Dimuat di Jateng Pos, Minggu 26 Maret 2017
Judul : Dahlan
Penulis : Haidar Musyafa
Penerbit : Javanica
Cetakana : Pertama, Januari 2017
Tebal : 416 hlm
ISBN :
978-602-6799-20-3
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama,
Jepara.
Haji Ahmad Dahlan merupakan salah satu
tokoh Islam, yang juga termasuk pahlawan nasional. Dia memilik sumbangsih dalam
kemajuan pembaharuan Islam yang bersifat terbuka, modern dan rasional, juga
dalam pendidikan di Indonesia. Islam
adalah agama yang menganut Al-Quran dan sunnah Nabi. Tidak bercampur dengan
adat atau budaya Jawa yang jauh dari ajaran-ajaran Islam. Dan pendidikan—baik agama atau umum, harus
sama-sama dipelajari agar seimbang, antara bekal di dunia dan di akhirat.
Ahmad Dahlan lahir di Kauman, 1 Agustus 1868 dengan nama asli Muhammad Darwis. Sejak kecil dia dididik ayahnya dengan budaya Jawa yang kental. Namun begitu,
dia juga dididik soal ajaran Islam dengan sangat ketat (hal 11). Hanya saja dia tidak mendapat pendidikan
formal.
Menurut ayahnya, dengan belajar di
sekolah yang didirikan Belanda itu, sama saja kafir dan murtad. Inilah
pandangan yang tidak disetujui Dahlan. Karena menurutnya dengan bersekolah
orang bisa menambah pengetahuan. Selain masalah itu, Dahlan juga kurang setuju
dengan kebiasaan masyarakat yang suka
melakukan ritual-ritual yang menurutnya jauh dari ajaran-ajaran Islam yang dibawa Nabi
Muhammad.
Keresahan hatinya itu mendorong
Dahlan untuk belajar setinggi-tingginya. Dia ingin mengembalikan ajaran Islam
yang benar-benar murni yang tidak dikaitkan dengan adat Jawa yang kadangkala
lebih menjurus pada ajaran syirik. Pada akhirnya takdir membawanya belajar ke Mekah.
Di sana dia belajar pada Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy dan beberapa ulama tersohor
lainnya (hal 121).
Setelah dari Mekah, Dahlan pun mulai
menyuarakan dakwahnya tentang pembaharuan Islam. Yang mana Islam itu berpegang teguh pada
ajaran Al-Quran dan bertumpu pada hadis-hadis Nabi. Tanpa ada campur aduk
dengan budaya-budaya dan adat istiadat yang cenderung menyesatkan masyarakat
dari jalan Islam (hal 122).
Hanya saja pemahaman yang dipaparkan
Dahlan, tidak begitu saja dipercayai oleh masyarakat di Kauman. Berbagai
tuduhan dilimpahkan padanya. Dianggap sebagai ulama palsu, sudah sesat bahkan
dianggap kafir. Tapi dia tetap sabar dan berjuang dengan semangat dan ikhlas. Dan
untuk mengembangkan dakwahnya, Dahlan bergabung dengan sebuah organisasi yang
bernama Jami’atul Khoir yang didirikan para Habib keturuan Arab yang
merasa peduli dengan pendidikan di Hindia Belanda.
Alasan lainnya bergabung pada
organisasi itu adalah karena memiliki visi dan misi yang sama, yaitu masalah
pendidikan. Bahwa ilmu agama dan ilmu pengetahuan modern adalah dua hal yang
tidak dapat dipisahkan. Keduanya harus berjalan beriringan, bersinergi dan
saling melengkapi. Dasar ilmu pendidikan modern
adalah sunatullah, sementara dasar Islam adalah wahyu Allah yang diabadikan
dalam Al-Quran, sehingga umat Islam wajib menguasainya (hal 251).
Selain organisasi itu, untuk
mengembangkan dakwah agar lebih luas lagi, dia juga bergabung dengan Budi Utomo
yang juga peduli dengan nasib pendidikan dan kesehatan orang-orang pribumi. Apalagi oraganisasi tersebut dibangun para
priyayi Jawa terpelajar yang pernah mengenyam pendidikan di sekolah Belanda.
Mereka memanfaatkan ilmu untuk kepentingan Tanah Air. Di sana Dahlan didaulat sebagai guru agama
Islam yang menyebarkan tentang pembaharuan Islam.
Nama perkumpulan itu adalah Muhammadiyah, yang diharapkan bisa menjadi
suluh penerang bagi umat Islam. Menjadi cahaya yang akan menuntun umat agar
kembali pada ajaran Islam yang sebenar-benarnya (hal 312). Hingga menjelang
tutup usia, Dahlan masih berjuang keras untuk mengembangkan dakwahnya tentang pembaharuan
Islam, agar masyarakat kembali pada Islam yang kaffah.
Novel ini sangat sarat makna.
Dipaparkan dengan gaya bahasa yang renyah dan memikat. Mengenalkan kegigihan
Haji Ahmad Dahlan dalam perjungannya mengenalkan pembaharuan Islam dan
pentingnya mendapat pendidikan—baik ilmu agama juga ilmu umum. Serta mengingatkan
tentang pentingnya sifat ikhlas dan tidak mudah menyerah.
Srobyong, 19 Februari 2017
benar umat islam harus mementingkan pendidikan ... kejayaan umat islam terletak di SDMnya sendiri
ReplyDeleteIya, pendidikan agama dan umum semua harus dirangkul agar seimbang.
DeleteSaya suka buku biografi semacam ini. Sangat inspiratif.
ReplyDeleteIya, Mbak sama. Buku semacam ini selalu menginsipirasi. Dan buku-buku Mas Haidar banyak yang membahas biografi pahlawan atau para kiai.
DeleteApplause buat mbakk Ratna...
ReplyDeleteaku ubek2 postingannyaa ya mbak... hheee
Terima kasih Rohma, semoga bermanfaat :) hehhhh
Delete