Dimuat di Minggu Pagi, Jumat 9 Maret 2018
Ini naskah asli sebelum ada editing dari redaksi
Ratnani
Latifah
“Yah ... tidak ada lagi.” Tari menghela napas. Wajahnya
terlihat sangat mendung.
“Kenapa, sih sulit sekali ...,” Tari menatap nanar. Dia
menggigit bibirinya. Kebiasaan ketika tengah resah dan marah. Ini sudah tiga bulan lebih setelah Tari mulai
bergerilya mengirim naskah ke berbagai media. Tapi sama sekali tidak terlihat
hasilnya.
“Kenapa hanya nama-nama itu saja yang terus bermunculan?”
Tari memonyongkan bibir.
“Kania lagi Kania lagi. Kalau tidak Luna lagi Luna lagi.
Selalu nama mereka.” Tari menggerutu. Dia mengingat beberapa nama yang paling
sering muncul di koran. Biasanya ada info di grup sastra di facebook.
“Jangan-jangan mereka main belakang lagi!” ucap Tari
penuh prasangka.
~*~
Akhir-akhir
ini Tari memang selalu terlihat suram. Wajahnya sering ditekuk-tekuk seperti
kertas lecek, yang siap dibakar. Lebih anehnya lagi Tari mulai menjauhi Kania.
Padahal mereka sudah bersahabat cukup lama. Entah kenapa, Tari mulai sebal jika
melihat Kania. Ada rasa iri dan dengki yang
menggunung di hatinya. Padahal dia tahu rasa itu sangat salah.
“Kenapa
sih, Tar? Akhir-akhir ini kamu aneh deh,” tanya Kania, hati-hati. Kania tidak
paham, kenapa tiba-tiba Tari seperti menjauh darinya sejak beberapa hari terakhir
ini. Padahal Kania tidak merasa mereka sedang bertengkar atau apa.
Persahabatan mereka terjalin karena
kesamaan hobi dan mimpi, sejak masa orientasi siswa baru di SMA. Alasan klise,
namun memang begitulah adanya. Kesamaan hobi membuat mereka cepat akrab hingga
sekarang. Kania suka menulis dan membaca. Dan dia sudah sering mengirim cerpen ke koran sejak SMP—bahkan sudah beberapa kali
tulisanya tayang di koran. Sedang Tari, meski sudah sejak dulu suka membaca dan menulis, dia baru mulai mencoba
mengirim cerpennya ke koran saat di SMA dorongan Kania, tiga bulan terakhir
ini.
“Kamu
marah sama aku? Maaf, deh kalau aku ada salah.”
Kania duduk di samping Tari yang masih diam.
“Cerita
dong, Tar kamu kenapa?” Kania masih membujuk.
Sayangnya,
sampai pulang sekolah, Tari masih memilih bungkam. Dia sama sekali tidak
merespon Kania. Ketika Kania memilih duduk di sampingnya dan terus bertanya,
Tari pura-pura membaca dan tidak mendengar. Ketika Kania mengajak Tari ke
kantin bersama. Tari malah langsung pergi duluan. Ketika Kania mengajak ke
perpustakaan, Tari malah mengajak Susi.
Tapi
Kania tidak putus asa. Dia tetap berusaha mendekati Tari, meski sahabatnya itu
selalu cuek. Setidaknya dia harus tahu kenapa tiba-tiba dia diamkan. Kania pasti akan merasa kesepian jika Tari
meninggalkannya. Karena bagaimana pun Tari itu sahabat yang baik, yang juga asyik
diajak berdiskusi soal literasi.
Mereka
sering berdiskusi tentang buku yang mereka baca dan buku baru yang patut diburu—bahkan
mereka sering berburu bareng di Gramedia atau pas ada bazar. Mereka juga suka membahas bagus tidaknya sebuah
cerpen dan bagaimana cara menulis cerpen yang bagus dan memikat. Bagaimana
membuat judul yang nendang. Tidak hanya itu, mereka juga sering saling memberi komentar
dengan tulisan masing-masing, untuk diperbaiki. Saling mendukung untuk mengirim
karya ke media dan banyak kegiatan seru yang mereka lalui bersama.
