Wednesday, 20 December 2017

[Resensi] Kisah Menggugah dari Banggai

Dimuat di Hariang Singgalang, Minggu 10 Desember 2017 


Judul               : Kisah dari Banggai
Penulis             : Devi Dewi Kurniawati, dkk
Ilustrator         : Khalida Hanum
Penerbit           : Bhuana Ilmu Populer
Cetakan           : Pertama, Juni 2017
Tebal               : 100 halaman
ISBN               : 978-602-394-693-8
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatu Ulama, Jepara

Indonesia adalah negara  kaya. Baik itu tentang kekayaan alam juga budayanya. Karena Indononesia merupakan negara kepulaan yang terdiri dari berbagai suku, adat, kesenian dan budaya. Hanya saja kadang kita tidak terlalu mengenal setiap potensi daerah yang ada, karena masalah tempat yang berjauhan.

Buku ini dengan kemasan yang apik, mencoba mengenalkan budaya, kesenian dan kegiatan sehari-hari anak-anak yang terjadi di sebuah daerah pedalaman asal Sulawesi Tengah—yaitu daerah Banggai. Buku ini sendiri ditulis oleh para guru yang ditempatkan di sana. Mereka menceritakan pengalaman menarik tentang anak-anak Banggai yang sangat menginspirasi.

Harapan dari para penulis ketika buku ini terbit adalah, agar anak-anak  di seluruh Indonesia saling mengenal dan memahami  teman-temannya yang berada di Banggai  meski hanya lewat cerita.  Karena dari kisah tersebut, kehadiran buku itu diharapkan juga bisa menjadi jembatan untuk saling mengenalkan budaya, adat, kesenian, pahlawan dan banyak lagi untuk semua masyarakat. Dan semoga selain buku ini akan hadir buku-buku lain yang mencoba mengenalkan kisah kehidupan sehari-hari anak-anak di daerah lain.

Terdiri dari 9 cerita, saya sangat menikmati kisah-kisah yang dipaparkan. Misalnya saja dari kisah “Para Pencari Badabah” kisah ini menggambarkan tentang kehidupan di Pulau Tembang, kabupaten Banggai.  Sebuah pulau yang jika kita ingin mengunjunginya maka kita harus naik anggukatan beberapa kali dari Luwuk, ibukota Kabupaten Banggai.  Di mana anak-anak  di sana memiliki kebiasaan, setiap pulang sekolah biasanya suka mencari babadoh—sejenis kerang.

Pulau ini sendiri konon memiliki bentuk seperti mayat terbaring. Namun ada yang mengatakan pulau ini seperti bebek dengan paruh panjang. Suku yang tinggal di sana bernama suku Bajo. Tempat tinggal mereka kebanyakan berada di atas laut. Dan pekerjaan mereka dikenal sebagai penggembara laut (hal 3).

Hanya saja mereka sedih, karena kadang banyak yang mengambil ikan dengan bom. Padahal cara itu sangat berbahaya dan bisa membuat ikan cepat habis.  Dan karena tidak memiliki tempat sampah, banyak warga yang terbiasa membuang sampah dan kotoran di laut.

Kisah ini mengingatkan kita untuk selalu menjaga  lingkungan agar selalu bersih, dan membuang sampah pada tempatnya. Selain itu kita juga diingatkan untuk tidak merusak ekosistem laut dengan mengambil ikan memakai bom dan memburu kima—kerang yang di dalamnya terdapat mutiara. Mengingat binatang ini langka dan dilindungi (hal 12).

Ada pula kisah berjudul “Desaku Ondo-ondolu”. Dalam kisah ini kita dikenalkan dengan desa unik bernama Ondo-ondolu yang berada di kecamatan Batui, Kabupaten Banggai.  Tahu tidak ternyata Banggai memiliki burung khas bernama Maleo.  Telur burung ini sangat besar, ukurannya lebih besar dari telur ayam. Sayangnya burung ini sudah langka. Oleh karena itu kita harus ikut menjaga melestrikannya agar tidak punah.

Di desa ini anak-anak yang bersekolah tidak hanya berasal dari satu suku, tapi dari berbagai suku. Selain suku Jawa, Bali, dan Lombok, ada pula suku Saluan, Bugis dan Sunda. Namun mereka selalu hidup rukun dan berteman baik, sebagaimana semboyan bhineka tunggal ika (hal 22).

Dari kisah ini dapat kita petik pelajaran untuk selalu rukun meski berbeda suku dan budaya. Serta kita harus membantu menjaga binatang yang dilindungi agar tidak punah.

Selain dua kisah tersebut tentu saja masih ada kisah-kisah lain yang tidak kalah menarik dan menginspirasi. Seperti kisah berjudul “Kedatangan Guru Baru”  yang mengajarkan anak-anak untuk saling menghargai dalam perbedaan, dan bertoleransi.   Mengingat  guru baru mereka itu ternyata beragama Kristen, sedangkan  di SDN 2 Sinorang semua anak bergama Islam. Namun itu tidak membuat mereka mengucilkan atau memusuhi guru baru mereka. Mereka tetap menyambut hangat dan mengajak guru baru itu mandi sore di laut setiap minggu, yang ternyata adalah kebiasaan anak-anak yang tinggal di Sinorang.

Sebuah buku yang menarik dan patut dibaca. Tidak hanya bagi anak-anak, tapi  juga patut dibaca masyarakat umum. Karena kisah-kisah yang termaktub di dalamnya selain menceritakan kepolosan anak-anak dan kebiasaan mereka yang sering dilakukan di daerahnya, juga secara  tidak langsung menceritakan tentang budaya dan potensi daerah dengan keberagamaan suku dan budaya.

Srobyong, 3 Desember 2017 

2 comments:

  1. Aku coba cari bukunya ah.. Anak2ku supaya suka membaca, stiap bulan aku pasti beliin buku2 bacaan baru. Ttg dongeng, ato ttg apa aja. Cerita kedaerahan begini mereka jg suka, malah mnurutku paling bgs begini, jd opengetahuannya ttg kota2 di indonesia jg nambah :)

    Aku sendiri baru tau ttg luwuk dan banggai itu krn ada temenku yg kerja di TOTAL oil, penempatannya di luwuk :). Jadi tau kalo luwuk jg ada sumber alam minyak

    ReplyDelete