Dimuat di Padang Ekspres, Minggu 4 Maret 2018
Judul : Gentayangan
Penulis : Intan Paramaditha
Penerbit : Gramedia
Cetakan : Pertama,Oktober 2017
Tebal : 512 halaman
ISBN : 978-602-03-7772-8
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas
Islam Nahdlatul Ulama, Jepara
“Jangan sembarangan menerima pemberian, demikian
nasihat orangg-orang tua dulu, tapi kau terlanjur meminta paket itu : hadiah
sekaligus kutukan. Iblis Kekasih memberimu sepasang sepatu merah.”
(hal 1).
Dibuka dengan prolog yang menarik sudah menjadi daya
tarik tersendiri dari novel ini. Sudut padang
orang kedua yang dipilih penulis dalam bercerita, juga memiliki kekuatan
magic dalam menyihir pembaca untuk terus melanjutkan setiap jalinan
cerita. Lalu yang menarik lagi judul dari novel ini sendiri—Gentayang—namun tak
ada sangkut pautnya dengan kisah horor, meski menyebut-nyebut perjanjian dengan
iblis—karena dalam novel ini kata gentayangan lebih pada
petualangan-petualangan seru yang mendebarkan dengan balutan berbagai aspek
kehidupan.
Berkisah tentang seorang perempuan berusia 28
tahun—tokoh kau—yang merasa bosan dengan kehidupannya yang dirasa sangat
monoton. Dia ingin memiliki kehidupan
yang luar biasa, yang tidak sama dengan kakak atau teman-temannya. Hidup yang
hanya menjadi miliknya. Di sinilah campur tangan Iblis Kekasih menjadi awal
mula petualangan perempuan itu. Dia sudah diperingatkan bahwa tidak baik
menerima pemberian orang lain yang belum dikenal baik. Namun dia tetap menerima
sepatu merah, tanpa membaca surat yang terselip atau surat kontrak—yang
ternyata menjelaskan tentang sepatu itu
konon memiliki kutukan.
Petualangannya sendiri dimulai dari kepergiannya
dari New York. Tempat yang sejujurnya sudah dia impikan sejak dulu untuk
dikunjungi. Meski sempat bingung dengan perubahan keadaan yang begitu
tiba-tiba—mengingat dia tiba-tiba sudah terbangun dan berada di taksi menuju
bandara John F. Kennedy, sedang dia
tidak ingat kapan dia sampai di New York. Tapi yang lebih membuatnya kaget
adalah ketika dia menyadari bahwa sebelah sepatu merahnya tidak ada. Dari kisah
ini kita akan ditemukan kembali dengan jalinan cerita yang unik tidak biasa.
Karena dari kisah pertama ini, kita akan diberi pilihan tiga cerita; kembali ke
Now York dan melupakan perjalananmu, melaporkan hilangnya sepatunya atau
melanjutkan perjalanan ke Berlin (hal 20).
Penulis memberi kebebasan pembaca untuk membaca
bagian mana saja yang disukai. Kita bebas memilih akhir dari setiap cerita. Tidak
ada aturan mutlak harus membaca secara urut. Di sini kita benar-benar bebas
bereksperimen cara membaca novel yang asyik menurut kita sendiri. Dari tiga
pilihan yang ditawarkan Intan sebagai permulaan, kita akan dipertemukan dengan
kisah-kisah lain yang ternyata memiliki benang merah dan perjalanan itu. Dengan gaya bahasa penulis yang rapi dan
memikat, akan membuat kita terus merasa haus dan penasaran dengan
petualangan-petualangan yang ditawarkan penulis hingga akhir. Kita akan dibuat
bertanya-tanya tentang bagaimana petualangan-petualangan tokoh kau dan takdir
dari kutukan yang dibawa sepatu merah.
Petualangan dari gadis bersepatu merah ini tidak
hanya membawa kita menjejakkan kaki di New York, tapi ada juga perjalanan ke
Berlin, Los Angeles, Amsterdam,
perbatasan Tijuana dan lain-lain . Dan selain itu gentayangan di sini
tidak melulu tentang pergi ke luar negeri tapi bisa juga gentayangan itu
berlokasi di gereja di Hearleem, masjid
di Jakarta, taksi pengap atau kereta yang tak mau berhenti dan banyak lagi.
Terlepas dari masalah teknik bercerita penulis yang
tidak biasa ini. Melalui kisah ini penulis menawarkan kisah berbalut kritik
sosial yang cukup kental. Semisal
tentang kerusuhan Mei 1998, penculikan aktivis tahun 1997/1998 hingga gerakan
G30S/PKI. Ada juga kritik agama yang kerap menjadi perdebatan panjang di negara
ini setiap tahunnya, serta lemahnya masalah hukum.
“Di negerimu, orang menculik manusia sungguhan,
bukan kurcaci kebun. Mereka hilang tanpa pernah
ketemu, dan banyak penculik tak pernah dihukum.”
(hal 91).
Sebuah novel yang tidak biasa. Dalam novel ini saya
masih merasakan unsur feminisme dan
dongeng yang cukup melekat seperti buku sebelumnya—Sihir Perempuan. Meski
pada keunikan yang ditawarkan—tentang pilihan ending—juga memiliki dampak
membosankan, karena kita kerap harus mengulang kisah-kisah ketika menyambungkan
isinya agar tidak melupakan kisah sebelumnya. Namun lepas dari kekurangannya,
novel ini cukup menarik untuk diikuti. Di sini kita belajar untuk saling menghormati
baik kepada siapa saja.
Srobyong, 22 Februari 2018
menurut saya bahasa novelnya agak susah kayaknya. tapi ada nilai-nilai kehidupan yang bikin novel ini menarik untuk dibaca.
ReplyDeleteIya memang, baca novel ini harus sabar, tapi tetap saja ada bagian-bagian yang bikin penasaran
Delete