Memikirkan
tentang media, tiba-tiba Kania teringat dengan percakapannya dengan Tari satu
beberapa hari lalu. Mungkinkah karena masalah itu Tari marah padanya? Barangkali
Tari tersinggung dengan ucapannya. Kania menebak-nebak dalam hati.
“Kan, kenapa sih tembus suatu media susah sekali?”
Tari bercerita ketika mereka menikmati jam istirahat di kantin.
“Aku
sudah mulai mengirim cerpen seperti saranmu. Beberapa kali. Ke banyak media. Tapi
coba lihat ... nggak ada satu pun tulisanku yang dimuat,” lanjut Tari.
“Tapi
kamu ... sekali kirim langsung dimuat terus. Bahkan di Minggu berikutnya dan
berikutnya. Aku mengamati setiap Minggu nama-nama penulis yang dimuat di koran
hanya itu ... itu saja. Apakah redaksinya hanya melihat nama penulis saja?
Apakah penulis pemula tidak diberi kesempatan? Atau ada kerjasama tersendiri
antara penulis dan redaksi?” Tari
melontarkan banyak pertanyaan yang cukup membuat Kania agak bingung bagaimana menjawabnya.
“Wah ... nggak seperti itu juga Tar. Yang aku tahu nggak
ada kerjasama antara penulis dan redaksi, kok. Jangan berburuk sangka, dong.”
Protes Kania.
“Aku yakin redaksi tidak memandang nama besar penulis,
kok. Tapi dilihat dari tulisannya. Kalau
bagus dan sesuai selera redaksi pasti dimuat. Kalau belum dimuat mungkin masih
ada yang kurang dan perlu diperbaiki,” Kania mencoba menjawab dengan hati-hati.
“Jadi kamu mau bilang kalau tulisanku jelak, begitu? Jadi
belum layak dimuat?” Tari langsung bangkit dan meninggalkan Kania.
~*~
Keesokan
harinya, Kania sengaja menunggu Tari di gerbang sekolah setelah pulang sekolah.
Dia harus berbicara dan menjelaskan semuanya. Dia harus meluruskan semua salah
paham ini. Beruntung kali ini Tari
mengiyakan ajakannya. Dan di sinilah
mereka—di rumah Tari yang memang tidak jauh dari lokasi sekolah.
“Maaf
Tar, kalau ucapanku kemarin menyinggungmu. Aku nggak bermaksud seperti itu,”
Kania memulai percakapan.
“Udah
nggak usah dibahas. Kamu mau ngomong apa?” Tari masih agak ketus.
“Jadi
ngini ... aku mau jelasin pertanyaan kamu beberapa hari lalu yang belum sempat
aku jawab semua. Kamu mau mendengarkan, kan?”
Kania
bernapas lega ketika melihat anggukan
Tari. Tapi kali ini dia harus hati-hati agar Tari tidak tersinggung. Meski sejujurnya bagi Kania pertanyaan Tari tempo
hari, pun terlalu kasar. Karena menyalahkan redaksi dan penulis lain, ketika
naskahnya tidak dimuat. Padahal untuk
mencapai suatu hal itu tidak mungkin instan. Bahkan dirinya sendiri sampai saat
ini masih sering menerima penolakan saat mengirim karya. Bedanya dia tidak
marah, tapi tetap berusaha. Dan pastinya hal itu juga dialami penulis lain.
Tidak sekali dua kali mereka mengirim, hingga akhirnya dimuat. Tapi hal itu
harus Karin sampingkan dulu. Dia harus berbaikan dulu dengan Tari.
“Jadi
... ketika kita mengirim ke koran, maka kita harus siap dengan penolakan juga
penerimaan.” Kania menatap Tari.
