Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 9 Desember 2018
Judul :
Sunyi di Dada Sumirah
Penulis : Artie Ahmad
Penerbit : Mojok
Cetakan : Pertama, Agustus 2018
Tebal : viii + 298 halaman
ISBN : 978-602-1318-72-0
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas
Islam Nahdlatu Ulama, Jepara
“Tak ada
manusia yang bisa melarang manusia lain untuk memiliki Tuhan dan agama.
Lagi pula, tolak ukur manusia yang beragama dan ber-Tuhan siapa yang tahu? Yang
tahu, ya hanya diri kita sendiri. Hubungan spiritual itu tak bisa ditebak dan
dinilai orang lain dari penampilannya saja.” (hal 262).
Buku ini menceritakan tentang kehidupan tiga wanita
dalam rentan masa yang berbeda.
Diceritakan dengan sudut padang pertama dari masing-masing tokoh, akan
membuat kita merasa kisah itu terasa dekat sekali dengan kita. Seolah kita bisa
melihat kilasan cerita di depan mata. Belum lagi cerita yang dipaparkan sangat
kompleks. Kita akan dihadapkan pada sebuah kisah yang entah bagaimana, akan
membuat kita merasa sedih, marah dan tidak berdaya.
Apalagi dalam kisah ini meski tidak diungkapkan secara jelas dan terperinci,
penulis mencoba mengungkapkan tragedi 1965 yang menjadi latar sejarah kejamnya
hidup yang dialami tokoh cerita ini.
Penanggkapan tanpa surat perintah, perintah mengakui kejahatan yang
tidak dilakukan serta menjadi korban tahanan di Plantungan, telah membuat
kehidupan tokoh dalam kisah ini harus memeluk luka serta rindu.
Sunyi, merupakan wanita pertama yang dibahas penulis
dalam buku ini. “Andai Tuhan memberikan kesempatan kedua, aku ingin memilih
agar dilahirkan dari seorang ibu yang lain. Tapi sungguh sial, Tuhan
menciptakan hatiku demikian terbatasnya. Benci dan sayang dilebur menjadi satu,
dan itu semua hanya untuk ibuku. Meski demi menjadi anaknya, aku harus menjadi
seorang pendusta.” (hal 1).
Terlahir sebagai anak dari kupu-kupu malam, membuat Sunyi harus
mengalami berbagai pesakitan. Dikucilkan dalam pergaulan, dicemooh dan bahkan
hampir mengalami pelecehan seksual.
Sunyi marah dengan keadaan. Namun apa yang bisa dia lakukan? Ketika
ibunya sendiri tidak juga mau keluar dari dunia malam itu. Ibunya tetap keukuh
bekerja kepada Bonet, mucikari yang telah mengambil untung banyak dari pekerjaan ibunya. Hingga suatu hari dia
mengetahui alasan di balik piliha ibunya, hingga Sunyi bertekad untuk
mengeluarkan ibunya dari dunia kelam itu.
Sumira, wanita lain serta ibu dari Sunyi yang juga mengalami
kepahitan dan kesedihan hidup yang tak terkira. Di usianya yang masih belia,
dia harus menerima takdir, bahwa ibunya tiba-tiba ditangkap aparat dan menjadi
penghuni jeruji. Dan sejak itu Sumira harus menerima cibiran dari para
tetangganya. Dicap sebagai anak orang jahat, dan bahkan kemudian dia menjadi
korban jual beli manusia. Sumira tidak
pernah menyangka bahwa sosok yang dulu mengaku mencintai dan berjanji
menikahinya, malah menjualnya kepada mucikari, sehingga dia terperosok pada
jalan hidup yang laknat.
“Aku tak ingin menghardik Tuhan, ataupun
menuntutunya, meski apa yang dituliskan untukku terlalu pahit. Karena aku
sadar, Tuhan Maha Pemberi. Hidupku adalah kanvas yang terbentang, terserah mau
apa yang dituliskan di sana. Aku hanya ingin menikmatinya dan berterima kasih,
meski aku sangat benci dengan hidupku sendiri.”
(hal 85).
Dan wanita ketiga adalah Suntini, ibu dari Sumirah,
yang berarti nenek dari Sunyi. Kehidupannya pun tidak kalah menyedihkan dari
keturunannya. Kebagiaan yang dia terima baru sejengkal, ketika tiba-tiba
suaminya meninggal dunia. Dengan kegigihannya dia bertahan demi putri semata
wayangnya. Namun di sebuah waktu yang tidak terduga, pertemuannya dengan Dyah,
sahabat lamanya, pada akhirnya mengangantarkan Suntini menjadi penghuni jeruji.
Dia ditangkap tanpa mengetahui kesalahannya dan di penjara di Plantungan.
Dengan benang merah yang cuku rapi, penulis berhasil
merajut kisah ini dengan menarik.
Membaca jejak masing-masing tokoh wanita dalam kisah ini, akan membuat
kita belajar banyak hal dari kisah ini.
Hanya saja ada beberapa bagian yang terasa bolong dan tidak dijelaskan
secara gamblang. Khususnya pada bagian Suntini. Di mana saya belum merasa
sesuatu yang lebih greget dan menggetarkan. Padahal jika penulis menjabarkan
lebih dalam, kisah ini akan lebih menarik dan apik.
Namun lepas dari kekurangangnya, buku ini cukup
memberi banyak pembelajaran hidup. Seperti ajakan untuk selalu mengingat Tuhan, rasa
syukur dan belajar memaafkan. “Membenci
akan membuat nilai derajat diri kita turun, akan lebih menjadi rendah
lagi. memaafkan siapa saja yang menyakiti adalah satu cara yang ampuh untuk
mengobati hati yang merasa tersakiti.” (hal 120).
Srobyong, 11 November 2018
No comments:
Post a Comment