Saturday 10 January 2015

[Horkom] Galau Tingkat Dewa

Galau Tingkat Dewa

Kazuhana El Ratna Mida

            Aku merapalkan jaket yang sedari tadi melekat. Dingin sungguh menusuk tulang. Desember sudah menjelang buat hujan semakin menghujam. Datang, basahi bumi yang dulu kering kerontang. Apalagi di malam seperti ini, malam jumat yang terkesan horor dan mencekap. Aku jadi was-was.

            Aku berjalan melewati jembatan yang mengantarkanku sampai keperistirahatan.  Aku harus bisa segera sampai di rumah dan bisa terlelap.

            Tapi baru beberapa langkah berjalan, aku dikejutkan dengan kedatangan penghuni jembatan yang tiba-tiba menghadangku. Dia terlihat lesu dan tak bersemangat. Tapi, tetap saja aku bergidik ngeri. Kami, kan bukan dari dunia yang sama.

            “Nya, curhat dong,” ucapnya langsung.

            Aku tatap sosok tinggi dengan gaun putih di depanku. Tidak salah?

            “Duh, gue mau istirahat, Kun. Capek,” tolakku. Aku mempercepat langkah.

            “Ayolah, gue lagi galau tingkat dewa,” dia masih membujuk.

            “Kalau elo dengerin curhat gue, janji deh, kalau lewat sini nggak bakal gue ganggu, kayak malam-malam kemarin.”

            Aku mengalah. Kudengarkan cerita dia yang menggebu. Meski setengah takut juga. Mendengarkan curhatan Kunti si penunggu jembatan. Hadeh. Dia ini sungguh tidak sopan. Malam sudah semakin larut tapi, tetap saja ngotot ingin curhat. Aku kan butuh istirahat. Besok harus kerja juga. Ini, malam juga makin mencekam. Tak solidaritas banget, pake acara barter keamanan pula.

            Mentang-mentang dia hebat. Tepi, perjanjian yang dia ajukan cukup menarik. Daripada aku diteror terus tiap pulang sendirian.

            “Jahat, kan si Poc, itu. gue diselingkuhin, kemarin gue ngak sengaja lihat,” si Kun bercerita dengan tangis yang berderai-derai. Aku samapi merinding dibuatnya.

            Tak tahu ya, suaranya bisa merusak  gendang telinga.

            “Sabar, ya. Kun. La terus rencana, loe apa?” tanyaku penasaran.

            “Gue mau ngelabrak si Poc. Elo ikut ya.”

            “Apa? Gue ikut? Malam-malam gini?”

            “Gue takut kalau ngelabrak sendirian,” ucapnya nyegir kuda.
“hihihihii.”

            Suara itu lho bikin orang merinding gila. Dan pasti banyak orang ketakutan karena ulahnya. Yai yalah itu suara kuntilanak dengan suara khasnya.

            “Dah, deh jangan ketawa, biki gue merinding aja,” marahku padanya.

            Kuantar dia sampi di tempat si Poc—Pocong maksudku. Pacar Kunti yang selingkuh dengan Sundel.

            Mereka bertengkar hebat, sampai mau saling adu jotos. Aku hanya memerhatikan dari jauh. Nggak mau, ah. Ikut-ikutan, la tidak ada hubungannya denganku juga. Rasanya aku sudah sangat mengantuk.

            Aku duduk menunggu di bawah pohon, memerhatikan dua pasangan hantu saling bertengkar hebat.

            “Jadi, gitu, ya. Elo selingkuh di belakang gue sama Sundel, hah!” marah Kunti.

            “Ngaco, loe, Kun. Gue masih sayang elo, kok,” si Pocong ngeles.

            “Alah, gue lihat, kalian kemarin kencan,” tuding si Kun.

            Akhirnya si pocong ngaku. Dan itu cukup membuat si Kun sakit hati.

            “Elo, tuh jahat banget sih, tega, tega, hiks,” si Kun mulai menangis.

            “Sorry, Kun. Bukan maksud gue nyakitin elo. Tapi …,” ucap si Poc ngambang.

            Aku mendengarkan dua setan ini saling meminta maaf jadi geli.

            Namun, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan datangnya si sundel. Si Pocong tergagap. Melihat Sundel yang datang mendadak.

            “Kebetulan, kalian ada di sini, gue mau ngenalin gebetan baru gue,” ucap si Sundel  santai.

            Sosok berperawakan tinggi, namun hitam pekat muncul. Dia mengaku pacar si Sundel sekarang.

            Ya, dia si Genderuwo. Mereka tersenyum bahagia. Beda dengan si Pocong yang terlihat nelangsa.

            “Elo, tega, Sun. padahal kemarin elo bilang suka sama gue, kita, kan baru jadian,” giliran si Pococng sedih banget.  Sakitnya tuh di sini. si Pocong memegang dadanya.

            “Sorry, ya, Poc.” Si Sundel melenggang bebas bareng si Genderuwo.

            “hihihihi” rasain. Si Kunti tertwa senang.

            Biar dia tahu, rasanya sakit hati.

            “Kata penyanyi  Cita Citata ‘sakitanya tuh di sini’,” Si kunti menunjuk dadanya.

            Aku tertawa geli. Hantu ini kece badai. Gaul amat. Aku aja nggak tahu lagu itu.

            “Kalau gitu, kita baikan, aja Kun. Gue janji kali ini bakal setia, nggak bakal deh melirik punya tetangga,” janji si Pocong.

            “Seperti lagu, siapa, ya?” si Pocong nampak berpikir.

            “Maksud loe, Republik ‘selimut tetangga’?” si Kun membetulkan.

            Si Pocong tertawa terbahak. Tapi kemudian mereka benar- benar baikan. Mereka melenggang dengan pasangan masing-masing.
            Dan aku sendirian di sini.

            “Duh, sakitnya tuh di sini, mereka para hantu aja berpasangan. La, gue, merana sendirian. Nasib, nasib,”

            “Eh, makasih ya, Nya. Yuk gue antar pulang,” ucapnya si Kunti dengan santai, tanpa rasa dosa.

            Tahu nggak sih, sekarang aku yang jadi galau tingkat dewa. Pengen punya pacar segera tak mau kalah sama hantu jembatan dekat rumah.


---The End---

Srobyong, 3 Desember 2014.

coretan lama , dari pada numpuk di lepi aja :)

No comments:

Post a Comment