Monday 12 March 2018

[Cerma] Tak Ada yang Instan

Dimuat di Minggu Pagi, Jumat 9 Maret 2018


Ini naskah asli sebelum ada editing dari redaksi 

Ratnani Latifah

            “Yah ... tidak ada lagi.” Tari menghela napas. Wajahnya terlihat sangat mendung. 

            “Kenapa, sih sulit sekali ...,” Tari menatap nanar. Dia menggigit bibirinya. Kebiasaan ketika tengah resah dan marah.  Ini sudah tiga bulan lebih setelah Tari mulai bergerilya mengirim naskah ke berbagai media. Tapi sama sekali tidak terlihat hasilnya.

            “Kenapa hanya nama-nama itu saja yang terus bermunculan?” Tari memonyongkan bibir.

            “Kania lagi Kania lagi. Kalau tidak Luna lagi Luna lagi. Selalu nama mereka.” Tari menggerutu. Dia mengingat beberapa nama yang paling sering muncul di koran. Biasanya ada info di grup sastra di facebook.

            “Jangan-jangan mereka main belakang lagi!” ucap Tari penuh prasangka.

~*~

            Akhir-akhir ini Tari memang selalu terlihat suram. Wajahnya sering ditekuk-tekuk seperti kertas lecek, yang siap dibakar. Lebih anehnya lagi Tari mulai menjauhi Kania. Padahal mereka sudah bersahabat cukup lama. Entah kenapa, Tari mulai sebal jika melihat Kania. Ada rasa  iri dan dengki yang menggunung di hatinya. Padahal dia tahu rasa itu sangat salah.

            “Kenapa sih, Tar? Akhir-akhir ini kamu aneh deh,” tanya Kania, hati-hati. Kania tidak paham, kenapa tiba-tiba Tari seperti menjauh darinya sejak beberapa hari terakhir ini. Padahal Kania tidak merasa mereka sedang bertengkar atau apa.

Persahabatan mereka terjalin karena kesamaan hobi dan mimpi, sejak masa orientasi siswa baru di SMA. Alasan klise, namun memang begitulah adanya. Kesamaan hobi membuat mereka cepat akrab hingga sekarang. Kania suka menulis dan membaca. Dan dia sudah sering mengirim cerpen  ke koran sejak SMP—bahkan sudah beberapa kali tulisanya tayang di koran. Sedang Tari, meski sudah sejak dulu suka  membaca dan menulis, dia baru mulai mencoba mengirim cerpennya ke koran saat di SMA dorongan Kania, tiga bulan terakhir ini.  

            “Kamu marah sama aku? Maaf, deh kalau aku ada salah.”  Kania duduk di samping Tari yang masih diam.

            “Cerita dong, Tar kamu kenapa?” Kania masih membujuk.

            Sayangnya, sampai pulang sekolah, Tari masih memilih bungkam. Dia sama sekali tidak merespon Kania. Ketika Kania memilih duduk di sampingnya dan terus bertanya, Tari pura-pura membaca dan tidak mendengar. Ketika Kania mengajak Tari ke kantin bersama. Tari malah langsung pergi duluan. Ketika Kania mengajak ke perpustakaan, Tari malah mengajak Susi.

            Tapi Kania tidak putus asa. Dia tetap berusaha mendekati Tari, meski sahabatnya itu selalu cuek. Setidaknya dia harus tahu kenapa tiba-tiba dia diamkan.  Kania pasti akan merasa kesepian jika Tari meninggalkannya. Karena bagaimana pun Tari itu sahabat yang baik, yang juga asyik diajak berdiskusi soal literasi.

            Mereka sering berdiskusi tentang buku yang mereka baca dan buku baru yang patut diburu—bahkan mereka sering berburu bareng di Gramedia atau pas ada bazar. Mereka  juga suka membahas bagus tidaknya sebuah cerpen dan bagaimana cara menulis cerpen yang bagus dan memikat. Bagaimana membuat judul yang nendang. Tidak hanya itu,  mereka juga sering saling memberi komentar dengan tulisan masing-masing, untuk diperbaiki. Saling mendukung untuk mengirim karya ke media dan banyak kegiatan seru yang mereka lalui bersama.

