku.

“Peluk, dan belailah aku sepuasmu. Aku sangat rindu ketika kita sering berkencan berdua, baik pagi siang atau malam.” Dia mengerling padaku. Aku tersipu malu.

“Kita mulai lagi ya,” pintanya padaku. Benar kan? Dia tak lupa padaku dia masih menunggu.

“Hem, aku siap. Kita saling mengisi.” Aku mengangguk mantap.

Lalu kumemeluk dia lagi dan mengecupnya, karena sungguh aku sangat rindu. Inilah bukti sayangku.

“Al-Quranku, aku siap untuk menghafalkanmu.”

Ya, inilah istanaku Al-Quran yang nantinya akan membantuku menuju surga Rabb-ku. Pun dengan pondok pesantren tempat menuntut ilmu, juga niat suci untuk menghafalkan Al-Quran, mimpiku sejak dulu.

Di sini tak ada dinding perbedaan akan kasta, aku dan para santri lainnya hanya fokus untuk dekat dengannya, menghafal lalu mengamalkan isinya.
Inilah istana yang selalu kurindu, Al-Quran dan Pondok Pesantren yang selalu ada di dalam kalbu.



Srobyong, 23 Januari 2015.

No comments:

Post a Comment