Thursday, 20 April 2017

[Resensi] Perjuangan Haji Ahmad Dahlan

Dimuat di Jateng Pos, Minggu 26 Maret 2017 

Judul               : Dahlan
Penulis             : Haidar Musyafa
Penerbit           : Javanica
Cetakana         : Pertama, Januari 2017
Tebal               : 416 hlm
ISBN               : 978-602-6799-20-3
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara.

Haji Ahmad Dahlan merupakan salah satu tokoh Islam, yang juga termasuk pahlawan nasional. Dia memilik sumbangsih dalam kemajuan pembaharuan Islam yang bersifat terbuka, modern dan rasional, juga dalam  pendidikan di Indonesia. Islam adalah agama yang menganut Al-Quran dan sunnah Nabi. Tidak bercampur dengan adat atau budaya Jawa yang jauh dari ajaran-ajaran Islam.  Dan pendidikan—baik agama atau umum, harus sama-sama dipelajari agar seimbang, antara bekal di dunia dan di akhirat.

Ahmad Dahlan  lahir di Kauman, 1 Agustus 1868  dengan nama asli Muhammad Darwis.  Sejak kecil dia dididik ayahnya  dengan budaya Jawa yang kental. Namun begitu, dia juga dididik soal ajaran Islam dengan sangat ketat (hal 11).  Hanya saja dia tidak mendapat pendidikan formal.

Menurut ayahnya, dengan belajar di sekolah yang didirikan Belanda itu, sama saja kafir dan murtad. Inilah pandangan yang tidak disetujui Dahlan. Karena menurutnya dengan bersekolah orang bisa menambah pengetahuan. Selain masalah itu, Dahlan juga kurang setuju dengan kebiasaan masyarakat  yang suka melakukan ritual-ritual yang menurutnya  jauh dari ajaran-ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad.

Keresahan hatinya itu mendorong Dahlan untuk belajar setinggi-tingginya. Dia ingin mengembalikan ajaran Islam yang benar-benar murni yang tidak dikaitkan dengan adat Jawa yang kadangkala lebih menjurus pada ajaran syirik. Pada akhirnya takdir membawanya belajar ke Mekah. Di sana dia belajar pada Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy dan beberapa ulama tersohor lainnya (hal 121).
Setelah dari Mekah, Dahlan pun mulai menyuarakan dakwahnya tentang  pembaharuan Islam.  Yang mana Islam itu berpegang teguh pada ajaran Al-Quran dan bertumpu pada hadis-hadis Nabi. Tanpa ada campur aduk dengan budaya-budaya dan adat istiadat yang cenderung menyesatkan masyarakat dari jalan Islam (hal 122).

Hanya saja pemahaman yang dipaparkan Dahlan, tidak begitu saja dipercayai oleh masyarakat di Kauman. Berbagai tuduhan dilimpahkan padanya. Dianggap sebagai ulama palsu, sudah sesat bahkan dianggap kafir. Tapi dia tetap sabar dan berjuang dengan semangat dan ikhlas. Dan untuk mengembangkan dakwahnya, Dahlan bergabung dengan sebuah organisasi yang bernama Jami’atul Khoir yang didirikan para Habib keturuan Arab yang merasa peduli dengan pendidikan di Hindia Belanda.

Alasan lainnya bergabung pada organisasi itu adalah karena memiliki visi dan misi yang sama, yaitu masalah pendidikan. Bahwa ilmu agama dan ilmu pengetahuan modern adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya harus berjalan beriringan, bersinergi dan saling melengkapi. Dasar ilmu pendidikan modern  adalah sunatullah, sementara dasar Islam adalah wahyu Allah yang diabadikan dalam Al-Quran, sehingga umat Islam wajib menguasainya  (hal 251).

Selain organisasi itu, untuk mengembangkan dakwah agar lebih luas lagi, dia juga bergabung dengan Budi Utomo yang juga peduli dengan nasib pendidikan dan kesehatan orang-orang pribumi.  Apalagi oraganisasi tersebut dibangun para priyayi Jawa terpelajar yang pernah mengenyam pendidikan di sekolah Belanda. Mereka memanfaatkan ilmu untuk kepentingan Tanah Air.  Di sana Dahlan didaulat sebagai guru agama Islam yang menyebarkan tentang pembaharuan Islam.

Di sinilah titik yang akhirnya membuat Dahlan ingin mendirikan sekolah sendiri. Dia ingin santri-santrinya yang masih memiliki paham liar tentang sekolah,  dapat lebih terbuka pikiran dan wawasannya. Sekolah itu diberi nama Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah.   Dan untuk semakin mengembangkan dakwahnya, Dahlan kemudian membangun sebuah perkumpulan yang bersifat sosial, bergerak pada bidang pendidikan (hal 295).

Nama perkumpulan itu adalah  Muhammadiyah, yang diharapkan bisa menjadi suluh penerang bagi umat Islam. Menjadi cahaya yang akan menuntun umat agar kembali pada ajaran Islam yang sebenar-benarnya (hal 312). Hingga menjelang tutup usia, Dahlan masih berjuang keras untuk mengembangkan dakwahnya tentang pembaharuan Islam, agar masyarakat kembali pada Islam yang kaffah.

Novel ini sangat sarat makna. Dipaparkan dengan gaya bahasa yang renyah dan memikat. Mengenalkan kegigihan Haji Ahmad Dahlan dalam perjungannya mengenalkan pembaharuan Islam dan pentingnya mendapat pendidikan—baik ilmu agama juga ilmu umum. Serta mengingatkan tentang pentingnya sifat ikhlas dan tidak mudah menyerah.

Srobyong, 19 Februari 2017

6 comments:

  1. benar umat islam harus mementingkan pendidikan ... kejayaan umat islam terletak di SDMnya sendiri

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, pendidikan agama dan umum semua harus dirangkul agar seimbang.

      Delete
  2. Saya suka buku biografi semacam ini. Sangat inspiratif.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Mbak sama. Buku semacam ini selalu menginsipirasi. Dan buku-buku Mas Haidar banyak yang membahas biografi pahlawan atau para kiai.

      Delete
  3. Applause buat mbakk Ratna...
    aku ubek2 postingannyaa ya mbak... hheee

    ReplyDelete