Dimuat di Duta Masyarakat, Sabtu 9 Desember 2017
Judul : Tjokroaminoto
Penulis : Tim Tempo
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan : Pertama, Agustus 2017
Tebal : xvi + 162 halaman
ISBN : 978-602-424-402-6
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas
Islam Nahdlatul Ulama, Jepara
Diangkat dari edisi khusus Majalah
Berita Mingguan Tempo, buku yang membahas tentang peran Tjokroaminoto dalam pergerakan ini dipaparkan dengan apik
dan menarik. Tokoh yang lahir di Ponorogo, Jawa Timur, 18 Agustus
1882 ini dengan kemampuannya dalam
berorasi dan tulisannya yang telah tersebar di berbagai media, telah memberi inspirasi puluhan ribu orang
dan menumbuhkan semangat kebangsaan.
Meski berdarah bangsawan, sejak awal
Tjokro ini sangat menentang keras feodalisme. Dia berjuang untuk meretas jalan
kesetaraan. Hal ini terlihat jelas dalam salah satu tulisannya berupa sajak
yang dimuat di Doenia Bergerak
tahun 1914. Dia mengkritisi penindasan
dan perbedaan derajat manusia. Begitu
pula dalam berbagi pidato yang dia suarakan. Oleh karena itu dia dijuluki
sebagai “Gatotkoco Serikat Islam” (hal 7).
Karir perjuangannya semakin melesat
ketika dia mulai bergabung di Organisasi Sarekat Islam Mei 1912—sebuah
Organisasi yang didirikan oleh Haji Samanhoedi, seorang saudagar batik. Di mana
organisasi ini didirikan ketika ada persaingan dagang antara Pribumi dan Cina. Dan berkat tangan dingin Tjokro, organisasi
itu menjadi gerakan politik yang besar dan kuat. Dalam
kepemimpinannya di Sarekat Islam, sejarawan Bonnie Triyana menilai salah satu
keunggulan Tjokro adalah sikap egaliter. Dia tidak memandang usia, status atau
jabatan. Yang terpenting para anggota beragama sama (hal 36).
Upaya yang dilakuakan Tjokro untuk
membawa Sarekat ke level nasional yaitu
merancang delapan program untuk memperjuangkan hak rakyat. Di antaranya
menghapus kerja sama, mengizinkan pedidikan. Sarekat juga mendesak penghapusan
peraturan yang menghambat penyebaran Islam. Itulah sebabnya Sarekat Islam
semakin mendapat dukungan besar.
Mengingat dia memperjuang kepentingan rakyat dan umat Islam pada
khususnya. Selain mengurus pergerakan Sarekat Islam, Tjokro juga rutin
menuangkan ide-idenya di surat kabar, Oetoesan Hindia. Dia menulis
dengan topik yang beragam. Mulai dari politik, hukum hingga perbedabatan antara
paham sosialisme dan Islam.
Selama bergerak dalam perjuangan Tjokro
berpegang pada beberapa prinspi yang pernah dia tulis dan diterbitkan dalam Sendjata
Pemoeda, surat kabar PSSI. Dia mengaskan : keutamaan, kebesaran, kemuliaan,
dan kebernaian bisa tercapai lewat ilmu tauhid, ilmu tentang ketuhanan (hal 30).
Tjokro memang amat meyakini Islam
mengandung banyak nilai sosialisme. Oleh karena itu dia ingin membumikan perjuangan yang bersandar pada Islam sebagai basis
ideologi.
Selain berjuang dalam ranah politik,
Tjokro juga memiliki kepedulian dalam pendidikan. Pada tahun 1930-an, banyak berdiri sekolah
Tjokroaminoto yang dibangun di cabang-cabang PSII—Partai Sarikat Islam
Indonesia di semua wilayah. Silabus dan kurikulumnya didasari buku Moeslim
National Onderwijis yang ditulis Tjokro 1925. Sekolah-sekolah itu
mengajarkan soal arti kemerdekaan, budi pekerti, ilmu umum dan ilmu keislaman.
Menurut Tjokro, asas-asas Islam sejalan dengan demokrasi dan sosialisme. Maka
kamu muslimin harus dididik menjadi muslim sejati untuk mencapaai kemerdekaan
umat.
Kiprah Tjokroaminoto ini pada
akhirnya membuat dirinya disebut-sebut sebagai guru para pendiri bangsa. Karena
lewat didikannya, lahirlah para bumiputra yang akhirnya memulai gebrakan dalam
pergerakan. Sebut saja Tan Malam, Sukarno, Musso, Semaoen, Alimin hingga
Kartosoewiryo.
Reportase ulang tentang
Tjokroaminoto ini telah membuka wawasan kita tentang kehidupan pendiri
republika yang inspiratif, tapi juga
penuh intrik pemikiran dan petualangan. Disusun dengan bahasa yang mudah
dipahami, menjadi sisi positif ketika membaca buku ini. Dilengkapi dengan
foto-foto dukementasi, semakin menambah rasa
perjuangan yang terjadi di masa lalu. Hanya saja karena buku ini
tidak ditulis penulis tunggal—merupakan
kumpulan tulisan bergaya jurnalistik dari beberapa penulis, maka kita harus
pandai-pandai menyusun rangkain kisah yang ada.
Srobyong, 22 Oktober 2017
No comments:
Post a Comment