Saturday 16 December 2017

[Resensi] Ketika Keimanan dan Prinsip Harus Diuji


Dimuat di Jateng Pos, Minggu 26 November 2017 



Judul               : Janadriyah; Sebuah Perjalanan
Penulis             : Achi TM & Febrian Rahmatulloh
Penerbit           : Emir, Imprint Penerbit Erlangga
Cetakan           : Pertama, 2017
Tebal               : 504 halaman
ISBN               : 978-602-0935-73-7
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumna Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara.

Hiduplah seperti air, halangan apa pun yang menghalangi tujuannya akan dilewati dengan baik. Air mengalir hingga ke lautan. Tapi berjuanglah seperti ikan, ia hidup melawan arus sungi. Jangan seperti batang kayu yang hanyut, tak punya tujuan, hanya ikut ke mana air pergi. Hiduplah seperti gunung. Kokoh berdiri sendiri, mandiri.”  (hal 15). 

Novel yang diangkat dari kisah nyata penulisnya sendiri—Febrian Rahmatulloh ini sangat menarik dan menginspirasi. Memaparkan bagaimana perjuangan Rahmat sejak dia menempuh pendidikan di sekolah menengah pertama hingga masa kuliah.  Di mana dalam perjalanannya itu semua tidak selalu berjalan mulus. Kadang ada batu terjal yang menghadang, menjadi penguat dan pembelajaran untuk Rahmat.

Misalnya saja ketika Rahmat duduk di bangkus SMP dan SMA. Di sana dia bertemu dengan teman-teman yang tidak terduga. Pesan-pesan yang diberikana abahnya luntur begitu saja, ikut tergerus dengan kebiasan kawan-kawannya. Seperti merokok bahkaan pacaran. Namun   beruntung Rahmat memiliki seorang abah yang bijak. Ketika Rahmat berada di pinggir jurang, sang abah dengan sigap langsung menarik tangannya.

“Masa Remaja, memang penuh dengan gejolak. Abah memahami hal itu, tapi pemuda yang paling baik adalah pemuda yang mampu menahan hawa nafsunya dari perbuatan sia-sia dan maksiat. Hati-hati dengan semua godaan masa muda. Bahagia bukanlah melanggar perintah-Nya. Bahagia adalah bertakwa.” (hal 110).

Pesan itulah yang akhirnya Rahmat pegang teguh. Dia tidak mau mengecewakannya abah dan emaknya. Oleh karena itu dia mulai serius belajar. Dia juga mulai memperbaiki diri dan mendekatkan diri kepada Allah. “Dalam hidup ini kita  pasti pernah tersesat, Pak. Hanya saja, apakah kita mau bertanya jalan yang benar atau senang dengan kesesatan kita.” (hal 385).

Namun dalam usahanya itu tiba-tiba virus cinta kembali menyapa Rahmat. Di sinilah keimannya kembali dicoba. Apakah dia akan mengikuti hawa nafsunya dengan menjalain hubungan pacaran atau memilih langsung melangkah pada biduk rumah tangga. Padahal saat itu Rahmat belum mapan.  Belum lagi ada Daru—mantan pacar Rahmat semasa SMA yang tiba-tiba datang dan memohon untuk memulai hubungan dari awal.

“Semua orang pernah meletakan cinta pada hati yang salah. Tapi bukan berarti cinta tidak punya kesempatan untuk putar balik ... tanya pada Sang Membolak-balikkan hati ... di manakah hati yang tepat untuk mencintainya.” Begitulah kira-kira yang akhirnya diberikan Rahmat pada Daru.   Apalagi sejak Rahmat memutuskan akan  menikah.

Dan masalah lain juga mulai timbul ketika Rahmat  memilih berjuang mengambil kesempatan bekerja di Janadiyah. Di sana bersama istrinya Mai—panggilan saya Rahmat pada istrinya—mereka ditimpa cobaan bertubi-tubi.  Rahmat ditipu oleh Dessy. Mai mengalami kontraksi, dan Rahmat diperintahkan untuk memanipulasi data perusahaan agar dia bisa bertahan di kantor, bahkan mendapat uang lebih—yang bisa digunakan untuk biaya tambahan persalinan Mai. Iman dan prinsip Rahmat menjadi taruhan di sini.

Novel ini dipaparkan dengan alur maju mundur yang cantik. Setiap lembar kisahnya membuat kita terus tergelitik untuk melanjutkan bacaan sampai akhir.  Belum lagi pemakaian gaya bahasa dari dua penulis ini sangat renyah dan menarik. Membuat tidak bosan dalam menikmati kisahnya. Hanya saja dalam buku ini masih saya temukan beberapa kesalahan tulis dan beberapa bagian yang terasa agak lambat.  Lalu tentag dialek bahasa daerah yang mungkin akan lebih cantik jika diberi terjemahannya.

Namun lepas dari kekurangannya, buku ini sangat menarik. Sebuah buku yang menarik untuk dibaca. Karena dalam buku ini banyak pesan-pesan kehidupan yang patut kita teladani.  Kita diajari untuk tidak mudah menyerah dalam meraih cita-cita. Kita juga diingatkan untuk selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Selain itu dari buku ini kita juga bisa belajar tentang bagaimana caranya memeluk kegagalan dan selalu berusaha menjadi seorang yang sabar. “Memancing itu berarti belajar sabar, strategi, dan kebesaran hati. (hal 151).

Srobyong, 30 September 2017 

2 comments:

  1. Pada dasarnya setiap manusia memiliki kisah yang mungkin bagi orang lain, kisah itu unik. Hanya saja tidak setiap manusia mampu menuliskan kisahnya. Bukunya menarik untuk dibaca, harganya berapa mbak?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar banget Mbak. Harga buku 215 ribu Mbak. Komen lama yang baru terlihat🙏🙏

      Delete