Tuesday, 4 April 2017

[Resensi] Belajar Menghargai Perbedaan dari Novel

Dimuat di Koran Jakarta, Selasa 21 Maret 2017

Judul : Love in Montreal
Penulis : Arumi E 
Penerbit : Gramedia 
Tebal : 240 hlm 
Cetakan : Pertama, November 2016 
ISBN : 978-602-03-3460-8



Perbedaan agama tidak harus membuat kita rasis. Merasa paling benar dan memandang orang lain dengan pikiran pendek. Padahal seharusnya perbedaan itu harus kita rangkul, saling beriringan melengkapi agar tercipta sebuah kebahagiaan. “Hidup ini sesungguhnya indah, andaikan semua orang sebahagia ini, bebas dari rasa benci dan saling curiga, meluapkan rasa ingin berbagi kasih” (hal 103).
Novel ini meski berbau cinta, namun juga menanamkan banyak pembelajaran yang baik tentang bagaimana bersikap dalam menghadapi perbedaan agama dan budaya. Berkisah tentang perjalanan Maghali Tifani Safitri yang melanjutkan studi di Montreal dengan segala liku yang membuat hidupnya penuh warna—sedih, cemas, bahagia bahkan lelah.
Di Montreal, Maghali belajar di La Mode Collage, salah satu universitas bergengsi di sana. Ini adalah kesempatan emas yang tidak mungkin dia lewatkan. Karena dengan belajar di sana, dia bisa semakin matang dalam menekuni dunia perancangan busana. Khususnya merancang busana muslimah, cita-cita yang sudah sejak dulu ingin dia wujudkan. 
Maghali tahu Montreal tidak sebagaimana Indonesia yang mayoritas Islam. Di sana Islam adalah agama minoritas. Apalagi sejak adanya pengeboman di beberapa kota Eropa dan aksi-aksi teror yang mengatasnamakan Islam, membuat beberapa warga gelisah—terkena sindrom Islamphobia. Mereka takut dengan orang-orang pendatang baru khususnya yang berjilbab, karena dianggap sebagai ancaman. Yang pada akhirnya mereka membuat masalah dan melecehkan. 
Dan Maghali juga sempat merasakan itu. Dia pernah hampir tenggelam di salju karena diganggu oleh orang-orang yang tidak suka dengan Islam. “Agama kalian memerintahkan memusuhi kami, lalu sekarang kalian minta bantuan? No way! Pergi kalian dari sini.” Itu adalah cacian yang dilontarkan padanya. Atau saat akan memamerkan baju rancangannya, ada sekelompok orang yang tidak suka dengannya merampas dan membakar baju tersebut. 
Tapi Maghali memilih menghadapi semua dengan damai. Karena dia yakin tidak semua orang anti dengan Islam. “Seringnya orang pendatang—apalagi yang berjilbab suka disalahkan dan dilecehkan. Tapi aku percaya dengan tetap bersikap baik. Suatu saat mereka sadar, Islam yang sebenarnya membawa damai dan kebaikan. Teroris itu kriminal, nggak ada hubungannya dengan agama” (hal 19).
Dan benar saja meski ada beberapa oknum yang tidak suka dengan dirinya, masih banyak yang menyambut kedatangannya dan siap membantu dirinya jika kesulitan beradaptasi. Bahkan Maghali sudah diberi kesempatan ikut dalam fashion show mini khusus modest wear yang dia rancang.

Di acara itu akhirnya Maghali mengenal model cantik bernama Isabelle. Seorang model yang cuek namun baik hati, yang kemudian menjadi teman sekamar Maghali. Lalu ada juga Kai, seorang model juga dokter yang sangat peduli dengan sosial. Dan siapa yang sangka Kai ternyata juga memiliki darah campuran Indonesia, yang kemudian membuat Maghali dan Kai menjadi dekat. Mereka sering menghabiskan waktu bersama dalam kegiatan sosial dan pernah juga dikenalkan dengan nenek Kai.
Kedekatan yang tidak sengaja itu pada nyatanya membuat hati Maghali berdebar-debar. Padahal dia tahu ada lubang besar yang tidak mungkin bisa dia dapat dari Kai yang Atheis. Novel ini dipaparkan dengan gaya bahasa yang ringan dan renyah. Kisah yang dipaparkan pun tidak hanya tentang cinta, namun disatupadukan dengan isu Islamphobia yang tengah marak di Eropa. 
Peresensi, Ratnani Latifah. Alumnus Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

No comments:

Post a Comment