Friday 16 March 2018

[Cerma] Cowok Bermata Cokelat

Dimuat di Analisa Medan, Minggu 11 Maret 2018


*Kazuhana El Ratna Mida

            Rara bernapas lega bisa masuk gerbang tanpa mendapat hukuman. Semua berkat  cowok bermata cokelat itu—Ibra, yang saat ini sedang senter dibicarakan. Dia menyelamatkanku, ucap Rara dalam hati. Rara tersenyum sendiri.  Dia baik sekali. Mau membantu membujuk Pak Satpam untuk meloloskannya sekali ini.

            “Kamu masuk kelas dulu saja, Ra. Aku mau ngomong dulu sama Pak Nano.” Suara Ibra yang serak-serak basah itu membuat Rara terlonjak dari lamunan gilanya sendiri.

            “Ah, iya. Terima kasih untuk hari ini.” Rara langsung mengambil langkah seribu. Meninggalkan  Ibra yang masih berdiri di dekat gerbang berbicara dengan Pak Nano—si satpam. Rasanya dia mau melayang. Bahkan Ibra sudah hapal namaku. Yah, mengingat beberapa kali kami  memang sudah bertemu. Rara kembali berucap dalam hati sambil tersenyum sendiri.

~*~

            “Hoi! Dari tadi senyum-senyum sendiri.” Nina menyenggol bahu Rara.

            Aneh saja, bukankah sejak masuk ke kelas, Rara mendapat teguran dari Bu Indah? Bahkan mendapat hukuman karena ini kali kedua dia terlambat pada pelajaran Matematika. Yup, pada sesi jam pertama dia harus berdiri di depan kelas.

            “Pokoknya hari ini aku sungguh beruntung.” Rara memamerkan senyumnya yang manis.

            “Hah?!” Nina mengernyitkan dahi, “Ditegur Bu Indah dan di strap di depan kelas itu hari keberuntungan?”

            “Bukan!” Rara menggelengkan kepala, “Bukan karena itu, tap—,” belum sempat Rara melanjutkan ucapannya, suara Bu Indah membuat Rara menunduk yang juga diikuti Nina. Mereka saling sikut. Namun, beberapa detik kemudian mereka tertawa cekikikan. Tentu tanpa sepengetahuan Bu Indah. Kalau ketahuan bisa dapat hukuman lagi.

            “Jadi kenapa sedari tadi kamu senyum tidak jelas gitu?” Nina menodong pertanyaan begitu jam kedua dari Bu Indah selesai. Mereka terlihat senang karena baru saja diberitahukan kalau pelajaran ketiga hari ini kosong.

            “Itu karena ...,” Rara menggantung ucapannya. Tatapan yang dimiliki kini terpaku pada sosok  Ibra yang berjalan menuju perpustakaan.  Nina yang penasaran memincingkan mata mengikuti ke mana arah pandangan Rara.

            “Ibra?”  Nina tidak percaya. Bagaimana mungkin?

            Rara mengangguk. Ibra di matanya sosok  itu sungguh luar biasa. Selalu baik hati dan murah senyum. Apalagi jika menatap sepasang mata cokelatnya itu.  Mata itu sungguh teduh, dan membuat Rara betah menatapnya dalam kurun waktu yang lama. Sayangnya, Ibra tidak satu kelas dengan Rara. Dia hanya bisa memerhatikan Ibra kalau kebetulan melihat atau berpapasan dan bertemu di tempat rahasia mereka. Ups!

            “Malah melamun!” Nina menyenggol Rara. “Ke kantikn, yuk.” Nina tanpa menunggu persetujuan Rara langsung mengapit tangan teman sebangkunya itu. Padahal Rara masih ingin berlama-lama melihat Ibra. Pertemuan yang tidak disengaja seminggu  yang lalu sedikit banyak membuat Rara selalu memikirkan  Ibra—cowok bermata cokelat itu.

~*~

             Seminggu yang lalu, Rara tengah asyik membaca novel Ilana Tan di bangku taman sekolah. Dia sedang malas ke kantin dan memilih menghabiskan waktunya di bawah pohon akasia sambil membaca. Saat sedang asyik membaca dia dikagetkan dengan suara langkah kaki yang mendekat ke arahnya. Dan Rara lebih kaget lagi ketika mendongkakan kepala. Dia  melihat sosok bermata cokelat yang membuatnya terpana. Orang itu memamerkan senyum yang sungguh manis.

