Dimuat di Analisa Medan, Minggu 11 Maret 2018
*Kazuhana
El Ratna Mida
Rara
bernapas lega bisa masuk gerbang tanpa mendapat hukuman. Semua berkat cowok bermata cokelat itu—Ibra, yang saat ini
sedang senter dibicarakan. Dia menyelamatkanku, ucap Rara dalam hati.
Rara tersenyum sendiri. Dia baik sekali.
Mau membantu membujuk Pak Satpam untuk meloloskannya sekali ini.
“Kamu
masuk kelas dulu saja, Ra. Aku mau ngomong dulu sama Pak Nano.” Suara Ibra yang
serak-serak basah itu membuat Rara terlonjak dari lamunan gilanya sendiri.
“Ah,
iya. Terima kasih untuk hari ini.” Rara langsung mengambil langkah seribu. Meninggalkan
Ibra yang masih berdiri di dekat gerbang
berbicara dengan Pak Nano—si satpam. Rasanya dia mau melayang. Bahkan Ibra
sudah hapal namaku. Yah, mengingat beberapa kali kami memang sudah bertemu. Rara kembali berucap
dalam hati sambil tersenyum sendiri.
~*~
“Hoi!
Dari tadi senyum-senyum sendiri.” Nina menyenggol bahu Rara.
Aneh
saja, bukankah sejak masuk ke kelas, Rara mendapat teguran dari Bu Indah? Bahkan
mendapat hukuman karena ini kali kedua dia terlambat pada pelajaran Matematika.
Yup, pada sesi jam pertama dia harus berdiri di depan kelas.
“Pokoknya
hari ini aku sungguh beruntung.” Rara memamerkan senyumnya yang manis.
“Hah?!”
Nina mengernyitkan dahi, “Ditegur Bu Indah dan di strap di depan kelas
itu hari keberuntungan?”
“Bukan!”
Rara menggelengkan kepala, “Bukan karena itu, tap—,” belum sempat Rara
melanjutkan ucapannya, suara Bu Indah membuat Rara menunduk yang juga diikuti
Nina. Mereka saling sikut. Namun, beberapa detik kemudian mereka tertawa
cekikikan. Tentu tanpa sepengetahuan Bu Indah. Kalau ketahuan bisa dapat
hukuman lagi.
“Jadi
kenapa sedari tadi kamu senyum tidak jelas gitu?” Nina menodong pertanyaan
begitu jam kedua dari Bu Indah selesai. Mereka terlihat senang karena baru saja
diberitahukan kalau pelajaran ketiga hari ini kosong.
“Itu
karena ...,” Rara menggantung ucapannya. Tatapan yang dimiliki kini terpaku
pada sosok Ibra yang berjalan menuju
perpustakaan. Nina yang penasaran
memincingkan mata mengikuti ke mana arah pandangan Rara.
“Ibra?” Nina tidak percaya. Bagaimana mungkin?
Rara
mengangguk. Ibra di matanya sosok itu sungguh
luar biasa. Selalu baik hati dan murah senyum. Apalagi jika menatap sepasang
mata cokelatnya itu. Mata itu sungguh
teduh, dan membuat Rara betah menatapnya dalam kurun waktu yang lama.
Sayangnya, Ibra tidak satu kelas dengan Rara. Dia hanya bisa memerhatikan Ibra
kalau kebetulan melihat atau berpapasan dan bertemu di tempat rahasia mereka.
Ups!
“Malah
melamun!” Nina menyenggol Rara. “Ke kantikn, yuk.” Nina tanpa menunggu
persetujuan Rara langsung mengapit tangan teman sebangkunya itu. Padahal Rara
masih ingin berlama-lama melihat Ibra. Pertemuan yang tidak disengaja seminggu yang lalu sedikit banyak membuat Rara selalu
memikirkan Ibra—cowok bermata cokelat
itu.
~*~
Seminggu yang lalu, Rara tengah asyik membaca
novel Ilana Tan di bangku taman sekolah. Dia sedang malas ke kantin dan memilih
menghabiskan waktunya di bawah pohon akasia sambil membaca. Saat sedang asyik
membaca dia dikagetkan dengan suara langkah kaki yang mendekat ke arahnya. Dan
Rara lebih kaget lagi ketika mendongkakan kepala. Dia melihat sosok bermata cokelat yang membuatnya
terpana. Orang itu memamerkan senyum yang sungguh manis.
