Dimuat di Radar Mojokerto, 26 November 2017
Judul : Kuketuk Langit dari Kota Judi
Menjejak Amerika
Penulis : Peggy Melati Sukma & Imam
Shamsi Ali
Penerbit : Noura Books
Cetakan : Pertama, Mei 2017
Tebal :
336 halaman
ISBN : 978-602-385-318-2
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumna Universitas
Islam Nahdlatu Ulama, Jepara
Siapa yang tidak mengenal Peggy
Melati Sukma? Dia adalah mantan artis
Indonesia yang cukup terkenal dan sukses
belasan tahun silam. Selain menjadi
artis, Peggy juga dikenal dengan aktivitas
sosialnya. Dia pernah menjadi duta Indonesia untuk berbicara di PBB guna
membahas UU Perlindungan Perempuan di New York. Selain itu dia juga pernah
menjadi wakil Indonesia untuk mengikuti “World
Art Performance” di Pakistan. Dia juga ditunjuk sebagai Duta Pendidikan
Kesetaraan. Namun kehidupannya berubah setelah memutuskan berhijrah sebagai
muslimah yang kaffah.
Buku ini dengan gaya bahasa yang
menarik memaparkan tentang kehidupan Peggy setelah dia memutuskan
berhijrah. Dia memahami bahwa orang yang
berhijrah adalah yang selalu meninggalkan segala yang dilarang Allah. Oleh karena itu dia mulai merubah cara
bergaul dan cara mencari nafkah. Yang berarti dia kehilangan kontrak kerja,
kehilangan karier, kehilangan usaha dan proyek-proyeknya dan lain sebagainya. Selain itu dia juga berhenti dari pergaulan
bebas dan melepas diri dari alkohol. (hal 42-43).
Peggy benar-benar totalitas ketika
sudah memutuskan memperbaiki jalan hidupnya. Dia ingin fokus berusaha membenahi
diri dan hidup di dihadapan Allah. Namun
siapa sangka, jika di kemudian hari Peggy malah ikut berkontribusi dalam
penyebaran Islam. Dia menjadi sosok inspiratif yang berjuang dalam lingkungan
dakwah Islam. Dalam kurun waktu tiga tahun semenjak menapaki jalan hijrah,
Peggy sudah melakukan dakwa kelilingi Indonesia dan Dunia sampai mencapai 20
negara (hal 50).
Dan salah satu negara yang
disambangi Peggy sebagai tempat dakwahnya adalah Amerika. Kita
pasti ingat, dalam tragedi 11 September 2001, banyak negara Barat termasuk
Amerika yang terjangkit Islamphobia.
Hal ini pada akhirnya mengakibatkan kerenggangan dalam hubungan Islam
dan Amerika. Bahkan sempat terdengar
kabar kalau Presiden Amerika, Donald Trump membuat kebijakan perihal aturan
yang melarang pendatang dari tujuh negara mayoritas Islam. Ketujuh negara itu
adalah Iran, Irak, Suriah, Somalia, Yaman, Libia dan Sudan.
Melihat kenyataan itu, tentu saja
Peggy sangat sedih. Karena sesungguhnya Islam adalah agama yang sangat
mencintai kedamaian. Teroris itu tidak ada hubungannya dengan agama. Kekerasan
bisa terjadi di mana dan oleh siapa saja. Bersama Imam Shamsi Ali, Peggy
melakukan dakwah. Namun perlu diingat, dakwah Islam di sini bukan berarti kita
ingin mengislamkan orang di luar Islam.
Misi keislaman ialah, kita berdiri
sebagai seoorang Islam yang mengacu pada aturan Allah (hal 107). Dakwah ini
maknanya menyampaikan tentang kebaikan, ketentuan, perintah, larangan, tuntunan,
memperjuangkannya agar jadi sistem hidup. Dan tidak kalah penting Imam Shamsi
Ali dan Peggy mencoba meluruskan salah paham atau salah persepsi tentang Islam
di mata Amerika.
Salah satu kegiatan dakwah yang
dilakukan Peggy berlangsung di ruang besar di Konsulat Jenderal Republika
Indonesia. Di sana dia menyampaikan materi sesi inspirasi Islami terkait hijrah
selama 3 jam, yang alhamdulillah mendapat respon positif dari jamaah. Begitu pula saat Peggy memberikan materi di
Atlanta—ibu kota negara bagian Georgia, Amerika. Serta memberikan dakwah Islam
di Las Vegas yang kerap disebut sebagai kota Judi.
Namun tidak selamanya perjalanan
dakwah yang dilakukan Peggy berjalan lancar. Saat dia datang di sebuah forum
yang membicarkan bagaimana membuat dunia menjadi tempat hidup yang lebih
baik, apa yang terjadi sungguh di luar
dugaan. Saat salah seorang Muslim mau berbicara, audience di
tengah-tengah dan kanan-kiri berteriak, “Go a way from us. Leave us, don’t
kill us, you kill our family, you kill our children, we want to live our life.”
(hal 202).
Di sini Peggy sadar Islamphobia ternyata
masih ada. Dan inilah tantangan kaum Muslim dalam berdakwah untuk menunjukkan
bahwa Islam bukanlah agama yang seperti itu.
Kesedihan Peggy sedikit terobati dengan keberhasilan forum dakwah yang
bertujuan membangun jembatan-jembatan kebersamaan, bukan untuk membangun tembok-tembok
penghalang antara sesama manusia dengan latar belakang berbeda (hal 204). Sebuah buku yang mengisnpirasi dan patut kita
baca untuk perenungan diri.
Srobyong, 12 Agustus 2017
No comments:
Post a Comment