Friday, 7 April 2017

[Resensi] Sejarah Indonesia di Mata Empat Perempuan Belanda

Dimuat di Duta Masyarakat, Minggu 26 Maret 2017 


Judul               : Tanah Air Baru, Indonesia
Penulis             : Hilde Janssen
Penerjemah      : Meggy Soedajmiko
Penerbit           : Gramedia
Cetakan           : Pertama, November 2016
Tebal               : 336 hlm
ISBN               : 978-602-03-3541-4
Persensi           : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama. Jepara

Hilde Janssen adalah  jurnalis dan ahli antropologi dari Belanda.  Tanpa sengaja dia menemukan sebuah foto yang bertuliskan “Wanita-Wanita Belanda dalam Perjalanan menuju Republika 1947” saat berkunjung menyaksikan eksposisi peringat “65 Tahun Republik Indonesia”.  Gambar itu terdiri dari Miny sambil memegang ukulele dan Annie dalam perjalanan kereta api dari pelabuhan Jakarta ke Yogyakarta, di perbatasan Kranji, Januari 1947. Di atara mereka berdiri suami Annie—Djabir dan militer Belanda (hal 6).

Hal itu kemudian menumbuhkan rasa penasaran pada Hilde yang menjadi latar belakang terbitnya buku ini.  Hilde lalu mencari tahu siapa saja wanita-wanita yang berada ada di foto dan alasan apa yang membuat mereka mendatangi Indonesia di tengah kecamuk perang antara Indoenesi dan Belanda dan kisruh politik yang penuh polemik.

Berbekal  foto itu akhirnya Hilde bertemu dengan Dolly Zegerius. Dan dari Dolly Hilde akhirnya mengenal keluarga Kobus—Miny, Annie dan Betsy. Pada usia yang masih mudah mereka memilih Indonesia sebagai tanah air baru dengan melakukan emigrasi pada tanggal 6  Desember 1946 dan sampai di pelabuhan Jakarta tanggal 1 Januari 1947 (hal 20).

Dolly menikah dengan Soetarjo Soerjosoemarno—dikenal dengan nama Tarjo yang masih keturan ningrat kesultanan Mangkunegara di Solo.  Mereka bertemu saat Tarjo menyelesaikan pendidikan topografi di Sekolah Tinggi Teknik di Delft (hal 43). Sedang tiga saudara Kobus itu menikah dengan laki-laki pribumi biasa. Miny menikah dengan Amarie—kelasi kelas barang,  Annie dengan Djabir—pekerja asal Madura dan Betsy dengan Djoemiran—buruh pelabuhan di Belanda.

Sebelum mereka memutuskan ber-emigrasi, di Belanda mereka juga tengah kisruh pasukan Jerman yang meringkus semua keturuan Yahudi di Belanda—termasuk ayah Dolly yang merupakan keturunan Yahudi.  Tapi meski akhirnya kisuruh selesai Dolly tetap memilik ber-emigrasi ke Indonesia, meski tahu di sana tengah ada polemik yang rumit. Begitupula tiga saudara Kobus. Ketika mereka memutuskan menikah dengan para pribumi, mereka akan ikut dengan suami mereka.  

Di Indonesia sendiri, ternyata hidup mereka tidak bisa dibilang menyenangkan. Mereka mengalami banyak kejadian pasang surut dan melihat dengan mata kepala sendiri tentang pergolakan kisruh politik dan usaha pemerintah dalam mempertahankan kemeredekaan Indonesia.  Belum lagi masalah penampilan mereka yang kadang dianggap sebagai mata-mata Belanda.

Pada tanggal 21 Juli 1947 mereka harus menyaksikan Agresi Militer I. Di mana Belanda telah mengingkari perjanjian Linggarjati yang sudah disetujui di mana Belanda akan mengakuis secara de facto kemerdekaan Indonesia.   Jadilah keadaan Indonesia masih kacau balau. Lalu Dolly dan tiga saudara Kobus juga harus terlibat pada Agresmi Militer II pada tanggal 9 Desember 1048.  

Mereka juga dihadapkan pada  masalah pembebasan Irian Barat, gerakan Gerakan 30 September—kudeta 1965. Pada saat itu terjadi pembantaian pada keluarga Jendral Nasution di mana memakan korban putrinya—Ade Irma Suyani. Hal ini tentu saja membuat Dolly sangat bersedih.  Sedang Miny sendiri harus menerima kenyataan suaminya, Nanang—suami kedua setelah Miny bercerai dengan Amarie dijebloskan ke penjara—Nanang dianggap sebagai tahanan politik kategori C. Nanang  disinyalir ada  hubungan dengan PKI.  (hal 202).

Tidak hanya itu mereka juga menyaksikan bagaimana jatuhnya Orde Lama, Timor-Timor dan peristiwa Mei 1988. Namun begitu berbagai kejadian yang menjadi warna kehidupan mereka, tidak menyurutkan rasa cinta mereka pada Indonesia.  Memang baik Annie, Betsy, Miny dan Dolly, mereka sempat diliputi ketakutan dan kekhawatiran juga kekecewaan. Namun itu tidak mengubah bahwa mereka tetap memilih Indonesia sebagai tanah air yang memberi banyak kisah.

Membaca novel ini, kita akan mengetahui sejarah Indonesia dari kacamata perempuan Belanda.  Dan semua perempuan itu sampai sekarang tetap bertahan di Indonesia—tepatnya di Jakarta Selatan. Menikmati masa tua bersama putra-putri dan cucu-cucu mereka. Diambil dari kisah nyata dan menggunakan tutur bahasa yang renyah, novel ini  sangat menarik dan memikat.  Banyak pembelajaran hidup juga belajar memakian rasa cinta pada tanah air.

Srobyong, 12 Maret 2017 

2 comments:

  1. ahhh aku penasaran dan pengen tahu itu 4 perempuan belanda sang pembuat sejarah, mbakk...
    beneran, pengen tahu, hhee

    ReplyDelete