            Rara memerhatikannya dengan saksama. Cowok itu  memakai seragam seperti dirinya. Tapi siapa orang itu? Rara bertanya-tanya.  Karena sebelumnya dia belum pernah melihat cowok itu. Atau karena dia yang murid baru sehingga masih kurang informasi? Entahlah.

            Cowok itu dengan santainya duduk di sebelah Rara. “Ibra. Kelas XII IPA.” cowok itu mengenalkan diri, seolah memahami tatapan aneh dari Rara.

            Rara menganggukkan kepala, lalu teringat dengan kasak-kusuk teman-teman sekelasnya tentang kakak kelas yang katanya cukup tampan dan masih mudah. Rara tersenyum sendiri, sepertinya ucapan mereka benar. Ibra memang memiliki wajah tampan dan senyum yang menawan. Rara diam-diam menatap  Ibra. Memerhatikan rambut hitamnya yang ikal, alis mata yang cukup tebal, bulu mata yang lentik, lalu mata cokelatnya dan hidung yang lebih mancung dari dirinya.  Rara berdecak dalam hati, kakak kelasnya itu sungguh ciptaan Tuhan yang luar biasa.

            “Namamu?” Rara menelan ludah mendengar suara serak-serak basah itu.

            “Rara, XI IPA.” Rara mencoba mengontrol perasaannya yang tengah melayang ke mana-mana.

            Dan sejak hari itu,  taman sekolah itu menjadi tempat favorit Rara.

~*~
            “Ra!” panggilan Nina tidak dijawab. Rara tenggelam dalam lamunannya sendiri. mengabaikan kantin yang saat ini sudah penuh sesak. Karena sebal, Nini kembali menyenggol siku Rara, hingga si empunya  terkesiap. Rara mendelik, Nina tersenyum puas.
            “Ya, habis ..., dipanggil dari tadi tidak mau jawab. Mikirin apa, sih?” Ninia bertanya sambil menyerutup es campur kesukaannya.

            “Ye ..., mau tahu aja, sih, Nin.” Rara tersenyum penuh misteri. Dia memasukkan satu sendok bakso ke mulutnya. Pesanan yang tadi diabaikan kini sudah dinikmati.

            “Alah ..., paling juga  Ibra. Iya, kan?” Nina mengerling. Rara hampir tersedak.

            “Dari pagi, cuma  Ibra yang kamu bicarakan.” Nina tidak peduli dengan muka Rara jadi bersemu merah itu.

            “Jangan-jangan, kamu suka Ibra, ya? Bagaimana bisa?”

            Rara melotot, menyuruh Nina memelankan suaranya. Teman sebangkunya itu sungguh reseh.
            Rara sendiri tidak tahu dengan perasaannya pada cowok bermata cokelat itu. Dia hanya merasa nyaman dan nyambung jika mengobrol. Ibra juga sangat baik.  Dan perasaan itu tumbuh dengan sendirinya tanpa bisa dicegah.
           
            “Ra ..., lebih baik kamu melupakan Ibra, deh.” Suara Nina yang terdengar hati-hati itu membuat Rara bertanya-tanya.

            Kenapa dia harus? Apakah Nina juga menyukai Ibra? Rara menatap Nina dengan pandangan yang sulit diartikan.

            “Bukan aku bermaksud mencampuri urusanmu. Sungguh bukan,” Nina menggelengkan kepala. Menarik napas sebentar dan kembali memerhatikan Rara. “Ah, bagaimana aku mengatakannya?” Nina memegang kepalanya. Rara mengernyitkan dahi.

            “Apa kamu juga suka  Ibra?” pertanyaan itu akhirnya muncul juga. Nina menutup mulut. Menarik napas sebentar lalu menggeleng pelan.

            “Nah, tidak ada masalah, kan? Aku tetap menyukainya.” Rara tersenyum riang.  “Nanti kalau aku berhasil mengajak dia keluar, kamu bisa sekalian ajak pacar kamu yang katanya mau kamu kenalkan?

            Nina hanya bisa menatap sedih dan bingung. Entah bagaimana dia harus menjelaskan kalau Ibra itu pacaranya.

            Srobyong, 18 September 2015-8 November 2016 

No comments:

Post a Comment