Thursday, 14 December 2017

[Resensi] Catatan Perjuangan Dakwah di Amerika

Dimuat di Radar Mojokerto, 26 November 2017 


Judul               : Kuketuk Langit dari Kota Judi Menjejak Amerika
Penulis             : Peggy Melati Sukma & Imam Shamsi Ali
Penerbit           : Noura Books
Cetakan           : Pertama, Mei 2017
 Tebal              : 336 halaman
ISBN               : 978-602-385-318-2
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumna Universitas Islam Nahdlatu Ulama, Jepara


Siapa yang tidak mengenal Peggy Melati Sukma?  Dia adalah mantan artis Indonesia  yang cukup terkenal dan sukses belasan tahun silam.  Selain menjadi artis, Peggy juga dikenal dengan  aktivitas sosialnya. Dia pernah menjadi duta Indonesia untuk berbicara di PBB guna membahas UU Perlindungan Perempuan di New York. Selain itu dia juga pernah menjadi wakil Indonesia untuk mengikuti “World  Art Performance” di Pakistan. Dia juga ditunjuk sebagai Duta Pendidikan Kesetaraan. Namun kehidupannya berubah setelah memutuskan berhijrah sebagai muslimah  yang kaffah.

Buku ini dengan gaya bahasa yang menarik memaparkan tentang kehidupan Peggy setelah dia memutuskan berhijrah.  Dia memahami bahwa orang yang berhijrah adalah yang selalu meninggalkan segala yang dilarang Allah.  Oleh karena itu dia mulai merubah cara bergaul dan cara mencari nafkah. Yang berarti dia kehilangan kontrak kerja, kehilangan karier, kehilangan usaha dan proyek-proyeknya dan lain sebagainya.  Selain itu dia juga berhenti dari pergaulan bebas dan melepas diri dari alkohol. (hal 42-43). 

Peggy benar-benar totalitas ketika sudah memutuskan memperbaiki jalan hidupnya. Dia ingin fokus berusaha membenahi diri dan hidup di dihadapan Allah.  Namun siapa sangka, jika di kemudian hari Peggy malah ikut berkontribusi dalam penyebaran Islam. Dia menjadi sosok inspiratif yang berjuang dalam lingkungan dakwah Islam. Dalam kurun waktu tiga tahun semenjak menapaki jalan hijrah, Peggy sudah melakukan dakwa kelilingi Indonesia dan Dunia sampai mencapai 20 negara (hal 50).

Dan salah satu negara yang disambangi Peggy sebagai tempat dakwahnya adalah Amerika.   Kita pasti ingat, dalam tragedi 11 September 2001, banyak negara Barat termasuk Amerika yang terjangkit Islamphobia.  Hal ini pada akhirnya mengakibatkan kerenggangan dalam hubungan Islam dan Amerika.  Bahkan sempat terdengar kabar kalau Presiden Amerika, Donald Trump membuat kebijakan perihal aturan yang melarang pendatang dari tujuh negara mayoritas Islam. Ketujuh negara itu adalah Iran, Irak, Suriah, Somalia, Yaman, Libia dan Sudan.

Melihat kenyataan itu, tentu saja Peggy sangat sedih. Karena sesungguhnya Islam adalah agama yang sangat mencintai kedamaian. Teroris itu tidak ada hubungannya dengan agama. Kekerasan bisa terjadi di mana dan oleh siapa saja. Bersama Imam Shamsi Ali, Peggy melakukan dakwah. Namun perlu diingat, dakwah Islam di sini bukan berarti kita ingin mengislamkan orang di luar Islam.

Misi keislaman ialah, kita berdiri sebagai seoorang Islam yang mengacu pada aturan Allah (hal 107). Dakwah ini maknanya menyampaikan tentang kebaikan, ketentuan, perintah, larangan, tuntunan, memperjuangkannya agar jadi sistem hidup. Dan tidak kalah penting Imam Shamsi Ali dan Peggy mencoba meluruskan salah paham atau salah persepsi tentang Islam di mata Amerika. 

Salah satu kegiatan dakwah yang dilakukan Peggy berlangsung di ruang besar di Konsulat Jenderal Republika Indonesia. Di sana dia menyampaikan materi sesi inspirasi Islami terkait hijrah selama 3 jam, yang alhamdulillah mendapat respon positif dari jamaah.  Begitu pula saat Peggy memberikan materi di Atlanta—ibu kota negara bagian Georgia, Amerika. Serta memberikan dakwah Islam di Las Vegas yang kerap disebut sebagai kota Judi.

Namun tidak selamanya perjalanan dakwah yang dilakukan Peggy berjalan lancar. Saat dia datang di sebuah forum yang membicarkan bagaimana membuat dunia menjadi tempat hidup yang lebih baik,  apa yang terjadi sungguh di luar dugaan. Saat salah seorang Muslim mau berbicara, audience di tengah-tengah dan kanan-kiri berteriak, “Go a way from us. Leave us, don’t kill us, you kill our family, you kill our children, we want to live our life.” (hal 202).

Di sini Peggy sadar Islamphobia ternyata masih ada. Dan inilah tantangan kaum Muslim dalam berdakwah untuk menunjukkan bahwa Islam bukanlah agama yang seperti itu.  Kesedihan Peggy sedikit terobati dengan keberhasilan forum dakwah yang bertujuan membangun jembatan-jembatan kebersamaan, bukan untuk membangun tembok-tembok penghalang antara sesama manusia dengan latar belakang berbeda (hal 204).  Sebuah buku yang mengisnpirasi dan patut kita baca untuk perenungan diri.

Srobyong, 12 Agustus 2017 

No comments:

Post a Comment