Sunday, 31 December 2017

[Review Buku] Teror Mencekam dan Misteri Bilik Korek Api



Judul               : Misteri Bilik Korek Api
Penulis             : Ruwi Meita
Penerbit           : Grasindo
Cetakan           : Pertama, Oktober 2017
Tebal               : 240 halaman
ISBN               : 978-602-452-350-3


“Jangan meratapi apa yang tidak kamu miliki. Kamu memiliki banyak orang yang menyayangimu.” (hal 87).

Kita tidak pernah tahu takdir apa yang telah digariskan Tuhan sejak kita diciptakan. Setiap orang pastinya  memiliki skenario masing-masing. Tinggal bagaimana mereka menyikapinya. Menerima dengan lapang dada atau merutuki nasib hingga menggugat pada Tuhan.  Tentang bagaimana proses kita dilahirkan dan tinggal di mana, semua pasti hikmah yang bisa dijadikan renungan.

Menceritakan tentang Sunday yang sudah sejak bayi, tinggal di panti asuhan. Dia sama sekali tidak mengetahui sejarah hidupnya. Siapa nama orangtua bahkan nama asli dirinya sendiri. Dia hanya tahu bahwa dia berasal dari Ambon.  Meski itu tidak membantu, karena tak ada ingatan apa pun tentang Ambon di kepalanya.  

Namun begitu, dia tetap mensyukuri kehidupannya. Di panti dia memiliki adik-adik manis yang sangat dia sayangi.  Dia juga punya sahabat yang  baik—Nugi dan kepala panti—Bu Marta. Hanya satu orang saja yang membuat Sunday merasa sebal dan marah. Dialah Bu Nasti, yang entah kenapa selalu membenci dan mencari masalah dengan dirinya juga anak-anak panti lainnya.

“Kamu pasti senang sekali hari ini, seperti burung kecil yang terbang untuk pertama kali. Tapi ingat, kamu bisa jatuh. Selamat tinggal di tempat baru. Namun, itu tidak membuat statusmu berubah. Kamu tetap yatim piatu.” (hal 2-4).

Beruntung Sunday harus pindah, sehingga dia tidak perlu lagi berurusan dengan Bu Nasti yang menyebalkan itu. Di tempat baru, Sunday mengenal Emola, yang ternyata beradal dari daerah yang sama. Hal itu awalnya cukup membuat Sunday semangat. Mungkin dia bisa mencari tahu masa lalu hidupnya lewat Emola. Tapi semangat itu luntur ketika dia menyadari bahwa Emola tidak sama seperti dirinya. Teman barunya itu sangat aneh.

Bagaimana tidak aneh, Emola tidak pernah mau berkomunikasi dengan teman-temannya.  Dia selalu menyendiri. Satu kebiasaan yang tidak pernah ditinggalkan Emola adalah selalu memegang bandul kalung yang dibungkus kain putih miliknya. Dan kerap kali dia bergumam akan sebuah lagu khas Ambon yang tidak begitu Sunday pahami.

Satu buji ketumbar, dua biji gardamu
Siapa yang pegang batu, dia jadi semut
Cabu ruku rukuku
Cabu ruku rukuku (hal 67)

Konon kata Bu Marta, Emola memiliki trauma pasca kepergian orangtua dan neneknya. Tapi meski Sunday tidak terlalu suka dan nyaman dengan Emola, nyatanya dia harus terima kalau mereka akan tinggal sekamar, bersama teman-teman panti lainnya—ada Linda, Cika, Kiki,  dan Berli.  Di tempat baru, meski kadang tidak nyaman, mereka tetap menjalani aktivitas masing-masing.

Sampai sebuah kejadian membuat kehangatan itu perlahan lenyap. Di mana suatu hari, Sunday dan kawan-kawan kecilnya menemukan sebuah kamar yang penuh dengan korek api. Dan sejak itu kehidupan mereka berubah. Satu persatu teman kecil Sunday mengalami kecelakaan yang aneh. Di mana Sunday meyakini kalau Emola memiliki kaitan yang erat dengan rentetan kejadian itu. Oleh karena itu, Sunday mulai menyelidiki jati diri Emola yang sebenarnya.

Menegangkan, menarik dan bikin penasaran. Itulah yang menggambarkan keseluruhan kisah ini. Pemilihan pov Sunday dan pov dari Emola sebagai narator, membuat kita bisa membaca bagaimana cara pandang masing-masing tokoh ini.  Kita jadi tahu rentetan kejadian yang kerap membuat Sunday kadang sedih dan merasa dirinya tidak berguna, serta mengetahui apa yang dipikirkan Emola, terkait dengan berbagai kejadian yang menimpanya.  Dan dari sisi Emola pula kengerian dan sisi horor terasa sangat kental. Novel ini, sukses bikin merinding dari awal hingga akhir.  

Belum lagi layout buku dalam pergantian pov yang semakin mendukung keseraman dari isi buku ini.  Pun dengan tingkah Emola yang sangat absurd dan aneh. Bagaimana dia memanggil teman-temannya dan hal-hal yang dia lihat namun tak mungkin ditangkap oleh panca indra biasa.
“Busu melihatnya. Ganjaran ketiga akan segera tiba.” (hal 165).

Hanya saja ada bagian di mana yang tidak diekslpore sampai tuntas. Misalnya tentang keluarga Sunday, alasan kenapa dia diberi nama yang artinya busuk—itulah yang dia tahu dari Emola, ketika sempat bertanya.  Serta alasan Bu Nasti yang entah kenapa begitu benci dengan anak-anak panti. Namun mungkin ada  pertimbangan sendiri dari penulis perihal masalah ini.

Tapi lepas dari itu, novel ini sangat asyik buat dinikmati. Saya selalu suka dengan cerita-cerita horor Mbak Ruwi yang menarik dan bikin penasaran.  Dari buku ini kita diingatkan untuk selalu mensyukuri apa yang kita miliki.

“Kalau kamu nggak punya orangtua, lalu kenapa? Toh, dunia ini masih menyedihkan sekaligus menyenangkan seperti dulu. Sunday, setiap hari bahkan setiap detik orang-orang berhenti untuk menyayangi karena beban atau bahkan tanpa sebab. Namun, kamu harus percata bahwa tiap detik banyak orang-orang yang bersyukur karena memiliki orang-orang yang mereka sayangi dan menyayangi mereka. Jadi, jangan meratapi apa yang tidak kamu miliki. Kamu memiliki banyak orang yang menyayangimu.” (hal 86-87).

Dan dari sisi religi kita diingatkan untuk selalu berbaik sangka kepada Tuhan. “Saat permintaanmu tidak dikabulkan Tuhan, bukan berarti Dia tidak mendengarmu. Aku yakin ada hal yang lebih baik yang sedang dipesiapkan-Nya untukmu. Sesuatu yang bahkan lebih indah daripada apa yang kamu inginkan.” (hal 140).

Selain itu dari novel ini kita juga belajar tentang indahnya kasih sayang dan saling percaya. Jangan suka berprasangka buruk dan menilai orang lain tanpa memiliki bukti kuat.

Srobyong, 31 Desember 2017


No comments:

Post a Comment