Judul : Janadriyah; Sebuah Perjalanan
Penulis : Achi TM & Febrian Rahmatulloh
Penerbit : Emir, Imprint Penerbit Erlangga
Cetakan : Pertama, 2017
Tebal : 504 halaman
ISBN : 978-602-0935-73-7
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumna Universitas
Islam Nahdlatul Ulama, Jepara.
“Hiduplah seperti air, halangan apa pun yang menghalangi
tujuannya akan dilewati dengan baik. Air mengalir hingga ke lautan. Tapi
berjuanglah seperti ikan, ia hidup melawan arus sungi. Jangan seperti batang
kayu yang hanyut, tak punya tujuan, hanya ikut ke mana air pergi. Hiduplah
seperti gunung. Kokoh berdiri sendiri, mandiri.” (hal 15).
Novel
yang diangkat dari kisah nyata penulisnya sendiri—Febrian Rahmatulloh ini
sangat menarik dan menginspirasi. Memaparkan bagaimana perjuangan Rahmat sejak
dia menempuh pendidikan di sekolah menengah pertama hingga masa kuliah. Di mana dalam perjalanannya itu semua tidak
selalu berjalan mulus. Kadang ada batu terjal yang menghadang, menjadi penguat dan
pembelajaran untuk Rahmat.
Misalnya
saja ketika Rahmat duduk di bangkus SMP dan SMA. Di sana dia bertemu dengan
teman-teman yang tidak terduga. Pesan-pesan yang diberikana abahnya luntur
begitu saja, ikut tergerus dengan kebiasan kawan-kawannya. Seperti merokok
bahkaan pacaran. Namun beruntung Rahmat
memiliki seorang abah yang bijak. Ketika Rahmat berada di pinggir jurang, sang
abah dengan sigap langsung menarik tangannya.
“Masa
Remaja, memang penuh dengan gejolak. Abah memahami hal itu, tapi pemuda yang
paling baik adalah pemuda yang mampu menahan hawa nafsunya dari perbuatan
sia-sia dan maksiat. Hati-hati dengan semua godaan masa muda. Bahagia bukanlah
melanggar perintah-Nya. Bahagia adalah bertakwa.” (hal 110).
Pesan itulah yang akhirnya Rahmat pegang
teguh. Dia tidak mau mengecewakannya abah dan emaknya. Oleh karena itu dia
mulai serius belajar. Dia juga mulai memperbaiki diri dan mendekatkan diri
kepada Allah. “Dalam hidup ini kita
pasti pernah tersesat, Pak. Hanya saja, apakah kita mau bertanya jalan
yang benar atau senang dengan kesesatan kita.” (hal 385).
Namun dalam usahanya itu tiba-tiba
virus cinta kembali menyapa Rahmat. Di sinilah keimannya kembali dicoba. Apakah
dia akan mengikuti hawa nafsunya dengan menjalain hubungan pacaran atau memilih
langsung melangkah pada biduk rumah tangga. Padahal saat itu Rahmat belum
mapan. Belum lagi ada Daru—mantan pacar
Rahmat semasa SMA yang tiba-tiba datang dan memohon untuk memulai hubungan dari
awal.
“Semua orang pernah meletakan cinta
pada hati yang salah. Tapi bukan berarti cinta tidak punya kesempatan untuk
putar balik ... tanya pada Sang Membolak-balikkan hati ... di manakah hati yang
tepat untuk mencintainya.” Begitulah
kira-kira yang akhirnya diberikan Rahmat pada Daru. Apalagi sejak Rahmat memutuskan akan menikah.
Dan masalah lain juga mulai timbul
ketika Rahmat memilih berjuang mengambil
kesempatan bekerja di Janadiyah. Di sana bersama istrinya Mai—panggilan saya
Rahmat pada istrinya—mereka ditimpa cobaan bertubi-tubi. Rahmat ditipu oleh Dessy. Mai mengalami
kontraksi, dan Rahmat diperintahkan untuk memanipulasi data perusahaan agar dia
bisa bertahan di kantor, bahkan mendapat uang lebih—yang bisa digunakan untuk
biaya tambahan persalinan Mai. Iman dan prinsip Rahmat menjadi taruhan di sini.
Novel ini dipaparkan dengan alur
maju mundur yang cantik. Setiap lembar kisahnya membuat kita terus tergelitik
untuk melanjutkan bacaan sampai akhir.
Belum lagi pemakaian gaya bahasa dari dua penulis ini sangat renyah dan
menarik. Membuat tidak bosan dalam menikmati kisahnya. Hanya saja dalam buku
ini masih saya temukan beberapa kesalahan tulis dan beberapa bagian yang terasa
agak lambat. Lalu tentag dialek bahasa
daerah yang mungkin akan lebih cantik jika diberi terjemahannya.
Namun lepas dari kekurangannya, buku
ini sangat menarik. Sebuah buku yang menarik untuk dibaca. Karena dalam buku
ini banyak pesan-pesan kehidupan yang patut kita teladani. Kita diajari untuk tidak mudah menyerah dalam
meraih cita-cita. Kita juga diingatkan untuk selalu menjunjung tinggi
nilai-nilai kejujuran. Selain itu dari buku ini kita juga bisa belajar tentang
bagaimana caranya memeluk kegagalan dan selalu berusaha menjadi seorang yang
sabar. “Memancing itu berarti
belajar sabar, strategi, dan kebesaran hati. (hal 151).
Srobyong, 30
September 2017
Pada dasarnya setiap manusia memiliki kisah yang mungkin bagi orang lain, kisah itu unik. Hanya saja tidak setiap manusia mampu menuliskan kisahnya. Bukunya menarik untuk dibaca, harganya berapa mbak?
ReplyDeleteBenar banget Mbak. Harga buku 215 ribu Mbak. Komen lama yang baru terlihat🙏🙏
Delete