Saturday 9 December 2017

[Resensi] Cita-Cita, Cinta dan Restu Orangtua

Dimuat di Radar Sampit, Minggu 19 November 2017 

Judul               : Alang
Penulis             : Desi Puspita Sari
Penerbit           : Gramedia
Cetakan           : Pertama, Juni 2016
Tebal               : iv + 235 hlm
ISBN               : 978-602-9474-09-1
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara.

“Kau hanya perlu bersungguh-sungguh. Bukan untuk membuktikan  pada orangtua atau pada siapa pun. Tapi buktikan pada dirimu sendiri, bahwa kau bisa.” (hal 205).

Novel ini mengisahkan tentang perjuangan dalam meraih mimpi. Apa yang terjadi ketika mimpi itu ditentang—tak diresutui orangtua dan disepelekan. Pilihan apa yang akan dilakukan ketika harus memilih maju demi cita-cita atau mengalah demi bakti kepada orangtua.  Membaca  novel ini kita disadarkan, bahwa untuk menjadi dewasa ada hal-hal yang harus diputuskan dan menanggung resiko yang telah dipilih.

April percaya bahwa bakat itu ada. Tapi tidak semua keberhasilan terwujud karena bakat. April lebih percaya kalau pandai dan sukses itu diraih karena tekun dan bekerja keras, ketimbang melulu menggantungkan diri pada bakat (hal 40). Inilah paham yang dipegang erat oleh April. Karena itu dia berusaha keras dalam mewujudkan mimpinya sebagai seorang penyair. Meski itu harus melawan keinginan orangtua yang selalu menyepelekan mimpinya.

“Menjadi penulis tidak akan pernah membuatmu kaya. Kau akan hidup terlunta-lunta.” (hal 147).
Begitu juga dengan Alang.  Sejak duduk dibangku sekolah dasar, dia sudah sangat menyukai musik.  Diam-diam dia belajar bermain gitar dari guru seninya—Pak Gunawan. Dan agar dia bisa memiliki gitar, Alang bekerja keras sambil bekerja. Hanya saja ayah Alang sama sekali tidak menyukai cita-cita anaknya. Karena di desa mereka pun sudah ada teladan kalau seni itu hanya omong kosong. Tidak ada masa depan bagi penggiat seni.

“Hidup di dunia nyata mengajarkan bahwa yang dibutuhkan dalam hidup ini sesungguhnya hanya duit! Dan duit tidak bisa kau dapat dengan bergelut di bidang seni. Seni itu omong kosong. Seni itu tak bisa menghidupi yang ada malah membuatmu mati lebih dini.” (hal 26).

Kesamaan nasib, membuat April dan Alang menjadi dekat. Hubungan yang semula hanya sebatas sahabat, lambat laun berubah menjadi sesuatu yang spesial.  Setelah meenyelesaikan SMA, Alang mengambil peruntungan untuk melanjutkan sekolah musik di Jakarta. Apalagi dia berkesempatan mendapatkan beasiswa.  

Sedangkan April melanjutkan  kuliah di kedokteran. Hanya saja rasa cintanya pada seni, membuat April tidak terlalu serius belajar. Di sinilah masalah timbul. Dia lebih banyak menghabiskan waktu untuk nongkrong bersama teman-teman seniman. April juga mengajak serta Alang, yang demi rasa sayang akhirnya ikut terbawa pada arus itu. Alang ikut meninggalkan bangku kuliah demi bisa bersama dengan April.  Mereka saling berjanji untuk merengkuh impian bersama-sama.

Hanya saja  itu kebersamaan itu tidak berlangsung lama. Kenakalan April diketahui orangtuanya sehingga April dijemput orangtua untuk kembali ke Madiun. Pada kenyataanya April merasa tidak bisa apa-apa tanpa dukungan materi dari orangtuanya. Di sinilah titik paling rendah bagi Alang. Dia merasa pengorbanannya pada April sia-sia. Dia sudah melepas kuliah demi gadis itu.  Tapi pada kenyataannya ... janji-janji yang mereka buat tidak satu pun menjadi kenyataan.

Di sinilah dia memahami, “Mimpi itu hanya untuk seorang pemenang, bukan  pecundang. Pemenang itu artinya dia yang tidak mogol atau berhenti di tengah jalan—pada apa pun pilihannya. Pemenang itu juga tidak cengeng. Meski cita-cita dan cintanya kandas, ia akan segera bangkit dan pulih.” (hal 195).  
Dipaparkan dengan gaya bahasa yang renyah dan memikat, membuat novel ini asyik untuk dinikmati.  Apalagi teman yang dianggkat itu cukup dekat dengan dunia literasi serta isu-isu yang kerap menyelimuti. Bahwa seni bukanlah sebuah pekerjaan yang menjanjikan. Meski pada beberapa bagian ada yang terasa lompat-lompat. Namun lepas dari kekurangannya novel ini cukup menghibur. Banyak pesan tersirat yang bisa dijadikan pembelajaran. Seperti sikap tidak mudah menyerah, kekuatan sabar, mau berusaha serta tidak takut dalam mengambil pilihan.

“Kesuksesan itu bukan jalan singkat. Kecuali kamu adalah anak seorang yang sangat kaya, selebihnya kamu harus jatuh bangun berdarah-darah menempuh jalan seni yang terjal.” (hal 217).

Srobyong, 19 Maret 2017 

No comments:

Post a Comment