Tuesday 19 December 2017

[Resensi] Peran H.O.S Tjokroaminoto dalam Pergerakan

Dimuat di Duta Masyarakat, Sabtu 9 Desember 2017 


Judul               : Tjokroaminoto
Penulis             : Tim Tempo
Penerbit           : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan           : Pertama, Agustus 2017
Tebal               : xvi + 162 halaman
ISBN               : 978-602-424-402-6
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

Diangkat dari edisi khusus Majalah Berita Mingguan Tempo, buku yang membahas tentang  peran Tjokroaminoto  dalam pergerakan ini dipaparkan dengan apik dan menarik.   Tokoh yang  lahir di Ponorogo, Jawa Timur, 18 Agustus 1882 ini dengan  kemampuannya dalam berorasi dan tulisannya yang telah tersebar di berbagai media,  telah memberi inspirasi puluhan ribu orang dan menumbuhkan semangat kebangsaan.

Meski berdarah bangsawan, sejak awal Tjokro ini sangat menentang keras feodalisme. Dia berjuang untuk meretas jalan kesetaraan. Hal ini terlihat jelas dalam salah satu tulisannya berupa sajak yang dimuat di Doenia  Bergerak tahun 1914. Dia  mengkritisi penindasan dan perbedaan derajat manusia.  Begitu pula dalam berbagi pidato yang dia suarakan. Oleh karena itu dia dijuluki sebagai “Gatotkoco Serikat Islam” (hal 7).

Karir perjuangannya semakin melesat ketika dia mulai bergabung di Organisasi Sarekat Islam Mei 1912—sebuah Organisasi yang didirikan oleh Haji Samanhoedi, seorang saudagar batik. Di mana organisasi ini didirikan ketika ada persaingan dagang antara Pribumi dan Cina.  Dan berkat tangan dingin Tjokro, organisasi itu menjadi gerakan politik yang besar dan kuat.   Dalam kepemimpinannya di Sarekat Islam, sejarawan Bonnie Triyana menilai salah satu keunggulan Tjokro adalah sikap egaliter. Dia tidak memandang usia, status atau jabatan. Yang terpenting para anggota beragama sama (hal 36).

Upaya yang dilakuakan Tjokro untuk membawa Sarekat ke level nasional yaitu  merancang delapan program untuk memperjuangkan hak rakyat. Di antaranya menghapus kerja sama, mengizinkan pedidikan. Sarekat juga mendesak penghapusan peraturan yang menghambat penyebaran Islam. Itulah sebabnya Sarekat Islam semakin mendapat dukungan besar.  Mengingat dia memperjuang kepentingan rakyat dan umat Islam pada khususnya. Selain mengurus pergerakan Sarekat Islam, Tjokro juga rutin menuangkan ide-idenya di surat kabar, Oetoesan Hindia. Dia menulis dengan topik yang beragam. Mulai dari politik, hukum hingga perbedabatan antara paham sosialisme dan Islam.

Selama bergerak dalam perjuangan Tjokro berpegang pada beberapa prinspi yang pernah dia tulis dan diterbitkan dalam Sendjata Pemoeda, surat kabar PSSI. Dia mengaskan : keutamaan, kebesaran, kemuliaan, dan kebernaian bisa tercapai lewat ilmu tauhid, ilmu tentang ketuhanan (hal 30).  Tjokro memang amat meyakini Islam mengandung banyak nilai sosialisme. Oleh karena itu dia  ingin membumikan perjuangan  yang bersandar pada Islam sebagai basis ideologi.

Selain berjuang dalam ranah politik, Tjokro juga memiliki kepedulian dalam pendidikan.  Pada tahun 1930-an, banyak berdiri sekolah Tjokroaminoto yang dibangun di cabang-cabang PSII—Partai Sarikat Islam Indonesia di semua wilayah. Silabus dan kurikulumnya didasari buku Moeslim National Onderwijis yang ditulis Tjokro 1925. Sekolah-sekolah itu mengajarkan soal arti kemerdekaan, budi pekerti, ilmu umum dan ilmu keislaman. Menurut Tjokro, asas-asas Islam sejalan dengan demokrasi dan sosialisme. Maka kamu muslimin harus dididik menjadi muslim sejati untuk mencapaai kemerdekaan umat.

Kiprah Tjokroaminoto ini pada akhirnya membuat dirinya disebut-sebut sebagai guru para pendiri bangsa. Karena lewat didikannya, lahirlah para bumiputra  yang akhirnya memulai gebrakan dalam pergerakan. Sebut saja Tan Malam, Sukarno, Musso, Semaoen, Alimin hingga Kartosoewiryo.

Reportase ulang tentang Tjokroaminoto ini telah membuka wawasan kita tentang kehidupan pendiri republika yang inspiratif, tapi juga  penuh intrik pemikiran dan petualangan. Disusun dengan bahasa yang mudah dipahami, menjadi sisi positif ketika membaca buku ini. Dilengkapi dengan foto-foto dukementasi, semakin menambah rasa  perjuangan yang terjadi di masa lalu. Hanya saja karena buku ini tidak  ditulis penulis tunggal—merupakan kumpulan tulisan bergaya jurnalistik dari beberapa penulis, maka kita harus pandai-pandai menyusun rangkain kisah yang ada.     

Srobyong, 22 Oktober 2017

No comments:

Post a Comment