Dimuat di Radar Sampit, Minggu 19 November 2017
Judul : Alang
Penulis : Desi Puspita Sari
Penerbit : Gramedia
Cetakan : Pertama, Juni 2016
Tebal : iv + 235 hlm
ISBN : 978-602-9474-09-1
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas
Islam Nahdlatul Ulama, Jepara.
“Kau hanya perlu bersungguh-sungguh.
Bukan untuk membuktikan pada orangtua
atau pada siapa pun. Tapi buktikan pada dirimu sendiri, bahwa kau bisa.” (hal 205).
Novel ini mengisahkan tentang
perjuangan dalam meraih mimpi. Apa yang terjadi ketika mimpi itu ditentang—tak
diresutui orangtua dan disepelekan. Pilihan apa yang akan dilakukan ketika
harus memilih maju demi cita-cita atau mengalah demi bakti kepada
orangtua. Membaca novel ini kita disadarkan, bahwa untuk
menjadi dewasa ada hal-hal yang harus diputuskan dan menanggung resiko yang
telah dipilih.
April percaya bahwa bakat itu ada.
Tapi tidak semua keberhasilan terwujud karena bakat. April lebih percaya kalau
pandai dan sukses itu diraih karena tekun dan bekerja keras, ketimbang melulu
menggantungkan diri pada bakat (hal 40). Inilah paham yang dipegang erat oleh
April. Karena itu dia berusaha keras dalam mewujudkan mimpinya sebagai seorang
penyair. Meski itu harus melawan keinginan orangtua yang selalu menyepelekan
mimpinya.
“Menjadi penulis tidak akan pernah
membuatmu kaya. Kau akan hidup terlunta-lunta.” (hal 147).
Begitu juga dengan Alang. Sejak duduk dibangku sekolah dasar, dia sudah
sangat menyukai musik. Diam-diam dia
belajar bermain gitar dari guru seninya—Pak Gunawan. Dan agar dia bisa memiliki
gitar, Alang bekerja keras sambil bekerja. Hanya saja ayah Alang sama sekali
tidak menyukai cita-cita anaknya. Karena di desa mereka pun sudah ada teladan
kalau seni itu hanya omong kosong. Tidak ada masa depan bagi penggiat seni.
“Hidup di dunia nyata mengajarkan
bahwa yang dibutuhkan dalam hidup ini sesungguhnya hanya duit! Dan duit tidak
bisa kau dapat dengan bergelut di bidang seni. Seni itu omong kosong. Seni itu
tak bisa menghidupi yang ada malah membuatmu mati lebih dini.” (hal 26).
Kesamaan nasib, membuat April dan
Alang menjadi dekat. Hubungan yang semula hanya sebatas sahabat, lambat laun
berubah menjadi sesuatu yang spesial.
Setelah meenyelesaikan SMA, Alang mengambil peruntungan untuk
melanjutkan sekolah musik di Jakarta. Apalagi dia berkesempatan mendapatkan
beasiswa.
Sedangkan April melanjutkan kuliah di kedokteran. Hanya saja rasa
cintanya pada seni, membuat April tidak terlalu serius belajar. Di sinilah
masalah timbul. Dia lebih banyak menghabiskan waktu untuk nongkrong bersama
teman-teman seniman. April juga mengajak serta Alang, yang demi rasa sayang
akhirnya ikut terbawa pada arus itu. Alang ikut meninggalkan bangku kuliah demi
bisa bersama dengan April. Mereka saling
berjanji untuk merengkuh impian bersama-sama.
Hanya saja itu kebersamaan itu tidak berlangsung lama.
Kenakalan April diketahui orangtuanya sehingga April dijemput orangtua untuk
kembali ke Madiun. Pada kenyataanya April merasa tidak bisa apa-apa tanpa
dukungan materi dari orangtuanya. Di sinilah titik paling rendah bagi Alang.
Dia merasa pengorbanannya pada April sia-sia. Dia sudah melepas kuliah demi
gadis itu. Tapi pada kenyataannya ...
janji-janji yang mereka buat tidak satu pun menjadi kenyataan.
Di sinilah dia memahami, “Mimpi
itu hanya untuk seorang pemenang, bukan
pecundang. Pemenang itu artinya dia yang tidak mogol atau berhenti di
tengah jalan—pada apa pun pilihannya. Pemenang itu juga tidak cengeng. Meski
cita-cita dan cintanya kandas, ia akan segera bangkit dan pulih.” (hal
195).
Dipaparkan dengan gaya bahasa yang
renyah dan memikat, membuat novel ini asyik untuk dinikmati. Apalagi teman yang dianggkat itu cukup dekat
dengan dunia literasi serta isu-isu yang kerap menyelimuti. Bahwa seni bukanlah
sebuah pekerjaan yang menjanjikan. Meski pada beberapa bagian ada yang terasa
lompat-lompat. Namun lepas dari kekurangannya novel ini cukup menghibur. Banyak
pesan tersirat yang bisa dijadikan pembelajaran. Seperti sikap tidak mudah
menyerah, kekuatan sabar, mau berusaha serta tidak takut dalam mengambil
pilihan.
“Kesuksesan itu bukan jalan singkat.
Kecuali kamu adalah anak seorang yang sangat kaya, selebihnya kamu harus jatuh
bangun berdarah-darah menempuh jalan seni yang terjal.” (hal 217).
Srobyong, 19 Maret 2017
No comments:
Post a Comment