Judul : Love Catcher
Penulis : Riawani Elyta
Penerbit : GagasMedia
Cetakan : Pertama, 2017
Tebal : vi + 314 halaman
ISBN : 979-780-908-9
“Jalan
hidup yang kita jalani—suka tidak suka—semua sudah menjadi ketentuan Tuhan,
kita hanya bisa berusaha, tapi Tuhan yang berkuasa atas jalan cerita kita.” (hal 160-161).
Kita tidak pernah tahu kejutan apa yang akan kita dapat di hari esok.
Semua masih masih menjadi misteri. Hanya Tuhan-lah Yang Maha Tahu. Namun, bukan berarti kita tidak berusaha untuk
membuat keajaiban agar di hari esok kita bisa memperoleh kebahagiaan, bukan?
Ini kali ke-lima membaca tulisan
Mbak Riawani Elyta dalam bentuk novel. Secara keseluruan saya selalu suka dan
menikmati buku-buku tulisan Mbak Ria yang selalu dipaparkan dengan renyah dan
memikat. Belum lagi nilai-nilai falsafah hidup yang bisa ambil juga quote-quote
manis yang bertebaran di dalam setiap karyanya. Begitu pula dalam novelnya kali ini. Masih tidak
jauh-jauh dari masalah cinta—yang memang tidak akan lengkang oleh zaman jika membahasnya—di
sini kita akan diajak berkenalan dengan
tokoh bernama Azizi dan Gaby dengan konflik yang menarik ditambah eksekusi yang
apik.
Dibuka dengan prolog yang sudah
membuat penasaran, saya benar-benar terpikat dengan kisah ini. Percakapan antara
dua wanita yang sejak awal saya tebak itu Gaby dan sang adik, benar-benar membuat
kita penasaran tentang apa sih yang mereka bicarakan? Namun benarkah dugaan
saya perilah dua wanita itu Gaby dan adiknya atau malah Gaby dan sahabatnya,
Kania?
Kita pasti pernah mendengar bahwa
setiap pasangan yang akan menikah, biasanya akan menghadapi banyak cobaan atau kasus-kasus yang
tidak terduga. Begitu pula dengan Azizi
dan Gaby. Ketika mereka akhirnya saling berjanji untuk mengikat diri dalam
jalinan suci bernama pernikahan, tiba-tiba sebuah wacana tidak terduga membuat
mereka harus berpikir ulang. Benarkah itu jalan yang terbaik? Tetap melangsungkan
pernikahan atau malah membatalkannya?
“Jika
ada hal lain yang menghalangi
recana kita, itu hanyalah kematian atau
karena kita memang nggak jodoh.” (hal 17).
Gaby sangat terkejut ketika
tiba-tiba Azizi mengatakan bahwa dia harus pindah ke Anambas—Pulau kecil di
Indonesia yang terletak di Kepualaun Riau—setidaknya lima tahunan atau lebih. Dan
itu berarti dia harus memilih ikut pindah bersama Azizi setelah menikah dan meninggal
bisnis cokeletany juga sang mama, atau tetap tinggal di Bandung dengan resiko
LDM—Long Distance Married (hal 16).
Masalahnya dua pilihan itu bagi Gaby
keduanya sama-sama sulit. Latar belakang keluarga Gaby sejak awal sudah penuh
masalah. Di mana karena LDM orangtuanya berpisah, dan membuat keluarganya
berantakan. Adiknya Ghea kabur dan sang
kakak Gery lebih sering bertualang entah ke mana. Gaby juga sadar mamanya tidak mungkin
membiarkan dia mengulang kesalahan yang sama. Belum lagi kata mamanya yang
benar-benar membuat Gaby tertohok.
“Jangan pernah tinggalkan Mama ya,
By. Temani Mama sampai rindu dan sunyi akhirnya merenggut usia Mama di rumah
ini.” (hal 21).
Gaby sangat sadar hubungan antara
dirinya dan Azizi memang tidak seperti kebanyakan pasangan lainnya. Mereka
kenal secara tidak sengaja dalam kejadian yang cukup unik. Dan belum genap tiga
bulan tiba-tiba Azizi menawarkan
pernikahan. Gila memang tapi satu kalimat panjang dari Azizi mampu membuat Gaby
mengatakan iya.
