Saturday, 16 December 2017

[Resensi] Lika-liku Kehidupan Seorang Pedagang Darah

Dimuat di Harian Bhirawa, Jumat 15 Desember 2017 


Judul               : Kisah Seorang Pedagang Darah
Penulis             : Yu Hua
Penerjemah      : Agustinus Wibowo
Cetakan           : Pertama, April 2017
Tebal               : 288 halaman
ISBN               : 978-602-03-3919-1
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

“Jadi orang kudu banyak-banyak berbuat baik, jangan berbuat jahat. Kalau berbuat jahat, terus tidak cepat-cepat diperbaiki, jadinya bisa kena hukuman dari langit. Langit itu kalau sudah hukum orang sedikitpun tak pakai belas kasihan, hukum terus sampai mati.” (hal 164).

Novel ini ditulis oleh Yu Hua, penulis asal Cina yang sudah tidak diragukan lagi kelihaiannya dalam menulis. Dalam bidang literasi ini dia sudah mengantongi banyak prestasi yang luar biasa. Buku-buku  menjadi karya laris internasional serta telah diterjemahkan ke dalam  bahasa lebih dari 15 bahasa.  Dan buku ini  sendiri mendapat banyak pujian. Serta sudah difilm-kan  dalam versi Korea tahun 2015 dengan judul sama “The Chronicle of A Blood Merchant” dengan pemain, aktris Korea sebagai Xu Yulan dan Ha Jung Woo sebaga Xu Sanguan.

Kisahnya sendiri berputar pada sosok Xu Sanguan, seorang pengantar kepompong  di pabrik sutra.  Pada awalnya dia menikmati pekerjaan yang sudah dilakoninya, meski hanya memperoleh gaji sedikit. Namun suatu hari karena ingin menikah dengan seorang gadis cantik bernama Xu Yulan, dia nekat menjual darah.

Akhirnya pernikahan itu pun terwujud. Namun yang mengejutkan adalah, setelah mereka dikaruniani tiga anak—Yile, Erle dan Sanle, Xu Sanguan mendapati kenyataan bahwa putra kesayangannya, Yile bukanlah anak bioligisnya. Konon katanya Yile adalah anak hasil perselingkuhan antara Xu Yulan dengan He Xiaoyong—tetangga dan merupakan mantan kekasih Xu Yulan (hal 44).

Konflik antara Xu Sanguan pun tidak dapat dihindari. Dan sejak itu dia juga tidak mau lagi mengakui Yile sebagai anaknya, meski mereka tetap tinggal bersama. Xu Sanguan mulai memperlakukan Yile dengan cara yang berbeda.  Dan istrinya dihujat sebagai pelacur. Hidup Xu Sanguan benar-benar kacau. 

Bersamaan dengan itu,  revolusi politik meledak di tempat  tinggal mereka. Hal ini-lah yang membuat banyak masyarakat hidup dalam kubangan kemiskinan. Termasuk keluarga Xu Sanguan. Agar bisa makan, mereka harus sangat hemat. Oleh karena itu, demi keluarganya dia kembali menjual darah. Dia tidak ingin keluarga kekurangan pangan.

Dan keadaan yang semakin runyam ketika tiba-tiba Yile  terkena radang hati dan harus dibawa ke rumah sakit Shanghai. Yang jadi pertanyaan apakah Xu Sanguan akan menjual dari demi anak yang bukan putra kandungnya? Dan bagaimana akhir kisah lika-liku kehidupan Xu Sanguan yang kerap kali menjual darah hingga tubuhnya lemas dan sekarat?

Novel ini tidak hanya tentang masalah kebiasaan jual-beli darah. Namun juga tentang keluarga dan berbagai permasalahan hidup yang pastinya bisa dijadikan renungan bagi pembaca. Di mana kita dikenalkan dengan sosok Xu Sanguan, seorang ayah yang sangat teguh dan rela berkorban demi keluarga.  Dia rela menjual darahnya berkali-kali meski itu beresiko kematian akan segera menjemputnya.

Di sini kita dikenalkan dengan adat tradisi jual-beli darah, yang mana ada dua pandangan berbeda perilah adat tersebut. Sebagian orang menganggap jual-beli darah adalah suatu kehormatan. Namun di sisi lain, ada sebagian orang yang menganggap jual-beli darah, adalah tindakan berbahaya karena dianggap sebagai jalan menjual nyawa—mengingat jika terus-menerus menjual darah, keadaan tubuh akan lemah dan berujung kematian.

Tidak ketinggalan, sebagaimana ciri tulisan Yu Hua, dia menampilkan kekerasan hidup pada masa revolusi. Sebuah kisah yang cukup menggugah dan penuh dengan nilai-nilai kehidupan. Membaca novel ini, kita akan diajak merasakan kisah para tokoh yang penuh luapan rasa. Kadang ada kesedihan, kemarahan, kemuakan namun juga ada sisi lucu dan kebahagian.  Apalagi jika melihat sikap Xu Yulan pun ketiga anaknya.

Hanya saja saat membaca novel ini, kita harus benar-benar sabar. Karena bisa dibilang alur-nya terasa cukup lambat. Lepas dari kekurangannya, buku ini cukup menghibur. Di sini kita belajar, bahwa kasih sayang seorang ayah pada anak tidaklah ada batasnya. Kita juga diajarkan untuk menjadi pribadi yang  pemaaf dan suka menolong. “Kadang kita perlu,  berpikir demi orang lain. Tidak peduli bagaimanapun dulu kelakuan mereka terhadap mereka,  tidak usahlah dipikirkan lagi.” (hal 172).

Tidak ketinggalan, kita diingatkan untuk selalu menepati jani. “Janji tentu harus ditepati, tidak boleh goyah oleh apa pun juga.” (hal 179).  

No comments:

Post a Comment