Dimuat di Duta Masyarakat, Minggu 26 Maret 2017
Judul : Tanah Air Baru, Indonesia
Penulis : Hilde Janssen
Penerjemah : Meggy Soedajmiko
Penerbit : Gramedia
Cetakan : Pertama, November 2016
Tebal : 336 hlm
ISBN :
978-602-03-3541-4
Persensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul
Ulama. Jepara
Hilde Janssen adalah jurnalis dan ahli antropologi dari
Belanda. Tanpa sengaja dia menemukan
sebuah foto yang bertuliskan “Wanita-Wanita Belanda dalam Perjalanan menuju
Republika 1947” saat berkunjung menyaksikan eksposisi peringat “65 Tahun
Republik Indonesia”. Gambar itu terdiri
dari Miny sambil memegang ukulele dan Annie dalam perjalanan kereta api dari
pelabuhan Jakarta ke Yogyakarta, di perbatasan Kranji, Januari 1947. Di atara
mereka berdiri suami Annie—Djabir dan militer Belanda (hal 6).
Hal itu kemudian menumbuhkan rasa
penasaran pada Hilde yang menjadi latar belakang terbitnya buku ini. Hilde lalu mencari tahu siapa saja
wanita-wanita yang berada ada di foto dan alasan apa yang membuat mereka
mendatangi Indonesia di tengah kecamuk perang antara Indoenesi dan Belanda dan
kisruh politik yang penuh polemik.
Berbekal foto itu akhirnya Hilde bertemu dengan Dolly
Zegerius. Dan dari Dolly Hilde akhirnya mengenal keluarga Kobus—Miny, Annie dan
Betsy. Pada usia yang masih mudah mereka memilih Indonesia sebagai tanah air
baru dengan melakukan emigrasi pada tanggal 6
Desember 1946 dan sampai di pelabuhan Jakarta tanggal 1 Januari 1947
(hal 20).
Dolly menikah dengan Soetarjo Soerjosoemarno—dikenal
dengan nama Tarjo yang masih keturan ningrat kesultanan Mangkunegara di
Solo. Mereka bertemu saat Tarjo
menyelesaikan pendidikan topografi di Sekolah Tinggi Teknik di Delft (hal 43).
Sedang tiga saudara Kobus itu menikah dengan laki-laki pribumi biasa. Miny
menikah dengan Amarie—kelasi kelas barang,
Annie dengan Djabir—pekerja asal Madura dan Betsy dengan Djoemiran—buruh
pelabuhan di Belanda.
Sebelum mereka memutuskan ber-emigrasi,
di Belanda mereka juga tengah kisruh pasukan Jerman yang meringkus semua
keturuan Yahudi di Belanda—termasuk ayah Dolly yang merupakan keturunan
Yahudi. Tapi meski akhirnya kisuruh
selesai Dolly tetap memilik ber-emigrasi ke Indonesia, meski tahu di sana
tengah ada polemik yang rumit. Begitupula tiga saudara Kobus. Ketika mereka
memutuskan menikah dengan para pribumi, mereka akan ikut dengan suami mereka.
Di Indonesia sendiri, ternyata hidup
mereka tidak bisa dibilang menyenangkan. Mereka mengalami banyak kejadian
pasang surut dan melihat dengan mata kepala sendiri tentang pergolakan kisruh
politik dan usaha pemerintah dalam mempertahankan kemeredekaan Indonesia. Belum lagi masalah penampilan mereka yang
kadang dianggap sebagai mata-mata Belanda.
Pada tanggal 21 Juli 1947 mereka
harus menyaksikan Agresi Militer I. Di mana Belanda telah mengingkari
perjanjian Linggarjati yang sudah disetujui di mana Belanda akan mengakuis
secara de facto kemerdekaan Indonesia. Jadilah keadaan Indonesia masih kacau balau.
Lalu Dolly dan tiga saudara Kobus juga harus terlibat pada Agresmi Militer II
pada tanggal 9 Desember 1048.
Mereka juga dihadapkan pada masalah pembebasan Irian Barat, gerakan
Gerakan 30 September—kudeta 1965. Pada saat itu terjadi pembantaian pada
keluarga Jendral Nasution di mana memakan korban putrinya—Ade Irma Suyani. Hal
ini tentu saja membuat Dolly sangat bersedih.
Sedang Miny sendiri harus menerima kenyataan suaminya, Nanang—suami
kedua setelah Miny bercerai dengan Amarie dijebloskan ke penjara—Nanang
dianggap sebagai tahanan politik kategori C. Nanang disinyalir ada hubungan dengan PKI. (hal 202).
Tidak hanya itu mereka juga
menyaksikan bagaimana jatuhnya Orde Lama, Timor-Timor dan peristiwa Mei 1988.
Namun begitu berbagai kejadian yang menjadi warna kehidupan mereka, tidak
menyurutkan rasa cinta mereka pada Indonesia.
Memang baik Annie, Betsy, Miny dan Dolly, mereka sempat diliputi
ketakutan dan kekhawatiran juga kekecewaan. Namun itu tidak mengubah bahwa
mereka tetap memilih Indonesia sebagai tanah air yang memberi banyak kisah.
Membaca novel ini, kita akan
mengetahui sejarah Indonesia dari kacamata perempuan Belanda. Dan semua perempuan itu sampai sekarang tetap
bertahan di Indonesia—tepatnya di Jakarta Selatan. Menikmati masa tua bersama
putra-putri dan cucu-cucu mereka. Diambil dari kisah nyata dan menggunakan
tutur bahasa yang renyah, novel ini
sangat menarik dan memikat.
Banyak pembelajaran hidup juga belajar memakian rasa cinta pada tanah
air.
Srobyong, 12 Maret 2017
ahhh aku penasaran dan pengen tahu itu 4 perempuan belanda sang pembuat sejarah, mbakk...
ReplyDeletebeneran, pengen tahu, hhee
HHhe, sok dibeli bukunya hehhh :D
Delete