Dimuat di Koran Jakarta, Selasa 21 Maret 2017
Judul
: Love
in Montreal
Penulis
: Arumi
E
Penerbit
: Gramedia
Tebal
: 240
hlm
Cetakan
: Pertama,
November 2016
ISBN
: 978-602-03-3460-8
Perbedaan agama tidak harus membuat
kita rasis. Merasa paling benar dan memandang orang lain dengan pikiran pendek.
Padahal seharusnya perbedaan itu harus kita rangkul, saling beriringan
melengkapi agar tercipta sebuah kebahagiaan. “Hidup ini sesungguhnya indah,
andaikan semua orang sebahagia ini, bebas dari rasa benci dan saling curiga,
meluapkan rasa ingin berbagi kasih” (hal 103).
Novel ini meski berbau cinta, namun
juga menanamkan banyak pembelajaran yang baik tentang bagaimana bersikap dalam
menghadapi perbedaan agama dan budaya. Berkisah tentang perjalanan Maghali
Tifani Safitri yang melanjutkan studi di Montreal dengan segala liku yang
membuat hidupnya penuh warna—sedih, cemas, bahagia bahkan lelah.
Di Montreal, Maghali belajar di La
Mode Collage, salah satu universitas bergengsi di sana. Ini adalah kesempatan
emas yang tidak mungkin dia lewatkan. Karena dengan belajar di sana, dia bisa
semakin matang dalam menekuni dunia perancangan busana. Khususnya merancang
busana muslimah, cita-cita yang sudah sejak dulu ingin dia wujudkan.
Maghali tahu Montreal tidak
sebagaimana Indonesia yang mayoritas Islam. Di sana Islam adalah agama
minoritas. Apalagi sejak adanya pengeboman di beberapa kota Eropa dan aksi-aksi
teror yang mengatasnamakan Islam, membuat beberapa warga gelisah—terkena
sindrom Islamphobia. Mereka takut dengan orang-orang pendatang baru khususnya
yang berjilbab, karena dianggap sebagai ancaman. Yang pada akhirnya mereka
membuat masalah dan melecehkan.
Dan Maghali juga sempat merasakan
itu. Dia pernah hampir tenggelam di salju karena diganggu oleh orang-orang yang
tidak suka dengan Islam. “Agama kalian memerintahkan memusuhi kami, lalu
sekarang kalian minta bantuan? No way! Pergi kalian dari sini.” Itu adalah
cacian yang dilontarkan padanya. Atau saat akan memamerkan baju rancangannya,
ada sekelompok orang yang tidak suka dengannya merampas dan membakar baju
tersebut.
Tapi Maghali memilih menghadapi
semua dengan damai. Karena dia yakin tidak semua orang anti dengan Islam.
“Seringnya orang pendatang—apalagi yang berjilbab suka disalahkan dan
dilecehkan. Tapi aku percaya dengan tetap bersikap baik. Suatu saat mereka
sadar, Islam yang sebenarnya membawa damai dan kebaikan. Teroris itu kriminal,
nggak ada hubungannya dengan agama” (hal 19).
Dan
benar saja meski ada beberapa oknum yang tidak suka dengan dirinya, masih
banyak yang menyambut kedatangannya dan siap membantu dirinya jika kesulitan
beradaptasi. Bahkan Maghali sudah diberi kesempatan ikut dalam fashion show mini
khusus modest wear yang dia rancang.
Di acara itu akhirnya Maghali
mengenal model cantik bernama Isabelle. Seorang model yang cuek namun baik
hati, yang kemudian menjadi teman sekamar Maghali. Lalu ada juga Kai, seorang
model juga dokter yang sangat peduli dengan sosial. Dan siapa yang sangka Kai
ternyata juga memiliki darah campuran Indonesia, yang kemudian membuat Maghali
dan Kai menjadi dekat. Mereka sering menghabiskan waktu bersama dalam kegiatan
sosial dan pernah juga dikenalkan dengan nenek Kai.
Kedekatan yang tidak sengaja itu
pada nyatanya membuat hati Maghali berdebar-debar. Padahal dia tahu ada lubang
besar yang tidak mungkin bisa dia dapat dari Kai yang Atheis. Novel ini
dipaparkan dengan gaya bahasa yang ringan dan renyah. Kisah yang dipaparkan pun
tidak hanya tentang cinta, namun disatupadukan dengan isu Islamphobia yang
tengah marak di Eropa.
Peresensi,
Ratnani Latifah. Alumnus Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara
No comments:
Post a Comment