Tuesday, 6 March 2018

[Resensi] Petualangan Gadis Bersepatu Merah

Dimuat di Padang Ekspres, Minggu 4 Maret 2018



Judul               : Gentayangan
Penulis             : Intan Paramaditha
Penerbit           : Gramedia
Cetakan           : Pertama,Oktober  2017
Tebal               : 512 halaman
ISBN               : 978-602-03-7772-8
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

“Jangan sembarangan menerima pemberian, demikian nasihat orangg-orang tua dulu, tapi kau terlanjur meminta paket itu : hadiah sekaligus kutukan. Iblis Kekasih memberimu sepasang sepatu merah.” (hal 1).

Dibuka dengan prolog yang menarik sudah menjadi daya tarik tersendiri dari novel ini. Sudut padang  orang kedua yang dipilih penulis dalam bercerita, juga memiliki kekuatan magic dalam menyihir pembaca untuk terus melanjutkan setiap jalinan cerita. Lalu yang menarik lagi judul dari novel ini sendiri—Gentayang—namun tak ada sangkut pautnya dengan kisah horor, meski menyebut-nyebut perjanjian dengan iblis—karena dalam novel ini kata gentayangan lebih pada petualangan-petualangan seru yang mendebarkan dengan balutan berbagai aspek kehidupan.

Berkisah tentang seorang perempuan berusia 28 tahun—tokoh kau—yang merasa bosan dengan kehidupannya yang dirasa sangat monoton.  Dia ingin memiliki kehidupan yang luar biasa, yang tidak sama dengan kakak atau teman-temannya. Hidup yang hanya menjadi miliknya. Di sinilah campur tangan Iblis Kekasih menjadi awal mula petualangan perempuan itu. Dia sudah diperingatkan bahwa tidak baik menerima pemberian orang lain yang belum dikenal baik. Namun dia tetap menerima sepatu merah, tanpa membaca surat yang terselip atau surat kontrak—yang ternyata menjelaskan tentang  sepatu itu konon memiliki kutukan.

Petualangannya sendiri dimulai dari kepergiannya dari New York. Tempat yang sejujurnya sudah dia impikan sejak dulu untuk dikunjungi. Meski sempat bingung dengan perubahan keadaan yang begitu tiba-tiba—mengingat dia tiba-tiba sudah terbangun dan berada di taksi menuju bandara John F.  Kennedy, sedang dia tidak ingat kapan dia sampai di New York. Tapi yang lebih membuatnya kaget adalah ketika dia menyadari bahwa sebelah sepatu merahnya tidak ada. Dari kisah ini kita akan ditemukan kembali dengan jalinan cerita yang unik tidak biasa. Karena dari kisah pertama ini, kita akan diberi pilihan tiga cerita; kembali ke Now York dan melupakan perjalananmu, melaporkan hilangnya sepatunya atau melanjutkan perjalanan ke Berlin (hal 20).

Penulis memberi kebebasan pembaca untuk membaca bagian mana saja yang disukai. Kita bebas memilih akhir dari setiap cerita. Tidak ada aturan mutlak harus membaca secara urut. Di sini kita benar-benar bebas bereksperimen cara membaca novel yang asyik menurut kita sendiri. Dari tiga pilihan yang ditawarkan Intan sebagai permulaan, kita akan dipertemukan dengan kisah-kisah lain yang ternyata memiliki benang merah dan perjalanan itu.  Dengan gaya bahasa penulis yang rapi dan memikat, akan membuat kita terus merasa haus dan penasaran dengan petualangan-petualangan yang ditawarkan penulis hingga akhir. Kita akan dibuat bertanya-tanya tentang bagaimana petualangan-petualangan tokoh kau dan takdir dari kutukan yang dibawa sepatu merah.

Petualangan dari gadis bersepatu merah ini tidak hanya membawa kita menjejakkan kaki di New York, tapi ada juga perjalanan ke Berlin, Los Angeles, Amsterdam,  perbatasan Tijuana dan lain-lain . Dan selain itu gentayangan di sini tidak melulu tentang pergi ke luar negeri tapi bisa juga gentayangan itu berlokasi di gereja di Hearleem,  masjid di Jakarta, taksi pengap atau kereta yang tak mau berhenti dan banyak lagi.

Terlepas dari masalah teknik bercerita penulis yang tidak biasa ini. Melalui kisah ini penulis menawarkan kisah berbalut kritik sosial yang cukup kental.  Semisal tentang kerusuhan Mei 1998, penculikan aktivis tahun 1997/1998 hingga gerakan G30S/PKI. Ada juga kritik agama yang kerap menjadi perdebatan panjang di negara ini setiap tahunnya, serta lemahnya masalah hukum.

“Di negerimu, orang menculik manusia sungguhan, bukan kurcaci kebun. Mereka hilang tanpa pernah  ketemu, dan banyak penculik tak pernah dihukum.” (hal 91).

Sebuah novel yang tidak biasa. Dalam novel ini saya masih merasakan unsur feminisme dan  dongeng yang cukup melekat seperti buku sebelumnya—Sihir Perempuan. Meski pada keunikan yang ditawarkan—tentang pilihan ending—juga memiliki dampak membosankan, karena kita kerap harus mengulang kisah-kisah ketika menyambungkan isinya agar tidak melupakan kisah sebelumnya. Namun lepas dari kekurangannya, novel ini cukup menarik untuk diikuti.  Di sini kita belajar untuk saling menghormati baik kepada siapa saja.

Srobyong, 22 Februari 2018 

2 comments:

  1. menurut saya bahasa novelnya agak susah kayaknya. tapi ada nilai-nilai kehidupan yang bikin novel ini menarik untuk dibaca.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya memang, baca novel ini harus sabar, tapi tetap saja ada bagian-bagian yang bikin penasaran

      Delete