Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 17 Desember 2017
Judul : Seribu Senja Tanpamu
Penulis : Kamiludin Azis
Penerbit : Bhuana Sastra
Cetakan : Pertama, Agustus 2017
Tebal : 264 halama
ISBN : 978-602-394-862-8
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas
Islam Nahdlatu Ulama, Jepara
“Meski waktu datang dan berlalu sampai kau tiada
bertahan, semua takkan mampu mengubahku.” (hal 13).
Setiap orang sudah pasti akan mati. Karena memang
begitulah takdir yang digariskan Tuhan. Kita sama sekali tidak akan tahu kapan
ajal itu menjemput, hingga saat waktu telah tiba nanti. Sebagaimana yang
dialami Gredy. Dia tidak pernah menduga bahwa Terra—istri yang sangat dia cinta
itu ternyata telah dipanggil terlebih dahulu akibat kanker yang menggerogotinya.
Mengambil tema cinta dan keluarga, novel ini
mencoba menceritakan sisi lain tentang
lelaki yang telah ditinggalkan istrinya, karena maut. Di mana penulis
memaparkan tentang bagaimana kesedihan lelaki yang ditinggal belahan jiwanya,
juga tantangan baru ketika harus mengurusi putri sematawayangnya tanpa adanya
campur tangan sang istri.
Gredy tidak menyangka kalau Terra akan pergi secepat
itu. Namun begitu dia merasa tidak boleh terlalu larut dalam kesedihan. Karena
di sisinya masih ada Kinan, putrinya yang masih butuh kasih sayang dan perhatian.
“Ya, Terra pulang meninggalkan rasa sakitnya. Di
keabadiannya kini, takkan pernah lagi ia rasakan penderitaan. Ia akan hidup
bagahagia karena saat yang ia tunggu telah tiba. Saat semua penyakitnya
diangkat, dan saat melihat aku menangisi kepergiannya karena cinta yang begitu
dalam. Mungkin aku merasa terluka, tapi aku pun akan bahagia jika Terra pergi
dengan kedamaian.” (hal 29-39). Begitulah cara Gredy memompa semangat untuk
dirinya sendiri.
Waktu pun terus berjalan. Dan dia sangat menyadari ada sesuatu yang
terasa sepi dan masih menghimpit ruang hatinya. Tapi setiap dia mengingat
Kinan, Gredy selalu menepisnya dan berusaha tegar. Selain itu sejak
kepergianTerra, Gredy akhirnya menyadari bahwa wanita itu sangat tangguh dan
luar biasa. Mereka bisa melakukan berbagai kesibukan yang luar biasa padat
tanpa mengeluh dan terus berulang setiap hari. Berbeda dengan dia, yang baru pertama kali
mencoba mengurusi masalah rumah tangga, sudah sangat kelelahan.
Beruntung Gredy memiliki teman dan suadara yang
sangat baik dan peduli padanya. Mereka dengan suka rela membantu Gredy untuk
mengurus Kinan sewaktu-waktu jika dia memiliki kesibukan kantor yang tidak bisa
ditinggalkan. Awalnya Gredy sangat
bersyukur dengan kebaikan itu.
Namun lambat laut, Gredy menyadari ada sesuatu yang
tidak pernah dia duga tentang di balik kebaikan beberapa temannya. Seperti
Alina, atasan Gredy yang sejak dulu terkenal galak dan kaku, tiba-tiba baik dan
sangat memerhatikan Gredy. Lalu ada Neila—sahabat Terra juga dirinya sejak zaman
SMA yang ternyata diam-diam sudah menaruh hati padanya, serta Malika, keponakan
Terra yang sangat menyayangi Kinan. Pada
akhirnya Gredy harus membuat keputusan.
Memilih salah satu di antara mereka atau tidak sama sekali. Mungkin di
antara mereka ada yang bisa menjadi ibu yang baik bagi Kinan.
Saya merasa sedikit banyak novel ini mencoba
membahas tentang dogma laki-laki yang sering dianggap mudah berpaling pada
wanita lain, jika telah ditinggal sang istri. Mereka dengan mudah akan menikah
lagi dan membangun khasanah pernikahan baru. Berbeda jika yang ditinggal itu
wanita, yang lebih memilih tetap bertahan dengan kesendirian dan bertahan hidup
sambil membesarkan anak yang dimiliki. Padahal jika mau menilik lebih dalam,
masalah kesetian dan cinta itu tergantung pada masing-masing individu. Bukan
hanya karena jenis kelamin saja.
Salut dengan penulis yang sejak awal konsisten dalam
mengeksekusi kisah ini. Dengan
kelenturan turu bahasa yang dipakai, penulis membuat kita terbuai dalam arus
cerita yang dia ciptakan. Menggelitik, membuat penasaran dan ikut menebak-nebak tentang siapa wanita yang
akhirnya bisa menggantikan posisi Terra. Meski terkejut dan tidak menyangkan,
saya sangat puas dengan ending cerita. Setidaknya kita bisa memahami bahwa
setiap orang memiliki jalur pemikiran yang berbeda.
Dari novel ini saya belajar untuk tidak gegabah
dalam mengambil langkah. Selain itu, saya belajar untuk menjadi pribadi yang
selalu kuat dalam berbagai posisi.
Kejadian yang menyedihkan tidak harus kita tangisi setiap hari, tapi
kita jadi pelajaran untuk terus menempa diri menjadi pribadi yang lebih baik.
Srobyong, 10 Desember 2017
No comments:
Post a Comment