Judul : Misteri Bilik Korek Api
Penulis : Ruwi Meita
Penerbit : Grasindo
Cetakan : Pertama, Oktober 2017
Tebal : 240 halaman
ISBN :
978-602-452-350-3
“Jangan meratapi apa yang tidak kamu
miliki. Kamu memiliki banyak orang yang menyayangimu.” (hal 87).
Kita tidak pernah tahu takdir apa
yang telah digariskan Tuhan sejak kita diciptakan. Setiap orang pastinya memiliki skenario masing-masing. Tinggal
bagaimana mereka menyikapinya. Menerima dengan lapang dada atau merutuki nasib
hingga menggugat pada Tuhan. Tentang
bagaimana proses kita dilahirkan dan tinggal di mana, semua pasti hikmah yang
bisa dijadikan renungan.
Menceritakan tentang Sunday yang
sudah sejak bayi, tinggal di panti asuhan. Dia sama sekali tidak mengetahui
sejarah hidupnya. Siapa nama orangtua bahkan nama asli dirinya sendiri. Dia
hanya tahu bahwa dia berasal dari Ambon.
Meski itu tidak membantu, karena tak ada ingatan apa pun tentang Ambon
di kepalanya.
Namun begitu, dia tetap mensyukuri
kehidupannya. Di panti dia memiliki adik-adik manis yang sangat dia
sayangi. Dia juga punya sahabat
yang baik—Nugi dan kepala panti—Bu
Marta. Hanya satu orang saja yang membuat Sunday merasa sebal dan marah. Dialah
Bu Nasti, yang entah kenapa selalu membenci dan mencari masalah dengan dirinya
juga anak-anak panti lainnya.
“Kamu pasti senang sekali hari ini,
seperti burung kecil yang terbang untuk pertama kali. Tapi ingat, kamu bisa
jatuh. Selamat tinggal di tempat baru. Namun, itu tidak membuat statusmu
berubah. Kamu tetap yatim piatu.”
(hal 2-4).
Beruntung Sunday harus pindah,
sehingga dia tidak perlu lagi berurusan dengan Bu Nasti yang menyebalkan itu. Di
tempat baru, Sunday mengenal Emola, yang ternyata beradal dari daerah yang
sama. Hal itu awalnya cukup membuat Sunday semangat. Mungkin dia bisa mencari
tahu masa lalu hidupnya lewat Emola. Tapi semangat itu luntur ketika dia
menyadari bahwa Emola tidak sama seperti dirinya. Teman barunya itu sangat
aneh.
Bagaimana tidak aneh, Emola tidak
pernah mau berkomunikasi dengan teman-temannya. Dia selalu menyendiri. Satu kebiasaan yang
tidak pernah ditinggalkan Emola adalah selalu memegang bandul kalung yang
dibungkus kain putih miliknya. Dan kerap kali dia bergumam akan sebuah lagu
khas Ambon yang tidak begitu Sunday pahami.
Satu buji ketumbar, dua biji gardamu
Siapa yang pegang batu, dia jadi semut
Cabu ruku rukuku
Cabu ruku rukuku (hal
67)
Konon kata Bu Marta, Emola memiliki
trauma pasca kepergian orangtua dan neneknya. Tapi meski Sunday tidak terlalu
suka dan nyaman dengan Emola, nyatanya dia harus terima kalau mereka akan
tinggal sekamar, bersama teman-teman panti lainnya—ada Linda, Cika, Kiki, dan Berli. Di tempat baru, meski kadang tidak nyaman, mereka
tetap menjalani aktivitas masing-masing.
Sampai sebuah kejadian membuat
kehangatan itu perlahan lenyap. Di mana suatu hari, Sunday dan kawan-kawan
kecilnya menemukan sebuah kamar yang penuh dengan korek api. Dan sejak itu
kehidupan mereka berubah. Satu persatu teman kecil Sunday mengalami kecelakaan
yang aneh. Di mana Sunday meyakini kalau Emola memiliki kaitan yang erat dengan
rentetan kejadian itu. Oleh karena itu, Sunday mulai menyelidiki jati diri
Emola yang sebenarnya.
Menegangkan, menarik dan bikin
penasaran. Itulah yang menggambarkan keseluruhan kisah ini. Pemilihan pov Sunday
dan pov dari Emola sebagai narator, membuat kita bisa membaca bagaimana cara
pandang masing-masing tokoh ini. Kita
jadi tahu rentetan kejadian yang kerap membuat Sunday kadang sedih dan merasa
dirinya tidak berguna, serta mengetahui apa yang dipikirkan Emola, terkait
dengan berbagai kejadian yang menimpanya. Dan dari sisi Emola pula kengerian dan sisi
horor terasa sangat kental. Novel ini, sukses bikin merinding dari awal hingga
akhir.
Belum lagi layout buku dalam
pergantian pov yang semakin mendukung keseraman dari isi buku ini. Pun dengan tingkah Emola yang sangat absurd
dan aneh. Bagaimana dia memanggil teman-temannya dan hal-hal yang dia lihat
namun tak mungkin ditangkap oleh panca indra biasa.
“Busu melihatnya. Ganjaran ketiga
akan segera tiba.” (hal 165).
Hanya saja ada bagian di mana yang
tidak diekslpore sampai tuntas. Misalnya tentang keluarga Sunday, alasan kenapa
dia diberi nama yang artinya busuk—itulah yang dia tahu dari Emola, ketika
sempat bertanya. Serta alasan Bu Nasti
yang entah kenapa begitu benci dengan anak-anak panti. Namun mungkin ada pertimbangan sendiri dari penulis perihal
masalah ini.
Tapi lepas dari itu, novel ini
sangat asyik buat dinikmati. Saya selalu suka dengan cerita-cerita horor Mbak
Ruwi yang menarik dan bikin penasaran. Dari
buku ini kita diingatkan untuk selalu mensyukuri apa yang kita miliki.
“Kalau kamu nggak punya orangtua,
lalu kenapa? Toh, dunia ini masih menyedihkan sekaligus menyenangkan seperti
dulu. Sunday, setiap hari bahkan setiap detik orang-orang berhenti untuk
menyayangi karena beban atau bahkan tanpa sebab. Namun, kamu harus percata
bahwa tiap detik banyak orang-orang yang bersyukur karena memiliki orang-orang
yang mereka sayangi dan menyayangi mereka. Jadi, jangan meratapi apa yang tidak
kamu miliki. Kamu memiliki banyak orang yang menyayangimu.” (hal 86-87).
Dan dari sisi religi kita diingatkan
untuk selalu berbaik sangka kepada Tuhan. “Saat permintaanmu tidak
dikabulkan Tuhan, bukan berarti Dia tidak mendengarmu. Aku yakin ada hal yang
lebih baik yang sedang dipesiapkan-Nya untukmu. Sesuatu yang bahkan lebih indah
daripada apa yang kamu inginkan.” (hal 140).
Selain itu dari novel ini kita juga
belajar tentang indahnya kasih sayang dan saling percaya. Jangan suka
berprasangka buruk dan menilai orang lain tanpa memiliki bukti kuat.
Srobyong, 31 Desember 2017
No comments:
Post a Comment