            Memikirkan tentang media, tiba-tiba Kania teringat dengan percakapannya dengan Tari satu beberapa hari lalu. Mungkinkah karena masalah itu Tari marah padanya? Barangkali Tari tersinggung dengan ucapannya. Kania menebak-nebak dalam hati.

            “Kan,  kenapa sih tembus suatu media susah sekali?” Tari bercerita ketika mereka menikmati jam istirahat di kantin.

            “Aku sudah mulai mengirim cerpen seperti saranmu. Beberapa kali. Ke banyak media. Tapi coba lihat ... nggak ada satu pun tulisanku yang dimuat,” lanjut Tari.

            “Tapi kamu ... sekali kirim langsung dimuat terus. Bahkan di Minggu berikutnya dan berikutnya. Aku mengamati setiap Minggu nama-nama penulis yang dimuat di koran hanya itu ... itu saja. Apakah redaksinya hanya melihat nama penulis saja? Apakah penulis pemula tidak diberi kesempatan? Atau ada kerjasama tersendiri antara penulis dan redaksi?” Tari           melontarkan banyak pertanyaan yang cukup membuat Kania agak  bingung bagaimana menjawabnya.

            “Wah ... nggak seperti itu juga Tar. Yang aku tahu nggak ada kerjasama antara penulis dan redaksi, kok. Jangan berburuk sangka, dong.” Protes Kania.

            “Aku yakin redaksi tidak memandang nama besar penulis, kok.  Tapi dilihat dari tulisannya. Kalau bagus dan sesuai selera redaksi pasti dimuat. Kalau belum dimuat mungkin masih ada yang kurang dan perlu diperbaiki,” Kania mencoba menjawab dengan hati-hati.

            “Jadi kamu mau bilang kalau tulisanku jelak, begitu? Jadi belum layak dimuat?” Tari langsung bangkit dan meninggalkan Kania.

~*~

            Keesokan harinya, Kania sengaja menunggu Tari di gerbang sekolah setelah pulang sekolah. Dia harus berbicara dan menjelaskan semuanya. Dia harus meluruskan semua salah paham ini.  Beruntung kali ini Tari mengiyakan ajakannya.  Dan di sinilah mereka—di rumah Tari yang memang tidak jauh dari lokasi sekolah.

            “Maaf Tar, kalau ucapanku kemarin menyinggungmu. Aku nggak bermaksud seperti itu,” Kania memulai percakapan.

            “Udah nggak usah dibahas. Kamu mau ngomong apa?” Tari masih agak ketus.

            “Jadi ngini ... aku mau jelasin pertanyaan kamu beberapa hari lalu yang belum sempat aku jawab semua. Kamu mau mendengarkan, kan?”

            Kania  bernapas lega ketika melihat anggukan Tari. Tapi kali ini dia harus hati-hati agar Tari tidak tersinggung.  Meski sejujurnya bagi Kania pertanyaan Tari tempo hari, pun terlalu kasar. Karena menyalahkan redaksi dan penulis lain, ketika naskahnya tidak dimuat.  Padahal untuk mencapai suatu hal itu tidak mungkin instan. Bahkan dirinya sendiri sampai saat ini masih sering menerima penolakan saat mengirim karya. Bedanya dia tidak marah, tapi tetap berusaha. Dan pastinya hal itu juga dialami penulis lain. Tidak sekali dua kali mereka mengirim, hingga akhirnya dimuat. Tapi hal itu harus Karin sampingkan dulu. Dia harus berbaikan dulu dengan Tari.

            “Jadi ... ketika kita mengirim ke koran, maka kita harus siap dengan penolakan juga penerimaan.” Kania menatap Tari.

