Dimuat di Harian Bhirawa, Jumat 15 Desember 2017
Judul : Kisah Seorang Pedagang Darah
Penulis : Yu Hua
Penerjemah : Agustinus Wibowo
Cetakan : Pertama, April 2017
Tebal : 288 halaman
ISBN : 978-602-03-3919-1
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam
Nahdlatul Ulama, Jepara
“Jadi orang kudu banyak-banyak berbuat baik, jangan
berbuat jahat. Kalau berbuat jahat, terus tidak cepat-cepat diperbaiki, jadinya
bisa kena hukuman dari langit. Langit itu kalau sudah hukum orang sedikitpun
tak pakai belas kasihan, hukum terus sampai mati.”
(hal 164).
Novel ini ditulis oleh Yu Hua, penulis asal Cina
yang sudah tidak diragukan lagi kelihaiannya dalam menulis. Dalam bidang
literasi ini dia sudah mengantongi banyak prestasi yang luar biasa. Buku-buku menjadi karya laris internasional serta telah
diterjemahkan ke dalam bahasa lebih dari
15 bahasa. Dan buku ini sendiri mendapat banyak pujian. Serta sudah
difilm-kan dalam versi Korea tahun 2015
dengan judul sama “The Chronicle of A Blood Merchant” dengan pemain, aktris
Korea sebagai Xu Yulan dan Ha Jung Woo sebaga Xu Sanguan.
Kisahnya sendiri berputar pada sosok Xu Sanguan,
seorang pengantar kepompong di pabrik
sutra. Pada awalnya dia menikmati
pekerjaan yang sudah dilakoninya, meski hanya memperoleh gaji sedikit. Namun
suatu hari karena ingin menikah dengan seorang gadis cantik bernama Xu Yulan,
dia nekat menjual darah.
Akhirnya pernikahan itu pun terwujud. Namun yang
mengejutkan adalah, setelah mereka dikaruniani tiga anak—Yile, Erle dan Sanle,
Xu Sanguan mendapati kenyataan bahwa putra kesayangannya, Yile bukanlah anak
bioligisnya. Konon katanya Yile adalah anak hasil perselingkuhan antara Xu
Yulan dengan He Xiaoyong—tetangga dan merupakan mantan kekasih Xu Yulan (hal
44).
Konflik antara Xu Sanguan pun tidak dapat dihindari.
Dan sejak itu dia juga tidak mau lagi mengakui Yile sebagai anaknya, meski
mereka tetap tinggal bersama. Xu Sanguan mulai memperlakukan Yile dengan cara
yang berbeda. Dan istrinya dihujat
sebagai pelacur. Hidup Xu Sanguan benar-benar kacau.
Bersamaan dengan itu, revolusi politik meledak di tempat tinggal mereka. Hal ini-lah yang membuat
banyak masyarakat hidup dalam kubangan kemiskinan. Termasuk keluarga Xu Sanguan.
Agar bisa makan, mereka harus sangat hemat. Oleh karena itu, demi keluarganya
dia kembali menjual darah. Dia tidak ingin keluarga kekurangan pangan.
Dan keadaan yang semakin runyam ketika tiba-tiba
Yile terkena radang hati dan harus
dibawa ke rumah sakit Shanghai. Yang jadi pertanyaan apakah Xu Sanguan akan
menjual dari demi anak yang bukan putra kandungnya? Dan bagaimana akhir kisah
lika-liku kehidupan Xu Sanguan yang kerap kali menjual darah hingga tubuhnya
lemas dan sekarat?
Novel ini tidak hanya tentang masalah kebiasaan
jual-beli darah. Namun juga tentang keluarga dan berbagai permasalahan hidup
yang pastinya bisa dijadikan renungan bagi pembaca. Di mana kita dikenalkan
dengan sosok Xu Sanguan, seorang ayah yang sangat teguh dan rela berkorban demi
keluarga. Dia rela menjual darahnya
berkali-kali meski itu beresiko kematian akan segera menjemputnya.
Di sini kita dikenalkan dengan adat tradisi
jual-beli darah, yang mana ada dua pandangan berbeda perilah adat tersebut.
Sebagian orang menganggap jual-beli darah adalah suatu kehormatan. Namun di
sisi lain, ada sebagian orang yang menganggap jual-beli darah, adalah tindakan
berbahaya karena dianggap sebagai jalan menjual nyawa—mengingat jika
terus-menerus menjual darah, keadaan tubuh akan lemah dan berujung kematian.
Tidak ketinggalan, sebagaimana ciri tulisan Yu Hua,
dia menampilkan kekerasan hidup pada masa revolusi. Sebuah kisah yang cukup
menggugah dan penuh dengan nilai-nilai kehidupan. Membaca novel ini, kita akan
diajak merasakan kisah para tokoh yang penuh luapan rasa. Kadang ada kesedihan,
kemarahan, kemuakan namun juga ada sisi lucu dan kebahagian. Apalagi jika melihat sikap Xu Yulan pun ketiga
anaknya.
Hanya saja saat membaca novel ini, kita harus
benar-benar sabar. Karena bisa dibilang alur-nya terasa cukup lambat. Lepas
dari kekurangannya, buku ini cukup menghibur. Di sini kita belajar, bahwa kasih
sayang seorang ayah pada anak tidaklah ada batasnya. Kita juga diajarkan untuk
menjadi pribadi yang pemaaf dan suka
menolong. “Kadang kita perlu,
berpikir demi orang lain. Tidak peduli bagaimanapun dulu kelakuan mereka
terhadap mereka, tidak usahlah
dipikirkan lagi.” (hal 172).
Tidak ketinggalan, kita diingatkan untuk selalu
menepati jani. “Janji tentu harus ditepati, tidak boleh goyah oleh apa pun
juga.” (hal 179).
No comments:
Post a Comment