Tuesday, 12 December 2017

[Resensi] Membongkar Ketimpangan Realita Hidup Lewat Cerita

Dimuat di Harian Bhirawa, Jumat 24 November 2017 


Judul               : Cemong
Penulis             : Ida Fitri
Penerbit           : Basabasi
Cetakan           : Pertama, September 2017
Tebal               : 184 halaman
ISBN               : 978-602-61246-2-3
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatu Ulama, Jepara

Meski kita kerap kali membaca berbagai cerpen dengan tema-tema yang hampir serupa, namun pada kenyataannya kita tidak pernah bosan dengan sajian cerpen yang hadir setiap pekan di berbagai media. Kita tetap haus dengan kisah-kisah menarik yang disajikan dari berbagai latar dan pendidikan penulis. Karena setiap penulis memiliki sisi unik tersendiri dalam mengemas sebuah cerita. Hal itulah yang membuat perbukuan kumpulan cerpen tetap  tumbuh dan berkembang.

Berbagai penerbit masih menerbitkan kumpulan cerpen yang kebanyakannya pun sudah pernah tersiar di berbagai media. Dan realitas di pasar buku-buku tersebut tetap diterima para pembaca dengan baik. Misalnya saja “Cemong” karya Ida Fitri, penulis asal Aceh, yang diterbitkan di Basabasi.  Terdiri dari 22 cerpen, buku ini mencoba membongkar  ketimpangan yang kerap kali terjadi dalam realitas masyarakat kita.

Misalnya saja cerpen berjudul “Lelakiku  Tertawaan Gunung”. Di mana cerpen ini mengisahkan tentang Cut Meulu yang tidak pernah berhenti menunggu dan setia kepada sang suami—Yid Ahmad yang mengabdi sebagai guru di kaki gunung. Detik demi detik waktu dia gunakan untuk menyiapkan makanan kesukaan sang suami. Dia memasak sayur Plik U—sayuran yang terbuat dari kelapa busuk yang diambil minyaaknya dan dikeringkan, di mana proses pembuatannya hampir memakan waktu seminggu (hal 21).

Selain itu Cut Meulu juga harus menyiapkan ikan asin, salah satu menu favorit lain suaminya. Mungkin saja sewaktu-waktu suaminya akan pulang dan ingin makan. Namun malangnya setiap kali selesai memasak, dia menyadari suaminya tidak  kunjung kembali. Hingga akhirnya masakan itu berakhir untuk dibagi-bagikan kepada tetangga.

Kejadian itu terus terjadi hingga akhirnya membuat Cut Meulu pasrah. Dia meyakini cinta pasti akan menemukan jalannya. Namun di suatu siang yang panas, dia mendapati sebuah kabar yang sungguh menyayat hatinya. Dikhianati dan diduakan? Itukah balasan dari kesetiannya?

Cerpen ini ditutup dengan ending yang tidak terduga, tanpa meninggalkan kesan kesedihan yang menyakitkan bagi tokoh juga pembaca sendiri..   Kisah ini seolah menjawab realitas yang memang kerap terjadi dalam masyarakat. Di mana seorang pria  tidak bisa lepas dari perempuan dan kesepian. Hal itulah yang pada akhirnya memicu terjadinya perselingkuhan, ketika jarak menjadi pemisah sepasang suami-istri.

Selain itu ada pula cerpen berjudul “Kota Tanpa Kenangan”. Bercerita tentang sebuah daerah yang tiba-tiba jadi asing bagi semua orang. Sam memutuskan mengunjungi tanah kelahirannya—Jentaka.  Dia sudah tidak sabar bercumbu dengan masa lalu. Menikmati keindahan desa, bertemu teman dan sauadara. Nanun ketika dia akhirnya sampai di tempat itu, Sam hanya melihat kesedihan yang membingungkan (hal 27).

Sam mendapati kabar yang menyatakan kalau warga mulai hilang ingat. Itulah yang melatar belakangi berbagai pemandangan yang membuaat Sam bingung. Seperti saat melihat seorang ibu yang meninggalkan anaknya.  Dan anehnya perlahan-lahan memori yang dia miliki pun mulai menghilang. Dia lupa alasan pergi ke Jentaka.

Dalam cerpen ini, kita diperlihatkan tentang realitas hidup, yang menunjukkan bahwa orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi dan uang banyak, selalu menghalalkan segala cara untuk melindungi diri dari perbuatan jahat yang dia miliki.  Baik itu dengan menyuap atau memakai perantara orang pintar.

Tidak kalah menarik adalah cerpen berjudul “Kematian Seekor Tikus”. Cerpen ini adalah contoh nyata bagaimana pola hukum di Indonesia berjalan. Bagaimana hukum yang berusaha menutupi kejahatan karena bantuan orang dalam yang memiliki pangkat kuat. Namun uniknya cerpen ini, penulis memberikan kejutan menarik di akhir cerita.

Selain beberapa cerpen itu, masih ada pula cerpen lain yang juga sangat menarik. Seperti Seraut Wajah Berbingkai Pohon, Mamawa Ya Tambora, Bukan Sulaiman, Buntalan Mikail, Kanibal Linge dan banyak lagi. Dipaparakan dengan gaya bahasa yang mudah dipahami dan tidak berat, membuat buku ini sangat asyik untuk dinikmati.  Keunggulan lainnya adalah  bagaimana penulis memilih judul-judul yang menarik dan pembukaan alenia yang membuat kita penasaran untuk menuntaskan kisah sampai akhir.

Hanya saja dalam buku ini ada ketidakkonsistenan dalam memberikan catatan kaki di akhir setiap cerpen.  Begitupula dalam pemberian catatan kaki tentang bahasa daerah yang menurut saya kurang jelas dalam penulisannya. Namun lepas dari kekurangannya, rasa lokalitas dalam buku ini menjadi nilai tambah yang menarik.

Srobyong, 28 Oktober 2017 

No comments:

Post a Comment