Dimuat di Koran Pantura, Rabu 22 Februari 2017
Judul : Drunken Mosnter
Penulis : Pidi Baiq
Penerbit : Pastel Books
Cetekan : 1V, Agustus 2015
Halaman : 292 hlm
ISBN :
978-602-7870-67-3
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama,
Jepara.
Sastra bisa dikatakan sebagai seni berbahasa. Di
mana penulis memiliki kekuatan untuk mengolah kata—dipanjangkan, dipadatkan,
didalamkan, dibelitkan, diperhalus atau diganjilkan. Semua tergantung pada gaya
bahasa penulis masing-masing.
Ada penulis yang memakai gaya bahasa lugas dalam bercerita—langsung
pada poinnya. Ada juga yang memakai gaya bahasa puitis dan berat. Maka berbeda
dengan Pidi Baiq, dia adalah penulis yang memiliki gaya bahasa unik,
ceplas-ceplos, tanpa struktur, bahkan kadang terasa sentilannya sepedan cabe
rawit. Namun tentu saja di balik gaya
bahasanya yang bisa dibilang ‘semau gue’ dalam karya-karyanya, termaktub banyak
inspirasi yang bisa diteguk.
Prof. Dr. Bambang Sugiharto berkata, “Ini buku berbahaya.
Kalimatnya pendek-pendek tanpa struktur, selain merusak kesehatan bahasa
Indonesia, juga kerap berlompatan, berletupan, bagai petasan cabe rawit, mudah
menyengat dan merusak saraf-tawa.” (hal 5).
Drunken Moster,
merupakan salah satu buku karya penulis yang sudah dicetak beberapa kali. Merupakan
catatan harian Pidi Baiq yang diceritakan dengan gaya bahasa bebas dan kocak. Dalam
kata pengantar yang dipaparkan Dr. Yasraf Amir Piliang “Selama ini,
kebudayaan kita memingkirkan segala yang dianggap banal, tak-penting,
tak-signifikan, tal-logis, buruk, janggal, atau sumbang. Semua dianggap sebagai
“ekses kebudayaab” atau noise peradaban. Akan “terpingkirkan” dari kebudayaan
itu—yang abnormal, tak-logis, jelek, chaotic, iseng, aneh dan buruk—justru
adalah air mata dari pengalaman estestis yang baru.” (hal 7).
Buku ini mengajak pembaca keluar dari normalitas kebudayaan. Sebagaimana
dalam kisah bertajuk “Air Lembang Panas”. Penulis menawarkan kisah kocak yang
membuat pembaca mengulum senyum. Namun di balik kekonyolan kisah itu ada pesan
tersirat yang bisa diambil pelajaran. Bahwa sebagai manusia, kita tidak boleh
melihat seseorang berdasarkan covernya saja (hal 37).
Atau dalam cerita “Drunken Moster” pembaca diingatkan tentang
pentingnya komunikasi dalam sebuah hubungan rumah tangga. Tidak ketinggalan
adalah pentingnya ucapan maaf jika memang melakukan kesalahan. Tidak kalah menyentil adalah pesan
tersirat dalam cerita berjudul “Jalan ke
Mana-Mana”. Betapa pentingnya sikap jujur dan selalu ingat Allah di mana pun
berada (hal 69).
Lalu sebuah kisah bertajuk “Hari Senin.” Di sini penulis
mengingatkan pada kita, bahwa dalam mewujudkan kebahagiaan itu bukan hanya soal
materi, tapi juga perlu adanya kasih sayang yang cukup dari orangtua. “Ajak
anak-anak main. Saya serius, nih? Anak-anakmu mungkin butuh uang, tapi
anak-anakmu juga butuh ayah.” (hal 171).
Ada juga sindirian pada aparat kepolisian yang kadang suka
memanfaatkan keadaan demi kepentingan sendiri.
Juga pembelajaran tentang syukur.
Masih banyak orang yang berjuang lebih keras dari kita. Lihat ke bawah agar
selalu bersyukur dan jangan melihat ke
atas. Karena bisa membuat takabur.
“Dulu, saya kira mudah membawa becak, ternyatata saya salah. Apa Mang
Ikun suka mengeluh?” (hal 184).
Kocak, tidak terduga, tapi sangat
mengena dan mengajarkan banyak ilmu yang bisa diambil sebagai perenungan dan
diambil inspirasinya. Begitulah kira-kira yang saya rasakan ketika membaca buku
ini.
Srobyong, 1 Desember 2016
Saya suka buku ini. Memang benar, gaya bahasa yang dipakai Pidi Baiq sangat unik. Bisa langsung bikin ketawa, bisa juga bikin mikir 'maksudnya apa'. Pokoknya baca buku ini terhibur dan tercerahkan, hehe.
ReplyDeleteIya, Mas bahanya unik dan memikat. Dia memiliki gaya bahasa yang berbeda dari kebanyakan penulis.
DeleteAku belum pernah baca tulisannya Pidi Baiq sama sekali. huhuhuuu
ReplyDeleteMbak Ratna garai penasarann...
.
.
.
yeps, anak2 itu ga cuma butuh materi, tapi juga kasih sayang,
ahsekk hee
Sok dibaca. Gaya bahasanya unik :D
DeleteIya Rahma, semua harus seimbang biar bisa memberi dampak baik :D