            “Karena setiap hari redaksi tidak hanya menerima satu tulisan, bisa jadi setiap hari ada puluhan bahkan ratusan naskah masuk. Sedang rubrik cerpen  hanya ada satu minggu sekali. Redaksi harus memilih satu yang paling pas dan apik untuk dimuat. Di sini redaksi pasti punya pertimbangan sendiri.”  Kania berhenti sejenak.

            “Tenang ... redaksi tidak memandang nama besar penulis, kok. Isi cerita dan kerapian tulisan tetap diperhatikan. Jadi jangan khawatir.

            “Jika soal nama penulis yang sering dimuat hampir setiap minggu ... mungkin kita harus bertanya pada diri sendiri, sudah berapa banyak usaha kita? Sudah berapa banyak  naskah kita tulis dan kita kirim setiap harinya? Sudah berapa keras kita mencoba? Aku yakin mereka memiliki usaha yang lebih keras dan tidak mudah menyerah—baik dalam memperbaiki tulisan juga mencoba mengirim lagi.

            “Dan satu lagi kita harus sabar kalau mengirim naskah. Karena masa tunggu sebuah tulisan tidak selalu cepat.  Ada yang satu minggu, satu bulan, tiga bulan bahkan satu tahun, tergantung korannnya. Banyaknya naskah masuk membuat banyak  tulisan  antri dimuat.” Kania mengakhiri penjelasannya.

            Saat  itu Kania sempat melihat gurat wajah Tari yang memucat ketika mendengar penjelasannya.  Tapi Kania tidak tahu apakah karena marah atau menyadari sesuatu. Dia tidak mau menebak-nebak.

            “Apa aku menyinggungmu lagi?” tanya Kania.

            Tari menggeleng. “Nggak kok, kamu malah mengingatkanku tentang sesuatu yang penting, Kan. Sesuatu yang aku sepelekan.” Tari menunduk malu.

            “Kalau begitu harus diperbaiki, dong. Aku yakin kamu bisa.” Kania memberi semangat.

            Dua sahabat itu pun kemudian berpelukan dan tertawa bersama.  Seperti tidak ada perselisihan sebelumnya.

            “Eh ... tapi aku tetap penasaran kenapa tulisan kamu sering dimuat, Kan.” Ucapan Tari langsung membuat Kania tersenyum simpul.

            Kania pun jujur, kalau setiap minggu sebisa mungkin dia konsisten mengirim naskah. Ditolak sudah makanan sehari-harinya. Tapi dia tetap menulis dan kirim lagi. Dan mungkin salah satu karyanya ada yang menarik perhatian redaksi jadinya dimuat.

            “Pantas saja, aku baru mengirim beberapa kali, langsung minta dimuat. Memang siapa aku ini?” Tari terkekeh.

            “Jadi sudah nggak marah lagi, kan?” Kania menyenggol Tari.

            Tari menggeleng.  “Alhamdulillah, siap nulis dan kirim lagi, dong.” Kania mengerling dan disambut Tari dengan mengacungkan ibu jarinya.

            Bertepatan dengan itu, sebuah telepon masuk mengagetkan Tari dan Kania. Mereka saling pandang karena tidak ada nama penelopon. Tapi mereka akhirnya berpelukan setelah menerima telepon itu.

“Selamat,  Tar.  Apa aku bilang, tulisanmu itu bagus. Makanya sabar ..., jangan mau yang instan doang. Kan nggak ada yang instan! Dan nggak perlu iri juga kalee ....”

           

            Srobyong, 27 Januari 2018.

2 comments:

  1. Mengingatkan supaya kita terus berusaha sampai berhasil. Terima kasih, Mbak, saya jadi makin termotivasi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Mas, harus terus berusaha, sampai berhasil. Sama-sama Mas, alhamudulillah bisa memotivasi. Terima kasih juga sudah berkenan mampir dan baca di sini ^_^

      Delete