Tuesday 27 March 2018

[Resensi] Mengajarkan Cara Mencintai Sesuai Aturan Tuhan

Dimuat di Koran Pantura, Selasa 13 Maret 2018


Judul               : Cinta dalam Ikhlas
Penulis             : Kang Abay
Penerbit           : Bentang Pustaka
Terbit               : Pertama, Februari 2017
Cetakan           : Ketiga, April 2017
Tebal               : viii + 372 halaman
ISBN               : 978-602-291-364-1
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara.

“Mencintai adalah belajar mengikhlaskan, bukan belajar memiliki, karena yang kita cinta, sejatinya adalah milik Allah. Dan, akan disatukan, lalu dipisahkan atas izin dan rida-Nya. Ikhlas itu memerlukan proses yang terkadang sulit, tetapi kalau kita tidak berusaha untuk belajar ikhlas, hati kita akan menjadi sakit. Proses mengikhlaskan terutama di awal itu memang terasa susah, tetapi jika kita berhasil melakukannya, semuanya akan berakhir indah.” ((hal 151).

Novel ini memiliki nilai-nilai pembelajaran yang banyak. Ketika kita membacanya, kita diajak menyelami bagaimana memaknai hidup. Bagaimana menghadapi cobaan yang datang bertubi-tubi, juga memanage hati—mencintai sesuai aturan yang diajarkan Tuhan. Selain itu dari kisah ini, kita bisa belajar tentang pentingnya bersikap positif, selalu bersyukur, sabar dan tidak mudah menyerah. Sebuah buku yang sangat mencerahkan dan patut dibaca bagia siapa saja.

Kisahnya sendiri berpusat pada Bintang Atharisena Firdaus—yang lebih sering disapa Athar. Pada usia yang baru menginjak 5 tahun dia harus menerima takdirnya sebagai seorang anak  yatim.  Tidak lama kemudian, kakak yang sangat disayangi juga pulang ke rumah Allah. Berkali-kali ditinggal orang yang sangat dia sayang, telah menempanya menjadi sosok yang tegar. Dia tidak boleh larut dalam kesedihan. Karena hidup akan terus berjalan.

Dalam perjalanannya itu, siapa sangka Athar terjabak pada sebuah muara bernama cinta. Ketika dia memasuki masa SMA, dia bertemu dengan Aurora Cinta Purnama—atau kerap disapa Ara. Di sinilah tantangan Athar dalam menjaga hati (hal 18).   Dia sangat menyukai Ara, namun dia tahu kalau dirinya tidak boleh gegabah untuk menyatakan cinta. karena masing-masing dari mereka, masih memiliki jalan panjang untuk mengejar cita-cita.  

Sampai  akhirnya, ketika kelulusan tiba, Athar tidak tahan dan  memberanikan diri mengungkapkan perasaan itu kepada Ara. Namun jawaban yang dia terima sungguh mengejutkan. Di sini, Athar harus kembali belajar untuk mengikhlaskan.

“Cinta itu indah jika sejalan dengan fitrah. Dan, fitrahnya manusia adalah mengikuti gravitasi hati, dengan cara menerima dan mengikuti kehendak-Nya dengan hati rela tanpa terpaksa. Karena rencana-Nya adalah yang terindah. Karena pilihan-Nya yang terbaik.” (hal 152).

Athar pun menerima keputusan yang diberikan Ara. Meski sakit, dia mencoba menerima. Athar lalu menyibukkan diri  untuk masuk kuliah.  Dan lagi-lagi cobaan menyelimuti hidupnya. Selama di sekolah Athar selalu menjadi juara kelas, hal itu yang membuatnya yakin bisa lolos dalam seleksi di ITB. Namun ternyata Allah berkendah lain (hal 163).  Dia tidak lolos dan berakhir kuliah di Sekolah Bisnis di Bandung.

Namun berbagai kejadian itu tidak serta merta membuat Athar goyah. Dia berusaha mencintai apa yang menimpanya dengan ikhlas. Dan tanpa terasa waktu pun berlalu dengan cepat.  Athar sudah menjadi sosok dewasa yang ulet. Hal itu-lah yang akhirnya membuat Tari, sahabatnya saat kuliah, mengajukan proposal ta’aruf (hal 266). Lalu ada Pak Farhan—orang yang sangat berjasa dalam hidup Athar, yang memintanya untuk menikahi putri satu-satunya—Salsabila.

Athar sungguh bingung bagaimana menjelaskan kalau sebenarnya dalam lubuk hatinya dia masih menyimpan nama Ara dalam setiap doanya. Meski dia sama sekali tidak tahu bagaimana kabar Ara. Bahkan bisa jadi Ara sudah menikah.  Hingga akhirnya sebuah kejadian membuat Athar membuat pilihan yang tidak terduga.

Sebuah novel yang menggugah. Banyak motivasi-motivasi positif yang bisa kita petik. Hanya saja, saya merasa ketika membaca novel ini, pemilihan sudut pandang orang pertama, tidak membuat tokoh hidup.  Ditambah lagi pemilihan gaya bahasa yang belum terlalu lentur.  Mungkin karena ini novel pertama, di mana sebelumnya penulis lebih banyak menulis buku motivasi, sehingga masih terbawa dalam menulis buku non-fiksi.

Namun lepas dari semua kekurangannya, novel ini memiliki sisi positif yang cukup banyak. Jadi sangat perlu dibaca bagi siapa saja yang ingin belajar cara mencintai apa pun yang dihadapi dengan ikhlas.

Srobyong, 16 Juli 2017 

No comments:

Post a Comment