“Karena
setiap hari redaksi tidak hanya menerima satu tulisan, bisa jadi setiap hari
ada puluhan bahkan ratusan naskah masuk. Sedang rubrik cerpen hanya ada satu minggu sekali. Redaksi harus
memilih satu yang paling pas dan apik untuk dimuat. Di sini redaksi pasti punya
pertimbangan sendiri.” Kania berhenti
sejenak.
“Tenang
... redaksi tidak memandang nama besar penulis, kok. Isi cerita dan kerapian
tulisan tetap diperhatikan. Jadi jangan khawatir.
“Jika
soal nama penulis yang sering dimuat hampir setiap minggu ... mungkin kita
harus bertanya pada diri sendiri, sudah berapa banyak usaha kita? Sudah berapa
banyak naskah kita tulis dan kita kirim
setiap harinya? Sudah berapa keras kita mencoba? Aku yakin mereka memiliki
usaha yang lebih keras dan tidak mudah menyerah—baik dalam memperbaiki tulisan
juga mencoba mengirim lagi.
“Dan
satu lagi kita harus sabar kalau mengirim naskah. Karena masa tunggu sebuah
tulisan tidak selalu cepat. Ada yang
satu minggu, satu bulan, tiga bulan bahkan satu tahun, tergantung korannnya.
Banyaknya naskah masuk membuat banyak
tulisan antri dimuat.” Kania
mengakhiri penjelasannya.
Saat itu Kania sempat melihat gurat wajah Tari
yang memucat ketika mendengar penjelasannya. Tapi Kania tidak tahu apakah karena marah atau
menyadari sesuatu. Dia tidak mau menebak-nebak.
“Apa
aku menyinggungmu lagi?” tanya Kania.
Tari
menggeleng. “Nggak kok, kamu malah mengingatkanku tentang sesuatu yang penting,
Kan. Sesuatu yang aku sepelekan.” Tari menunduk malu.
“Kalau
begitu harus diperbaiki, dong. Aku yakin kamu bisa.” Kania memberi semangat.
Dua
sahabat itu pun kemudian berpelukan dan tertawa bersama. Seperti tidak ada perselisihan sebelumnya.
“Eh
... tapi aku tetap penasaran kenapa tulisan kamu sering dimuat, Kan.” Ucapan
Tari langsung membuat Kania tersenyum simpul.
Kania
pun jujur, kalau setiap minggu sebisa mungkin dia konsisten mengirim naskah.
Ditolak sudah makanan sehari-harinya. Tapi dia tetap menulis dan kirim lagi.
Dan mungkin salah satu karyanya ada yang menarik perhatian redaksi jadinya
dimuat.
“Pantas
saja, aku baru mengirim beberapa kali, langsung minta dimuat. Memang siapa aku
ini?” Tari terkekeh.
“Jadi
sudah nggak marah lagi, kan?” Kania menyenggol Tari.
Tari
menggeleng. “Alhamdulillah, siap nulis
dan kirim lagi, dong.” Kania mengerling dan disambut Tari dengan mengacungkan
ibu jarinya.
Bertepatan dengan itu, sebuah telepon masuk mengagetkan
Tari dan Kania. Mereka saling pandang karena tidak ada nama penelopon. Tapi
mereka akhirnya berpelukan setelah menerima telepon itu.
“Selamat, Tar. Apa
aku bilang, tulisanmu itu bagus. Makanya sabar ..., jangan mau yang instan
doang. Kan nggak ada yang instan! Dan nggak perlu iri juga kalee ....”
Srobyong, 27 Januari 2018.
Mengingatkan supaya kita terus berusaha sampai berhasil. Terima kasih, Mbak, saya jadi makin termotivasi.
ReplyDeleteIya Mas, harus terus berusaha, sampai berhasil. Sama-sama Mas, alhamudulillah bisa memotivasi. Terima kasih juga sudah berkenan mampir dan baca di sini ^_^
Delete