Rara
memerhatikannya dengan saksama. Cowok itu memakai seragam seperti dirinya. Tapi siapa
orang itu? Rara bertanya-tanya. Karena
sebelumnya dia belum pernah melihat cowok itu. Atau karena dia yang murid baru
sehingga masih kurang informasi? Entahlah.
Cowok
itu dengan santainya duduk di sebelah Rara. “Ibra. Kelas XII IPA.” cowok itu mengenalkan
diri, seolah memahami tatapan aneh dari Rara.
Rara
menganggukkan kepala, lalu teringat dengan kasak-kusuk teman-teman sekelasnya
tentang kakak kelas yang katanya cukup tampan dan masih mudah. Rara tersenyum
sendiri, sepertinya ucapan mereka benar. Ibra memang memiliki wajah tampan dan
senyum yang menawan. Rara diam-diam menatap Ibra. Memerhatikan rambut hitamnya yang ikal,
alis mata yang cukup tebal, bulu mata yang lentik, lalu mata cokelatnya dan
hidung yang lebih mancung dari dirinya.
Rara berdecak dalam hati, kakak kelasnya itu sungguh ciptaan Tuhan yang luar
biasa.
“Namamu?”
Rara menelan ludah mendengar suara serak-serak basah itu.
“Rara,
XI IPA.” Rara mencoba mengontrol perasaannya yang tengah melayang ke mana-mana.
Dan
sejak hari itu, taman sekolah itu
menjadi tempat favorit Rara.
~*~
“Ra!”
panggilan Nina tidak dijawab. Rara tenggelam dalam lamunannya sendiri.
mengabaikan kantin yang saat ini sudah penuh sesak. Karena sebal, Nini kembali
menyenggol siku Rara, hingga si empunya
terkesiap. Rara mendelik, Nina tersenyum puas.
“Ya,
habis ..., dipanggil dari tadi tidak mau jawab. Mikirin apa, sih?” Ninia
bertanya sambil menyerutup es campur kesukaannya.
“Ye
..., mau tahu aja, sih, Nin.” Rara tersenyum penuh misteri. Dia memasukkan satu
sendok bakso ke mulutnya. Pesanan yang tadi diabaikan kini sudah dinikmati.
“Alah
..., paling juga Ibra. Iya, kan?” Nina
mengerling. Rara hampir tersedak.
“Dari
pagi, cuma Ibra yang kamu bicarakan.”
Nina tidak peduli dengan muka Rara jadi bersemu merah itu.
“Jangan-jangan,
kamu suka Ibra, ya? Bagaimana bisa?”
Rara
melotot, menyuruh Nina memelankan suaranya. Teman sebangkunya itu sungguh reseh.
Rara
sendiri tidak tahu dengan perasaannya pada cowok bermata cokelat itu. Dia hanya
merasa nyaman dan nyambung jika mengobrol. Ibra juga sangat baik. Dan perasaan itu tumbuh dengan sendirinya
tanpa bisa dicegah.
“Ra
..., lebih baik kamu melupakan Ibra, deh.” Suara Nina yang terdengar hati-hati
itu membuat Rara bertanya-tanya.
Kenapa
dia harus? Apakah Nina juga menyukai Ibra? Rara menatap Nina dengan pandangan
yang sulit diartikan.
“Bukan
aku bermaksud mencampuri urusanmu. Sungguh bukan,” Nina menggelengkan kepala. Menarik
napas sebentar dan kembali memerhatikan Rara. “Ah, bagaimana aku
mengatakannya?” Nina memegang kepalanya. Rara mengernyitkan dahi.
“Apa
kamu juga suka Ibra?” pertanyaan itu
akhirnya muncul juga. Nina menutup mulut. Menarik napas sebentar lalu
menggeleng pelan.
“Nah,
tidak ada masalah, kan? Aku tetap menyukainya.” Rara tersenyum riang. “Nanti kalau aku berhasil mengajak dia
keluar, kamu bisa sekalian ajak pacar kamu yang katanya mau kamu kenalkan?
Nina
hanya bisa menatap sedih dan bingung. Entah bagaimana dia harus menjelaskan
kalau Ibra itu pacaranya.
Srobyong,
18 September 2015-8 November 2016
No comments:
Post a Comment