“Siapa yang bisa menjamin,
semakin banyak yang kita ketahui,
hubungan kita pasti akan langgeng dan
berakhir dengan pernikahan?” (hal 34).
Maka sejak saat itu mereka adalah
pasangan yang saling mengisi dan melengkapi. Masing-masing sudah berbagi masa
lalu dan berharap bisa membangun rumah tangga menyenangkan. Tapi siapa sangka
keadaan bukannya memudahkan langkah mereka, tapi semakin mendekati hari-H jalan
terjal itu semakin terlihat.
“Cinta nggak pernah memaksakan
kehendaknya, sama juga seperti air, cinta pun memiliki muaranya, yaitu
keikhlasan.” (hal 159).
Seperti dugaan Gaby, mama dan Gery
tidak setuju jika dia harus pindah. Belum lagi orangtua angkat Azizi ternyata
adalah salah satu pelanggan yang tidak puas dengan pelayanan Gaby di kafenya. Lebih dari itu kemunculan Mirza—partner kerja
Gaby yang diam-diam juga menyukai Gaby, menjadi sesuatu yang tidak kalah pelik dan
membuat masalah semakin lebar. Gaby harus benar-benar memilih; berbakti pada
mamanya atau memilih Azizi.
“Keyakinan itu penting. Kalau kamu
sendiri masih ragu, bagaiamana mungkin kamu bisa meyakinkan orang lain? Nggak
sedikit pernikahan gagal atau terancam
kandas bukan karena mereka nggak cinta,
tapi karena nggak ada restu orangtua.”
(hal 226).
Membaca novel ini asli bikin suasana
hati kacau. Ada bagian yang sesekali membuat tertawa lebar namun ada pula yang
bikin nyeseg dan sedih banget. Gemes tingkat
akut deh. Baper juga sama Azizi dan Mirza. Dua-duanya sama-sama punya kelebihan
yang pastinya bisa membuat para gadis antri mendapatkan mereka.
Suka dengan gaya bertutur Mbak Ria
yang lues dan renyah. Setiap lembar kita
dibuat penasaran bagaimana akhir dari kisah ini. Apalagi pada bagian-bagian akhir bab, Mbak Ria
memberi cukup banyak kejutan yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Dan ditutup
dengan ending yang membuat saya terpana. Aih, kok bisa gitu, sih?
Dalam novel ini saya menikmati
pemilihan pov satu dari sisi Gaby. Serta
pemilihan alur yang memberi efek
penasaran dan bikin ketagihan sampai akhir kisahnya. Hanya saja
untuk setting saya merasa kurang klik perihal suasana Bandung. Entah kenapa
masih terasa ada yang kurang. Meski ada
beberapa percakapan yang memang memakai bahasa sunda—tapi hanya itu saja. Dan jujur
sayang sekali dalam novel ini tidak ada teks penjelasan dari bahasa sunda yang
ada. Beberapa ada yang sedikit paham
karena mirip bahasa jawa, tapi beberapa kata lainnya, hanya mengira-ngira
melihat dari susuna kalimat dan berakhir
pilih googling. Hheh. Dak paham soalnya. Untuk kesalahan tulis, minim sekali—saya hanya
melihat Hatik—yang seharusnya Hati (hal 140). Tapi untuk pembahasan soal cokelat, saya pikir
cukup lengkap. Semua dituturkan dengan manis.
Lepas dari itu, secara keseluruhan,
novel ini benar-benar asyik untuk dinikmati. Mbak Ria menempatkan porsi antara
cinta dan bisnis dengan sangat baik. Menghibur juga membuka mata tentang
berbagai realita hidup yang ada di depan kita. Bahwa masa lalu masih menjadi
momok menakutkan bagi siapa saja. Namun begitu seyogyanya masa lalu perlu kita
jadikan pelajaran untuk mengulang kejadian yang sama. Selain itu dari novel ini saya belajar
tentang arti keikhlasan, kesetiaan
kejujuran juga pentingnya berbakti pada orangtua.
4 bintang buat novel ini.
Srobyong, 20 Desember 2017
sukak sama resensi mba kazu,,
ReplyDeleteTerima kasih :)
Delete