Dimuat di Harian Bhirawa, Jumat 24 November 2017
Judul : Cemong
Penulis : Ida Fitri
Penerbit : Basabasi
Cetakan : Pertama, September 2017
Tebal : 184 halaman
ISBN : 978-602-61246-2-3
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas
Islam Nahdlatu Ulama, Jepara
Meski kita kerap kali membaca
berbagai cerpen dengan tema-tema yang hampir serupa, namun pada kenyataannya
kita tidak pernah bosan dengan sajian cerpen yang hadir setiap pekan di
berbagai media. Kita tetap haus dengan kisah-kisah menarik yang disajikan dari
berbagai latar dan pendidikan penulis. Karena setiap penulis memiliki sisi unik
tersendiri dalam mengemas sebuah cerita. Hal itulah yang membuat perbukuan kumpulan
cerpen tetap tumbuh dan berkembang.
Berbagai penerbit masih menerbitkan
kumpulan cerpen yang kebanyakannya pun sudah pernah tersiar di berbagai media.
Dan realitas di pasar buku-buku tersebut tetap diterima para pembaca dengan
baik. Misalnya saja “Cemong” karya Ida Fitri, penulis asal Aceh, yang
diterbitkan di Basabasi. Terdiri dari 22
cerpen, buku ini mencoba membongkar ketimpangan yang kerap kali terjadi dalam
realitas masyarakat kita.
Misalnya saja cerpen berjudul “Lelakiku Tertawaan Gunung”. Di mana cerpen ini
mengisahkan tentang Cut Meulu yang tidak pernah berhenti menunggu dan setia
kepada sang suami—Yid Ahmad yang mengabdi sebagai guru di kaki gunung. Detik
demi detik waktu dia gunakan untuk menyiapkan makanan kesukaan sang suami. Dia
memasak sayur Plik U—sayuran yang terbuat dari kelapa busuk yang diambil
minyaaknya dan dikeringkan, di mana proses pembuatannya hampir memakan waktu
seminggu (hal 21).
Selain itu Cut Meulu juga harus
menyiapkan ikan asin, salah satu menu favorit lain suaminya. Mungkin saja
sewaktu-waktu suaminya akan pulang dan ingin makan. Namun malangnya setiap kali
selesai memasak, dia menyadari suaminya tidak
kunjung kembali. Hingga akhirnya masakan itu berakhir untuk
dibagi-bagikan kepada tetangga.
Kejadian itu terus terjadi hingga
akhirnya membuat Cut Meulu pasrah. Dia meyakini cinta pasti akan menemukan
jalannya. Namun di suatu siang yang panas, dia mendapati sebuah kabar yang
sungguh menyayat hatinya. Dikhianati dan diduakan? Itukah balasan dari
kesetiannya?
Cerpen ini ditutup dengan ending
yang tidak terduga, tanpa meninggalkan kesan kesedihan yang menyakitkan bagi
tokoh juga pembaca sendiri.. Kisah ini
seolah menjawab realitas yang memang kerap terjadi dalam masyarakat. Di mana
seorang pria tidak bisa lepas dari
perempuan dan kesepian. Hal itulah yang pada akhirnya memicu terjadinya perselingkuhan,
ketika jarak menjadi pemisah sepasang suami-istri.
Selain itu ada pula cerpen berjudul
“Kota Tanpa Kenangan”. Bercerita tentang sebuah daerah yang tiba-tiba jadi
asing bagi semua orang. Sam memutuskan mengunjungi tanah
kelahirannya—Jentaka. Dia sudah tidak
sabar bercumbu dengan masa lalu. Menikmati keindahan desa, bertemu teman dan
sauadara. Nanun ketika dia akhirnya sampai di tempat itu, Sam hanya melihat
kesedihan yang membingungkan (hal 27).
Sam mendapati kabar yang menyatakan
kalau warga mulai hilang ingat. Itulah yang melatar belakangi berbagai
pemandangan yang membuaat Sam bingung. Seperti saat melihat seorang ibu yang
meninggalkan anaknya. Dan anehnya perlahan-lahan
memori yang dia miliki pun mulai menghilang. Dia lupa alasan pergi ke Jentaka.
Dalam cerpen ini, kita diperlihatkan
tentang realitas hidup, yang menunjukkan bahwa orang-orang yang memiliki
kedudukan tinggi dan uang banyak, selalu menghalalkan segala cara untuk
melindungi diri dari perbuatan jahat yang dia miliki. Baik itu dengan menyuap atau memakai
perantara orang pintar.
Tidak kalah menarik adalah cerpen
berjudul “Kematian Seekor Tikus”. Cerpen ini adalah contoh nyata bagaimana pola
hukum di Indonesia berjalan. Bagaimana hukum yang berusaha menutupi kejahatan
karena bantuan orang dalam yang memiliki pangkat kuat. Namun uniknya cerpen
ini, penulis memberikan kejutan menarik di akhir cerita.
Selain beberapa cerpen itu, masih
ada pula cerpen lain yang juga sangat menarik. Seperti Seraut Wajah Berbingkai
Pohon, Mamawa Ya Tambora, Bukan Sulaiman, Buntalan Mikail, Kanibal Linge dan
banyak lagi. Dipaparakan dengan gaya bahasa yang mudah dipahami dan tidak
berat, membuat buku ini sangat asyik untuk dinikmati. Keunggulan lainnya adalah bagaimana penulis memilih judul-judul yang
menarik dan pembukaan alenia yang membuat kita penasaran untuk menuntaskan
kisah sampai akhir.
Hanya saja dalam buku ini ada
ketidakkonsistenan dalam memberikan catatan kaki di akhir setiap cerpen. Begitupula dalam pemberian catatan kaki
tentang bahasa daerah yang menurut saya kurang jelas dalam penulisannya. Namun
lepas dari kekurangannya, rasa lokalitas dalam buku ini menjadi nilai tambah
yang menarik.
Srobyong, 28 Oktober 2017
No comments:
Post a Comment