Dimuat di Solo Pos, Minggu 4 Maret 2018
Ratnani
Latifah
Berburu
kinjeng adalah satu kegiatan yang paling sering Nana lakukan ketika
pulang sekolah atau liburan. Seperti hari ini, Nana sudah siap untuk berburu kinjeng.
Serangga yang bentuknya cantik seperti kupu-kupu. Hanya saja kinjeng ini
lebih kecil dengan tubuh lacip dan runcing. Kalau dalam bahasa Indonesia, kinjeng
ini disebut capung. Dia sudah membuat janji dengan Tutik untuk
berburu kinjeng bersama.
“Pamit
dulu, Bu. Mau berburu kinjeng. Assalamu’alaikum.” Pamit Nana. Dia
bersiap akan ke rumah Tutik.
“Wa’alaikum
salam. Hati-hati, Na. Tapi ingat pesan ibu, ya, Na.” Ibunya menatap Nana penuh
pengertian.
“Siap,
Bu. Nana ingat, kok!” Nana tersenyum. Setelah itu dia meraih sepedanya tidak
lupa satu alat yang tidak mungkin dia tinggalkan kalau ingin berburu kinjeng.
Saat
ingin berburu kinjeng, Nana selalu siap dengan aqua gelas atau botol apa
saja yang dilubangi kecil untuk memasukkan gagang kayu untuk pegangan. Lalu
satu wadah lagi sebagai tempat menyimpan kinjeng. Tapi kadang dia juga berburu langsung dengan memakai
tangan. Dia akan membentuk capit dengan
ibu jari dan jari telunjuk.
Sesampainya
di rumah Tutik, ternyata sahabatnya itu sudah menunggu dengan alat yang
lengkap. Dua siswi kelas lima sekolah
dasar itu, langsung menunju tanah luas yang cukup rimbun dengan tanaman hijau, di belakang masjid. Di sana banyak sekali kinjeng
yang beterbangan ke sana- kemari.
Tanpa
diberi komando, Nana dan Tutik langsung mulai berburu kinjeng. Mereka seperti
sudah punya aturan sendiri. Siapa yang paling cepat mengumpulkan kinjeng dalam
wadah mereka, maka dialah pemenangnya.
Namun baru beberapa menit, Tutik
sudah mulai ribut. “Yah ... kinjeng-nya lepas.”
Teriakan Tutik histeri, yang
langsung membuat Nana kaget dan kinjeng yang hampir dia tangkap akhirnya
berhasil lolos.
Nana langsung memberi isarat pada
temannya itu untuk jangan berisik. Dalam berburu kinjeng konsentrasi
memang sangat dibutuhkan. Karena kinjeng itu sangat peka dan tidak mudah
tertangkap.
“Aduh ... gagal lagi.” Tutik
kembali berisik. Gadis berkucir dua itu,
menyibak semak-semak, mengejar kinjeng
emas atau capung berwarna emas, yang
tadi hampir dia tangkap.
Dan satu detik kemudian dia
langsung berseru lebih keras. “Akhirnya dapat juga. Na, lihat aku dapat kinjeng
emas.” Tutik mengacungkan tangannya dengan bangga.
“Wah ... hebat, kamu Tut. Mana
lihat.” Nana ikut bersemangat.
Kedua gadis kecil itu menatap kinjeng
dengan warna kemerahan itu dengan takjub.
“Eh, tapi kenapa tadi ribut banget
sih. Aku jadi nggak konsertasi tahu,” protes Nana.
“Maaf. Habis aku semangat banget
ingin mendapat kinjeng emas. Jadi sedari tadi aku sengaja fokus
memburunya.” Tutik tersenyum lebar.
“Memang kenapa harus kinjeng
emas? Biasanya kan kita menangkap kinjeng apa saja.” Nana menatap
bingung ke arah Tutik.
“Kinjeng trasi, kinjeng
dom, kinjeng emas, kinjeng macan.”[1] Nana menyebut beberapa jenis kinjeng yang ada
di sana.
“Aku belum bilang, ya. Aku
bermaksud mau memelihara kinjeng emas, jika hari ini berhasil
menangkapnya. Pasti seru sekali punya kinjeng di rumah. Jadi aku akan
puas melihatnya tumbuh dan mungkin beranak. Aku sudah menangkap dua. Meski aku
tidak tahu nana yang jantan dan betina.” Tutik terawa polos.
“Apa? Kau mau memelihara kinjeng?”
Nana nampak kaget dengan cerita Tutik.
“Iya, aku sudah meminta izin ibu
tadi. Kenapa Na? Kelihatannya kamu tidak suka. Kalau mau memelihara juga, tidak
apa-apa. Aku bantu menangkap kinjeng emas juga.”
Nana menggeleng. “Bukan begitu,
Tut.” Nana menatap beberapa kinjeng yang masih ada di aqua gelas yang
kemudian dia lepaskan.
“Aku tidak ingin memelihara kinjeng,
Tut. Aku sudah cukup senang seperti ini. berburu kinjeng, menangkapnya
lalu melihat mereka lebih dekat dan kemudian melepasnya.” Nana duduk di
rerumputan.
“Ibu bilang aku tidak boleh
menyakiti binatang. Meski aku sering berburu kinjeng, aku harus
mengembalikanya ke alam. Karena itulah rumah terbaik bagi kinjeng.” Nana
menarik napas sebentar.
“Kamu pasti tidak senang jika
dikurung, bukan? Tidak mau hidup terpisah dengan keluarga? Nah, begitu pula kinjeng.
Dia tidak mau dikurung.”
Mendengar ucapan Nana, seketika
Tutik langsung melepaskan dua kinjeng emas yang tadi dia tangkap.
“Nggak jadi, deh. Makasih ya, Na.
Sudah diingatkan. Kita berburu kinjeng saja, kalau ingin melihat kinjeng.”
Tutik berucap dengan tawa lebar, membuat Nana ikut tertawa.
Srobyong, 18 Februari 2018
[1] capung berwarna abu-abu, capung
yang bentuknya menyerupai jarum, capung yang berwarna emas, capung dengan bintik-bintik di tubuhnya.
Ceritanya sederhana namun punya pesan yang mengena. Keren banget, Mbak.
ReplyDeleteTerima kasih Mas Adin ^_^
Deletecerita yang mendidik dan bahasa yang ringan untuk anak-anak. nice^_^
ReplyDeleteTerima kasih Mbak ^_^
DeleteAkhirnya dipost jugaaa. Matur suwun, mbak. As always, selalu menarik dan ada pengajarannya. Jadi tau sebutan capung2 di sana . Selama ini taunya capung jarum (itu pun di sini jarang nemu karena biasanya adanya di pinggir sungai), capung cabe (warna merah), sama capung kecap (warna kecoklatan padahal kecap warnanya hitam :v)
ReplyDeleteIya Mbak, gantian sama yang lain, baru ini :).
DeleteIya di sini disebut kinjeng. Dan banyak macamnya, hehh :) Terima kasih sudah mampir Mbak Leli