Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 18 Maret 2018
Judul : (im) Perfect Serenade : Love in
Verona
Penulis :
Irene Dyah
Penerbit : Gramedia
Cetakan : Pertama, September 2017
Tebal : 244 halaman
ISBN : 978-602-03-6104-8
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam
Nahdlatul Ulama Jepara
Mengambil tema pernikahan, novel ini memaparkan
tentang kisah sepasang suami istri yang tengah mengalami dilema rumah tangga
yang sudah dibangun selama enam tahun. Kehidupan rumah tangga mereka awalnya begitu sempurna hingga sebuah badai
menjungkirbalikkan semua.
“Semua wanita mengharapkan kisah cinta sempurna,
pasangan yang tanpa cacat, kehidupan yang happy ever after tanpa perjuangan
setitik pun. Mana bisa? Perjalanan hidup kita kan bukan cerita film atau novel.
Kita tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan.”
(hal 59).
Bansar adalah tipe suami yang tidak romantis dan apa
adanya. Namun siapa sangka dia memiliki affair dengan Ayang—sekretaris
pribadinya. Kenyataan itu tentu saja membuat Serenade merasa dikhianati. Hal itulah yang membuat Serenade Sukmah yang
awalnya menolak project Wisata
Kota Cinta ke Verona, akhirnya dia terima.
Setidaknya kepergiannya itu bisa membuat dia relax untuk
sementara—melupakan sejenak masalah rumah tangganya. Selain itu, dia juga bisa mulai melakukan riset untuk novel
terbarunya.
Selama di Verona Seren menjadi sekretaris di Juliet
Club—sebuah tempat yang menerima surat cinta atau surat apa saja dari berbagai
negeri. Bersama Giovanna dan Saima, mereka saling membantu dan bekerjasama.
Keadaan baru di sana benar-benar membuat Serenade sedikit melupakan beban
kehidupannya di Indonesia. Dia menikmati setiap jengkal kesempatan yang dia
miliki selama di Verona.
Hingga kehadiran Aris Zanetti—penulis asal Verona,
membuat Serenade merasakan sesuatu yang selama ini mulai terasa hambar.
Manisnya perhatian dan kehangatan dari seorang pria. Di sinilah keadaan mulai
pelik. Di satu sisi Seren merasa
bersalah—karena bagaimana pun statusnya masih sebagai seorang istri. Di sisi
lain dia juga masih menyimpan kemarahan akibat ulah Bansar. Jika suaminya itu
berani selingkuh dengan wanita lain, kenapa dia tidak boleh?
Selain mengalami dilema tentang masalah rumah
tangganya, dia juga harus memilih antara memperpanjang kunjungannya di Verona
atau kembali ke Indonesia. Bagaimana pun melakukan setting di Verona adalah
kesempatan yang langkah. Akhirnya Seren pun mencoba menghubungi Bansar untuk
meminta izin. Namun yang mengejutkan tiba-tiba pria itu sudah berada di
Verona dengan sebuah misi (hal 154).
“Setiap perjalanan pasti butuh kata pulang. Dan
pulang bagimu, di dunia ini, adalah kembali kepadaku. Kepada rumah kita, dan
semua yang kita bangun enam tahun terakhir.” (hal 132).
Lalu bagaimana tanggapan Seren? Akankan dia menerima
ajakan Bansar atau tetap memilih di Verona dengan segala sesuatu yang baru?
Dengan eksekusi yang apik penulis mampu menyihir kita, membuat kita penasaran
bagaimana akhir kisah ini. Karena selalu ada kejutan-kejutan kejadian yang
tidak terduga juga membuat kita belajar berbagai permasalahan hidup.
Seperti kisah hidup Giovanna yang selama ini terpaku
dengan masa lalu atau kehidupan Saima yang unik. Semua memberi kesan dan
semakin menambah keseruan novel ini. Selain itu ada pula kisah dari pengirim
surat misterius yang membuat Seren merenungi berbagai cobaan hidupnya. “Setiap
orang memiliki perjuangan perangnya sendiri-sendiri. Dan kita semua punya
pilihan cara untuk memenangi perang itu.” (hal 116-117).
Nilai tambah lainnya dari novel ini adalah kita bisa
menikmati keindahan Verona dan Tanah Rencong. Bahasanya yang renyah dan gurih,
membuat kita tidak bosan saat membaca. Meski ada sedikit kesalahan tulis, hal
itu tidak mengurangi kenikmatan saat membaca.
Dari novel ini saya belajar bahwa perlu adanya
komunikasi antara pasangan agar bisa menyelesaikan masalah. Dan dalam menghadapi masalah kita tidak boleh
mudah menyerah. Kita harus bangkit lagi dan tidak boleh terjebak masa
lalu. “Berhenti menghujat diri
sendiri, kamu mesti bangkit mengatasi
masalah, dengan rasa percaya diri.” (hal 98).
Kita pasti tahu bahwa di dunia ini tidak ada orang
yang sempurna—baik laki-laki atau perempuan—oleh karenanya ketika pria dan
wanita membangun biduk rumah tangga, bukan kesempurnaan yang perlu dicari tapi
saling melengkapi untuk membangun pondasi yang kokoh. Dalam bidik rumah tangga selalu
ada suka dan duka, kadang tenang kadang bergelombang, tinggal bagaimana
menyikapi dan menyelesaikannya dengan kepala dingin.
Srobyong, 16 Februari 2018
No comments:
Post a Comment